Reorientasi Publikasi Akademisi Indonesia
Apabila acuan utama seorang akademisi adalah kemanfaatan bagi masyarakat yang diukur dari karya ilmiah dalam bentuk jurnal, ada kesenjangan yang perlu dicermati. Bagaimana masyarakat bisa memanfaatkan hasil penelitian?
Dua minggu terakhir ini merupakan hari-hari di mana dosen di seluruh Indonesia sibuk mengurus nasibnya sebagai dosen untuk bisa tetap mendapat tunjangan profesi dari pemerintah.
Batas akhir penyampaian laporan beban kerja dosen (BKD) untuk semester genap tahun akademik 2020/2021 adalah 16 September 2021, tetapi kemudian diperpanjang menjadi 27 September 2021, melalui laman yang telah disediakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Lampiran Keputusan Dirjen Dikti No 12/E/KPT/2021 tentang Pedoman Operasional Beban Kerja Dosen mengutip UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan, ”Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”.
Ketiga bentuk tugas utama yang luhur ini disebut sebagai Tridarma Perguruan Tinggi, di mana setiap dosen khususnya yang telah tersertifikasi punya kewajiban melaporkan beban kerjanya setiap akhir semester.
Untuk menjaga mutu kinerja seorang dosen, pemerintah sudah mengatur beban kerja dosen sepadan dengan 12-16 satuan kredit semester (SKS). Dalam kenyataan, dosen sering melaksanakan kerja lebih dari itu. Agar dianggap memenuhi persyaratan, dosen tidak melaporkan semua pekerjaannya karena kalau sampai lebih dari 16 SKS, laporan tidak diterima.
Dalam kenyataan, dosen sering melaksanakan kerja lebih dari itu.
Misalnya, untuk unsur pendidikan, kalau dosen mengajar banyak mata kuliah dan ditotal dengan unsur lainnya menjadi lebih dari 16 SKS, ia akan memasukkan sejumlah mata kuliah yang dilaporkan dalam kategori ”beban lebih”.
Dengan melihat beban mengajar saja sudah kebanyakan, ia tidak melaporkan kegiatan pendidikan yang lain, misalnya menguji dan/atau membimbing skripsi/tesis/disertasi. Dari 12-16 SKS tersebut, beban unsur pendidikan dan penelitian minimal harus mencapai sembilan SKS.
Tunjangan profesi dosen
Untuk dosen yang punya jabatan akademik lektor kepala dan profesor, persyaratan ditambah publikasi ilmiah di jurnal nasional (terakreditasi) dan/atau jurnal internasional yang memenuhi sejumlah kriteria yang diatur dalam Lampiran Permenristekdikti No 20/2017 tentang pemberian tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor.
Berdasarkan aturan ini, Pasal 4 menyebutkan, seorang dosen dengan jabatan akademik lektor kepala harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal nasional terakreditasi atau satu karya ilmiah di jurnal internasional dalam kurun tiga tahun.
Pasal 8 mengatur, seorang profesor harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah di jurnal internasional atau satu karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi dalam kurun waktu tiga tahun. Apabila terpenuhi, dosen dan profesor akan menerima tunjangan profesi.
Dalam Salinan Lampiran Keputusan Dirjen Dikti Kemendikbud No 12/E/KPT/2021 tentang Operasional Beban Kerja Dosen, Bab V yang terkait penghargaan dan sanksi mengakui, dalam kondisi nyata di perguruan tinggi, umumnya dosen melaksanakan tugas dan kewajiban lebih dari 16 SKS dalam satu semester. Pada situasi seperti ini, pemerintah menyerahkan ke lembaga pendidikan masing-masing untuk mempertimbangkan memberi insentif.
Semua aturan tentang beban kerja dosen di atas berakhir pada tunjangan dan insentif, atau penghargaan secara finansial kepada dosen. Maka tak heran dosen berlomba-lomba menulis dan menerbitkan karya ilmiah dalam bentuk jurnal agar memenuhi persyaratan ini, khususnya mereka yang mempunyai jabatan akademik lektor kepala dan profesor.
Dengan melihat beban mengajar saja sudah kebanyakan, ia tidak melaporkan kegiatan pendidikan yang lain, misalnya menguji dan/atau membimbing skripsi/tesis/disertasi.
Orientasi peringkat
Pasal 4 Permenristekdikti No 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor diawali dengan kalimat ”Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas publikasi ilmiah di Indonesia”.
Penulis merasa tunjangan dan insentif yang diberikan pemerintah ataupun perguruan tinggi lebih kepada meningkatkan kuantitas, dengan asumsi kualitas pasti bisa terjamin karena karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal tentu sudah di-review oleh para ahli.
Peningkatan kuantitas ini diperlukan agar Indonesia mampu menaikkan peringkat publikasi ilmiah di panggung internasional. Hal ini tampak pada artikel Berita Media, 12 April 2018, di laman Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan yang berjudul ”Salip Singapura, Publikasi Ilmiah Indonesia Peringkat 2 ASEAN”.
Menristek Mohamad Nasir saat itu menegaskan, kuantitas publikasi ilmiah Indonesia harus berbanding lurus dengan kualitas. Hal yang perlu digarisbawahi, publikasi jurnal bukan satu-satunya ukuran akademik seseorang, melainkan kemanfaatannya bagi masyarakatlah yang harus jadi acuan utama.
Apabila acuan utama seorang akademisi adalah kemanfaatan bagi masyarakat, yang diukur dari karya ilmiah dalam bentuk jurnal, ada semacam kesenjangan yang perlu dicermati. Bagaimana masyarakat bisa memanfaatkan hasil penelitian yang diterbitkan di jurnal? Bagaimana mengakses jurnal mengingat bahwa tak semua tulisan jurnal bisa diakses secara bebas alias berbayar.
Lebih jauh, masyarakat mana yang mau membaca jurnal mengingat bahwa tingkat literasi Indonesia juga masih rendah.
Lebih jauh, masyarakat mana yang mau membaca jurnal mengingat bahwa tingkat literasi Indonesia juga masih rendah. Bahkan, laporan terakhir Staf Ahli Menteri Dalam Negeri yang dipublikasikan pada 25 Maret 2021 menyatakan tingkat literasi Indonesia ada di urutan ke-62 dari 70 negara yang masuk dalam survei Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2019.
Dari paparan di atas, tampak ada kesenjangan yang begitu nyata: para dosen Indonesia mampu mendongkrak publikasi sampai peringkat ke-2 di ASEAN, tapi kemampuan literasi siswa Indonesia di urutan ke-62 dari 70.
Lalu, siapa yang menikmati tulisan ilmiah para akademisi Indonesia yang dipublikasikan di jurnal nasional ataupun internasional? Sejauh mana warga Indonesia bisa mendapatkan manfaat dari penelitian dan pemikiran yang tertuang dalam karya ilmiah tersebut?
Reorientasi publikasi, mungkinkah?
Tulisan Asit K Biswas dan Julian Kirchherr pada kolom opini The Straits Times (11/4/2015) berjudul ”Prof, No One is Reading You” menyebutkan, sebuah tulisan ilmiah yang diterbitkan di jurnal rata-rata dibaca hanya oleh sepuluh orang. Argumentasi bahwa kualitas sebuah tulisan ilmiah pada jurnal adalah sitasi (rujukan), dalam kenyataan sitasi tidak selalu berarti dibaca.
Baca juga : Pengembangan Jurnal Ilmiah Terkendala Sumber Daya
Biswas dan Kirchherr menyebutkan hanya 20 persen dari tulisan ilmiah yang digunakan sebagai sitasi yang sungguh-sungguh dibaca. Para pengambil kebijakan tentu saja tak sempat dan tak mau membayar mahal untuk mendapatkan sebuah artikel di jurnal bereputasi (yang umumnya berbayar).
Maka, kedua penulis itu merekomendasikan agar para profesor (dalam konteks Indonesia akademisi) perlu mulai memikirkan untuk menulis komentar dan menuangkan pemikirannya di media populer, seperti kolom opini di koran dan majalah, yang tentu saja mudah diakses dan dibaca masyarakat umum, termasuk pemangku kebijakan.
Biswas dan Kirchherr menyatakan bahwa akademisi enggan melakukannya karena merasa seperti menjadi seorang aktivis, bukan akademisi.
Tulisan Biswas dan Kirchherr sangat menohok dunia akademik dan jadi viral di seluruh dunia, dan tentu perlu dibaca oleh dosen-dosen di Indonesia (mudah ditemukan di internet). Hal ini bisa digunakan sebagai refleksi para akademisi.
Sebetulnya apa yang dicari?
Sungguhkah para akademisi Indonesia memberi manfaat bagi masyarakat dengan banyaknya publikasi ilmiah di jurnal nasional (terakreditasi) dan jurnal internasional (bereputasi)? Atau sekadar patuh pada aturan untuk mendapat insentif tunjangan profesi dosen?
Beranikah Kemendikbud Ristek dan Dikti untuk lebih menghargai opini kritis para akademisi Indonesia yang dipublikasikan di media nonjurnal sebagai karya ilmiah yang setara dengan—atau lebih baik (karena lebih memiliki manfaat kepada masyarakat) dari—karya ilmiah yang diterbitkan di jurnal? Mari kita bertanya kepada rumput yang bergoyang.
Eunike Sri Tyas Suci, Dosen Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya