"Sabbatical Leaves", Ruang Bagi Dosen untuk Mengembangkan Diri
Memberi dosen ruang dan waktu ("sabbatical leaves") yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri dan mengeksplorasi lebih banyak minat riset mereka bisa menjadi jalan keluar untuk mencegah praktik perjokian karya ilmiah.
Oleh
TAUCHID KOMARA YUDA
·4 menit baca
Upaya mengelabuhi aturan penerbitan karya ilmiah diungkap dalam investigasi Kompas. Ragam cara yang dilakukan para joki jurnal mengoperasikan modus operandinya tak luput dibahas, mulai dari yang berkedok jasa editing, menawarkan posisi sebagai penulis utama, hingga yang terang-terangan 'membantu' menuliskan karya ilmiah pesanan seratus persen (ghost writer).
Penggiat gurita bisnis perjokian jurnal ini juga terdesentralisasi di level perorangan dan kelompok kecil (sistem gacok). Mengerikannya lagi, beberapa di antaranya telah menjadikan praktik ilegal ini sebagai industri dengan omset puluhan juta per bulan, dengan melibatkan banyak lulusan perguruan tinggi ternama Tanah Air (Kompas, 11/2/2022).
Sementara perjokian karya ilmiah yang melibatkan sejumlah dosen mulai ramai disorot, kampus sebagai institusi nampaknya tidak dapat berbuat banyak dalam merespon isu ini. Toh pada akhirnya kampus juga yang akan mendapat keuntungan dalam wujud penilaian performa dan reputasi sebagai imbal hasil dari bertambahnya jumlah publikasi dan guru besar.
Dengan diungkapnya praktik perjokian transaksional di kalangan dosen, ada kemungkinan penyesuaian aturan kepangkatan dosen akan segera ditempuh. Namun yang perlu dingat, upaya untuk memutus praktik perjokian–misalnya dengan mengambil langkah hukum lembaga-lembaga yang terindikasi membuatkan karya ilmiah–sesungguhnya tidak akan banyak menyelesaikan inti masalah. Sebab, realitas njoki sudah tertanam dalam relasi-relasi kuasa yang kompleks dalam ekosistem kampus, dan seakan dinormalisasi sebagai bagian dari 'sub-sistem' akademik di Indonesia.
Praktik perjokian karya ilmiah merupakan persoalan kompleks, tidak sebatas masalah disintegritas. Alasan yang paling mungkin bagi dosen untuk mengambil langkah njoki sebagai jalan pintas menghasilkan karya adalah tuntutan beban kerja regular dosen yang tinggi. Belum lagi urusan administrasi yang kompleks dan pekerjaan-pekerjaan ekstra lainnya yang membuatnya memiliki sedikit waktu untuk menghasilkan karya ilmiah.
Jika ‘benar’ alasannya demikian, solusi yang juga paling mungkin untuk mengatasi masalah waktu menulis tadi bisa dengan sabbatical leave guna memberi dosen ruang dan waktu yang mereka butuhkan untuk mengeksplorasi lebih banyak minat riset mereka.
“Sabbatical leave”
Di banyak perguruan tinggi di luar negeri, sabbatical leave diatur sebagai cuti panjang berbayar, yang diberikan kepada seorang dosen setelah tujuh tahun mengabdi dalam periode tertentu (umumnya satu tahun) untuk melakukan sesuatu yang tidak dapat dosen lakukan saat bekerja penuh waktu. Selain itu, sabbatical leave juga memungkinkan dosen untuk terlibat dalam penelitian atau kegiatan lain yang mendorong prestasi akademik atau yang akan meningkatkan reputasi atau menguntungkan universitas (Harvard, 2015).
Selama masa sabbatical leave, dosen umumnya dibebaskan dari tanggung jawab reguler mereka di kampus asal agar fokus sepenuhnya kepada kegiatan akademik misalnya, visitasi kampus lain untuk menjalin kerja sama dan berkolaborasi menghasilkan riset antara dosen dan instansi lain (Harvard, 2015).
Solusi dengan mengedepankan sabbatical leave lebih masuk akal daripada mengada-adakan manuver yang meng- overhaul tridharma perguruan tinggi dengan tujuan melonggarkan aturan soal publikasi.
Masa sabbatical leave juga memberikan lebih banyak ruang bagi seorang dosen dapat berfokus pada pengembangan diri, termasuk melakukan pengayaan dan mendalami minat risetnya lebih serius, yang ini akan sangat membantu dosen untuk merancang karya ilmiah lebih berkualitas.
Hemat penulis, solusi dengan mengedepankan sabbatical leave lebih masuk akal daripada mengada-adakan manuver yang meng-overhaul tridharma perguruan tinggi dengan tujuan melonggarkan aturan soal publikasi. Bahkan ada juga yang menyarankan agar 'opini media masa' dapat disetarakan dari karya ilmiah, sebagaimana yang dinyatakan Eunike Sri Tyas Suci dalam artikel yang dipublikasikan di harian Kompas (25/9/2021).
Wacana-wacana untuk mendelegitimasi syarat Jurnal Internasional Bereputasi (JIB) pada professorship juga terlihat dari pernyataan seperti “tidak semua dosen punya kemampuan riset, sampai publikasi, apalagi produk” (Kompas, 12/02/2023). Pernyataan tersebut terkesan pesimis dan mengabaikan fakta bahwa platform JIB terbagi atas empat kuartil (Q1 – Q4), yang mana masing-masing kuartil (Q) merefleksikan tingkat kesulitannya. Q1 biasanya yang paling sulit, walaupun dalam kasus tertentu, ini bisa sebaliknya.
Mempertahankan JIB
Tidak begitu sulit memahami mengapa JIB tetap harus dipertahankan sebagai syarat kepangkatan guru besar. Bukan artinya mendewakan JIB, tetapi realitasnya, paling tidak sampai saat ini, JIB "memiliki standar yang lebih ketat untuk meminimalkan fraud" (Yuda dalam Kompas, 20/3/2022). Standar tersebut menggunakan peer-review dengan melibatkan peran editor dan reviewer yang memang ditunjuk berdasarkan tingkat kepakaran yang mendekati disiplin keilmuan penulis.
Penulis tidak ingin mengklaim bahwa setiap artikel yang diterbitkan di JIB bebas dari berbagai macam isu seperti fabrikasi data dan plagiasi. Yang penulis ingin katakan adalah, jika JIB masih membuka banyak celah, bagaimana jurnal yang tidak terstandarisasi?
Artinya, menggugat aturan JIB sebagai kepangkatan guru besar boleh-boleh saja selama dapat dikompensasi dengan jurnal-jurnal lain yang memiliki standar validasi yang setara dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Sejauh belum ditemukan pembandingnya, tidak ada alasan prasyarat JIB digugurkan.
Menerbitkan JIB, bahkan dengan high impact factor, telah menjadi parameter utama bagi seorang dosen agar dapat dipertahankan kontrak kerjanya.
Lagipula kebijakan untuk menerbitkan JIB sebanyak “satu kali” sebagai tiket untuk guru besar masih terbilang super generous. Bandingkan dengan kampus-kampus di luar sana, misalnya Malaysia, Thailand dan China yang bisa dijadikan referensi yang realistis untuk Indonesia. Menerbitkan JIB, bahkan dengan high impact factor, telah menjadi parameter utama bagi seorang dosen agar dapat dipertahankan kontrak kerjanya.
Alasan keterbacaan juga tidak cukup kuat untuk menggugurkan kewajiban JIB sebagai bagian dari persyaratan promosi guru besar. Kalaupun kita tidak dapat mengakses artikel JIB yang terkunci, alternatif lainnya adalah menghubungi penulisnya langsung melalui email untuk meminta artikel tersebut.
Kompensasi bukan berarti dispensasi. Karena menjadi akademisi artinya siap berkomitmen penuh untuk ilmu pengetahuan, mempublikasikannya dengan cara-cara yang dapat divalidasi, termasuk disebarluaskan, dan terakhir adalah menghilirasi pengetahuannya kepada masyarakat dalam berbagai cara. Mengutip kembali Yusuf dalam Kompas (17/10/2021), menghasilkan jurnal ilmiah pada intinya harus tetap menjadi orientasi utama dosen, selain orientasi pengabdian yang tidak kalah penting.
Jika masalah lain adalah kendala penguasaan bahasa Inggris, solusi yang ditawarkan tentu adalah dukungan penyediaan jasa penerjemah dan pendampingan intensif dari pakar. Bukan justru mengakal-akali aturan secara sistematis. Sepengetahuan penulis, cara ini juga lazim dilakukan kampus di negara -negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu mereka.
Akhir kata, sistem perjokian ini dibangun di atas hubungan yang kompleks di antara para aktor yang terlibat. Agar perbaikan terjadi dalam ekosistem dosen, tidak cukup hanya memberikan sanksi bagi yang terlibat dalam sistem perjokian, apalagi menggugurkan karya ilmiah sebagai syarat kepangkatan. Selain solusi yang coba penulis usulkan, cara pandang (calon) dosen dalam menghasilkan karya ilmiah perlu direvolusi: dari yang tadinya hanya menggugurkan kewajiban dam berorientasi jabatan, menjadi sesuatu yang melekat dari tanggung jawab moral dan identitas seseorang yang bekerja di lingkungan epistemik.
Tauchid Komara Yuda, Dosen di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM; Professor Tamu di Mahidol University, Thailand; PhD Researcher di Lingnan University, Hong Kong