Perusahaan memang harus berbenah secara internal. Berbagai pengetatan dilakukan. Kunci untuk bertahan atau kembali menjadi pemenang adalah inovasi.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
Bagaimana kita harus memaknai pendapatan Meta yang drop dan setelah itu ternyata isu utama pengembangan teknologi bukan soal metamesta (metaverse) tetapi kecerdasan buatan? Bagaimana pula Alphabet alias induk semang Google yang tergopoh-gopoh menghadapi persaingan teknologi kecerdasan buatan? Bagaimana pula nasib perusahaan teknologi di Indonesia yang harus segera untung?
Semua ini bermuara pada pertanyaan besar yang dihadapi hampir setiap perusahaan: berapa lama bisnis mereka akan bertahan? Pertanyaan ini menjadi penting ketika kita melihat Meta yang sekian tahun berada di puncak namun kini seperti kehilangan haluan. Mereka bingung hendak kemana. Pilihan metamesta hingga membuat dunia heboh rupanya bukan pilihan yang tepat. Google pun sepertinya limbung ketika muncul ChatGPT hingga valuasi sahamnya raib 100 miliar dollar di pasar saham.
Sebuah tulisan di laman Ctech berjudul After the Hangover of 2022, The Real Pain for High-tech Will Come in 2023 menggambarkan situasi sekarang dengan tepat. Alunan musik pesta mewah bakar uang mulai meredup di penghujung tahun 2021 dan di tahun lalu bahkan hampir tidak terdengar lagi. Di pasar modal, di mana perusahaan cukup beruntung untuk dihargai setiap harinya, alunan musik juga telah lama menghilang dengan kejatuhan sejumlah saham teknologi lebih dari 30 persen di Nasdaq dan penurunan 20 persen di S&P 500.
Tepat satu tahun telah berlalu sejak arah pasar berubah dan kini banyak pengamat dari pinggir lapangan, serta para pemain di ekosistem teknologi itu sendiri, mengatakan: “tunggu, pestanya memang sudah selesai, musiknya hampir tidak bisa terdengar lagi, tetapi meskipun demikian tidak berarti tidak ada bencana besar yang terjadi”. Unicorn baru mungkin tidak lahir setiap dua hari dan sepuluh tawaran pekerjaan seminggu tidak ada lagi. Para pengamat meramalkan bakal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, penutupan usaha rintisan, putaran pendanaan turun, dan penjualan secara cepat dan murah perusahaan teknologi yang mengalami kesulitan keuangan.
Di dalam negeri ekonom Chatib Basri di dalam akun Instagramnya mengingatkan masalah besar yang mungkin akan terjadi di perusahaan teknologi. Ia tidak secara eksplisit menyebutkan rentetan masalah itu namun ia kembali memuat sebuah tulisan yang berisi komentarnya pada tahun 2019 yang mengindikasikan ada masalah di dalam perusahaan teknologi.
Fakta yang terlihat, di sejumlah perusahaan teknologi global PHK terus terjadi. Di dalam negeri dua perusahaan teknologi finansial juga sudah mengabarkan langkah ini. Keharusan untung agar bisa bertahan menjadi alasan mereka melakukan PHK. Dengan PHK pengeluaran operasional bisa ditekan. Salah satu indikator yang penting adalah keberadaan dana tunai sehingga bisa digunakan untuk menjalankan operasi perusahaan. Dana tunai harus dijaga. Perusahaan teknologi lain di dalam negeri kemungkinan masih akan melakukan PHK agar bisa bertahan.
Lalu bagaimana perusahaan teknologi keluar dari masalah ini? Dana segar sangat terbatas karena sudah lama perusahaan ventura mengurangi investasi. Kenaikan permintaan layanan dan produk dari perusahaan teknologi kemungkinan juga tidak akan melonjak dengan kondisi ekonomi seperti sekarang ini. Beberapa layanan di perusahaan teknologi juga sudah mentok. Mereka tidak bisa lagi memperbesar pendapatan melalui beberapa layanan.
Perusahaan memang harus berbenah secara internal. Berbagai pengetatan dilakukan. Kunci untuk bertahan atau kembali menjadi pemenang adalah inovasi. Microsoft dengan memberikan pendanaan pada OpenAI yang merupakan pengembang ChatGPT. Perusahaan ini menemukan “loncatan” berikutnya. Meski belum tentu menjadi pemenang tetapi Microsoft telah lebih dulu mengambil langkah yang tepat. Setidaknya Microsoft berhasil memegang kendali isu kecerdasan buatan dan tentu akan segera mencari model bisnis yang tepat untuk mendapatkan uang dari teknologi ini.
Bagaimana dengan perusahaan teknologi di dalam negeri? James Guild di laman The Diplomat pada Februari lalu menulis, pemegang saham akan menuntut lebih banyak. Hal ini membawa kita kembali ke isu utama: dapatkah perusahaan teknologi menciptakan nilai bagi pemegang saham sekaligus menambah nilai ekonomi riil?
Guild menyarankan agar perusahaan-perusahaan teknologi memasuki kegiatan ekonomi bernilai tambah yang lebih tinggi seperti layanan keuangan digital dan produksi kendaraan listrik. Jika mereka dapat mengelola transisi ini dengan sukses, memaksimalkan nilai pemegang saham dan ekonomi riil dalam prosesnya, mereka akan memiliki gagasan yang lebih jelas tentang ke mana arah sektor ini pada tahun-tahun mendatang.
Terkait dengan bisnis perusahaan teknologi di Indonesia, bisnis transportasi daring mungkin sudah mentok. Sulit berharap akan mendapat keuntungan besar di dalam bisnis ini. Masalah juga makin bertambah. Pelanggan juga mulai memiliki prefrerensi yang jelas antara kembali naik taksi yang layanannya memiliki standar atau transportasi daring yang meski murah namun layanan sangat bervariasi bergantung pada kendaraan dan pengemudi.
Pengiriman barang masih memiliki peluang namun persaingan sangat tinggi sehingga peluang sangat tipis. Platform jual beli harus berbenah ketika TikTok masuk ke layanan perdagangan. Layanan keuangan masih memiliki peluang yang lebih luas. Akses warga terhadap layanan finansial masih terbatas sehingga mereka yang mampu menembus masalah ini akan menjadi pemenang. Cara-cara lama dalam bisnis keuangan mungkin akan ditinggal. Terbukti orang bisa mengakses layanan keuangan dengan lebih mudah melalui Quick Response Indonesia Standar (QRIS). Beberapa perusahaan terus mengembangkan bisnis teknologi finansial dan pemain baru masih bermunculan. Semua ini menjadi tanda bahwa bisnis di teknologi finansial masih berkembang.
Meski demikian, perusahaan teknologi memang harus menemukan “mainan” baru” di tengah mereka harus bertahan. Lompatan ini diharapkan bisa menjadi penghela baru dalam bisnis perusahaan teknologi. Kecerdasan buatan adalah salah satu peluang. Pertanyaan di awal tentang berapa lama bisnis bisa bertahan harus menjadi pemacu agar perusahaan teknologi terus berinovasi. Mati bukanlah gertak sambal bila tidak segera berbenah. Memperbaiki laporan keuangan adalah satu hal, hal lain adalah benar-benar menjalankan bisnis riil yang memberi untung dan terus membesar. Bila demikian, bencana besar bisa dilewati.