Tersisihnya perempuan dari dunia digital menyebabkan kehilangan 1 triliun dollar AS dari perekonomian negara berpendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
AP PHOTO/MICHAEL PROBST
Para perempuan melintas di tangga kantor Commerzbank, Frankfurt, Jerman, Selasa (7/3/20230). Tangga itu diberi tulisan yang mengampanyekan kesetaraan upah dalam rangka Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret.
Tema lengkap perayaan ini adalah ”DigitALL: Innovation and technology for gender equality”. Pilihan ini bukan kebetulan. Akhir tahun lalu dan awal tahun ini, kita dihebohkan oleh hadirnya program komputer kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI). Program ini dapat menjawab beragam pertanyaan dalam berbagai bahasa. Program ChatGPT itu disebut sebagai program AI percakapan terbaik sejauh ini.
Sementara banyak orang mengagumi sekaligus bersikap kritis terhadap capaian AI, pertanyaan menggelitik adalah siapa orang di balik berbagai program AI. Di luar stereotipe selama ini, Chief Technology Officer OpenAI, perusahaan pencipta ChatGPT, adalah Mira Murati, seorang perempuan. Sebagai CTO, dia bertanggung jawab untuk memampukan ChatGPT sebagai robot percakapan yang ”pintar”.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Pemanfaatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), ChatGPT, di sebuah kantor di Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Mira Murati adalah kekecualian. Data Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Jender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) menyebutkan, hanya ada 22 persen perempuan dari semua pekerja bidang AI. Hasilnya, dari 133 sistem AI di berbagai industri, 44,2 persen bias jender. Dunia digital melahirkan kekerasan terhadap perempuan pula. Sebanyak 73 persen jurnalis dari 125 negara, di antaranya Indonesia, mengaku mengalami kekerasan secara daring saat bekerja.
Rendahnya jumlah perempuan yang menguasai teknologi digital dan internet memperlebar kesenjangan jender dalam ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Mereka yang menguasai teknologi digital mendapat gaji dan peluang kerja lebih besar, sementara layanan digital tak menjawab kebutuhan perempuan, bahkan bisa menyulitkan. Jika ditarik ke belakang, awalnya adalah pendidikan. Ada stereotipe yang harus dibongkar bahwa anak laki-laki lebih menguasai sains, teknologi, ilmu rekayasa (engineering), dan matematika dibandingkan dengan anak perempuan. Stereotipe ini menyebabkan orangtua membedakan pendidikan anak laki-laki dan perempuan.
KORNELIS KEWA AMA
Siswa SMAN 2 Oelnasi, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, 4 Februari 2023. Sekolah ini terletak di hutan. Tidak ada kendaraan umum yang melintasinya. Akses pendidikan bagi perempuan penting untuk meningkatkan peran serta mereka dalam ekonomi.
Kerugian akibat bias jender berdampak pada ekonomi negara. Tersisihnya perempuan dari dunia digital menyebabkan kehilangan 1 triliun dollar AS dari perekonomian negara berpendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia.
Teknologi informasi dan komunikasi digital membuka juga peluang kemajuan bagi perempuan miskin, termasuk perempuan dan anak perempuan di Afghanistan yang dilarang bersekolah oleh pemerintahan Taliban. Di daerah konflik, seperti Ukraina, Timur Tengah, dan sebagian Afrika, anak perempuan tak hanya kehilangan kesempatan belajar, tetapi juga menghadapi bahaya kekerasan fisik, seksual, ekonomi, dan psikologi.
Pemerintah berkepentingan memajukan perempuan yang adalah separuh penduduk jika negara ingin maju dan sejahtera. Pendidikan harus tersedia bagi perempuan dan anak perempuan, juga perlindungan dari kekerasan yang membuat perempuan enggan bersinggungan dengan dunia digital.