Dinamika 2023
Sejumlah isu geopolitik tercatat mewarnai triwulan I-2023. Setidaknya ada sepuluh isu penting, baik internasional maupun domestik. Harapannya, masyarakat dan para elite memahami dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.
Melewati triwulan I-2023, kita mengamati berbagai dinamika geopolitik yang mewarnai tahun 2023.
Beberapa di antaranya menjadi obyek dalam tulisan ini sebagai the known unknown’s yang diangkat dari berbagai sumber media massa, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kapita selekta penulis mengetengahkan sepuluh known unknown’s yang bersifat internasional ataupun yang menjadi concern kita di dalam negeri.
Internasional
Pertama, isu perubahan iklim akan tetap menjadi pembahasan yang menarik, terkait dengan sikap dari beberapa negara yang berbeda dalam hal ukuran wilayah, kekuatan ekonomi dan politik, serta kepentingan.
Pada COP27 di Mesir tahun lalu, negara-negara berpenghasilan tinggi yang memiliki tanggung jawab sejarah atas proses pemanasan global yang sedang terjadi setuju menyediakan dana kerugian dan kerusakan (loss and damage/LnD) yang terjadi sebagai akibat dari pemanasan global. Pendanaan ini diharapkan dapat membantu negara-negara berpenghasilan rendah yang rentan terhadap dampak dan bencana hidrometeorologi.
Namun, negara-negara maju juga meminta agar China dan India sebagai negara yang dewasa ini menghasilkan emisi karbon tinggi ikut bertanggung jawab. Kedua negara ini masih belum bersedia turut serta menyediakan dana tersebut.
Baca juga : Debu COP27 Sudah Dikibaskan
Baca juga : Mengawal Realisasi Kesepakatan COP27
Walaupun demikian, gambaran keseluruhan mengenai tekad bangsa-bangsa untuk penanganan perubahan iklim cukup menggembirakan, dan diharapkan COP November 2023 bisa menyepakati siapa-siapa saja yang harus memikul biaya itu dan bagaimana mekanismenya.
Kedua, perang dagang antara AS dan China. AS akan terus membatasi perdagangan dengan China, terutama untuk mencegah teknologi AS membantu daya inovasi dan kemajuan industri China. Salah satunya, AS berupaya keras menjegal kemajuan industri elektronik China dengan cara membatasi perdagangan semikonduktor. Maka, akan terjadi ”konfrontasi geoekonomi” di antara dua adidaya dunia itu, yang mendistorsi praktik perdagangan bebas internasional dan berakibat negatif pada produktivitas dan efisiensi yang dihasilkan globalisasi.
Ketiga, perang Rusia dan Ukraina. Perang ini memengaruhi ekonomi dunia dalam dua sektor penting, yaitu pangan dan energi. Harga energi dan pangan akan berfluktuasi tinggi dan akibatnya akan memengaruhi segmen masyarakat yang rentan terhadap perubahan harga.
Sudah terdengar suara-suara yang menghendaki upaya negosiasi untuk mengakhiri perang, termasuk dalam bentuk resolusi PBB. Namun, tak ada tanda-tanda bahwa rezim Pemerintah Rusia akan mengakhiri perang tanpa dapat menunjukkan kemenangan yang berarti. Dengan adanya indikasi bahwa China akan membantu Rusia, meskipun tanpa terlibat langsung, perang itu tidak dapat diharapkan berakhir cepat.
Keempat, di wilayah Indo-Pasifik ketegangan di Taiwan akan terus berlanjut. Kawasan ini akan tetap jadi titik panas. Korea Utara tak henti-hentinya menunjukkan kemampuan tembak jarak jauhnya dengan peluru kendali antarkawasan. Kondisi politik ini berpotensi mengganggu lalu lintas di jalur pelayaran Laut China Selatan dan mengancam stabilitas wilayah Asia Timur yang menjadi salah satu pusat pertumbuhan dunia.
Jalur pelayaran ini dilalui oleh sekitar 60.000 kapal setahun, mencakup sepertiga volume lalu lintas perdagangan maritim global, dengan nilai perdagangan mencapai 4 triliun dollar AS. Kepentingan China cukup besar karena 80 persen impor energi dan total 40 persen perdagangan luar negerinya melalui alur laut itu. Tampaknya wilayah itu akan menjadi tempat potensi konflik yang ”abadi” karena pertentangan kepentingan strategis dan jangka panjang di antara berbagai kekuatan di kawasan ini.
Kelima, di wilayah ASEAN sendiri, di mana Indonesia memegang keketuaan tahun ini, upaya untuk menjadikan ASEAN kawasan pertumbuhan ekonomi yang damai akan tetap berlangsung, tetapi yang menjadi duri dalam daging wilayah ini adalah masalah Myanmar.
Indonesia berkepentingan untuk terus mengupayakan Lima Poin Kesepakatan ASEAN untuk membantu menyelesaikan masalah politik di Myanmar.
Indonesia berkepentingan untuk terus mengupayakan Lima Poin Kesepakatan ASEAN untuk membantu menyelesaikan masalah politik di Myanmar. Namun, Indonesia juga tidak menghendaki Myanmar menyandera kepentingan yang lebih besar di kawasan ini untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. Ini tantangan yang tak akan mudah dilalui Indonesia karena pemerintahan militer di Myanmar masih belum ingin beranjak dari model pemerintahan otoriter yang paling primitif.
Di waktu lalu, tekanan internasional dan kepentingan ekonomi berhasil mendesak rezim militer Myanmar untuk mundur selangkah. Tampaknya kini tekanan itu sudah mandul terhadap rezim penguasa Myanmar. Pada 2023 tak terlihat tanda-tanda akan terjadi perubahan sistem pemerintahan di Myanmar.
Dalam negeri
Berikut lima di antara isu penting ekonomi dan politik yang mendominasi situasi dalam negeri sepanjang 2023.
Pertama, politik dalam negeri diwarnai oleh upaya-upaya persiapan untuk pemilu, khususnya pemilihan presiden (pilpres), terutama dengan membangun koalisi. Telah terbentuk empat kelompok, terdiri dari tiga koalisi partai-partai dan satu partai yang belum menunjukkan tanda-tanda akan membangun koalisi dengan partai lain.
Dari empat kelompok itu, dalam narasi politiknya tiga akan melanjutkan kebijakan dan hasil-hasil pembangunan Presiden Joko Widodo dan satu kelompok tegas akan melakukan perubahan, bahkan sudah mengumandangkan sikap ”antitesis”. Ketiga kelompok partai telah menampilkan nama-nama calon presiden meskipun tidak bersifat resmi. Satu-satunya partai yang bisa mengajukan calon presidennya tanpa berkoalisi dengan partai lain masih menimbang-nimbang kader yang akan diusungnya.
Apakah dapat disimpulkan bahwa nanti ada empat paket capres dan cawapres? Jawabnya bisa ”iya”, bisa juga ”tidak”. Karena segala sesuatunya masih sangat cair, koagulasi dari koalisi partai-partai dapat terjadi, sehingga peserta pilpres bisa berkurang menjadi tiga atau bahkan dua paket.
Faktor yang sangat menentukan ialah keteguhan partai-partai akan koalisinya, serta persepsi mengenai ketokohan dan kemampuan memimpin bangsa yang besar ini dari calon-calon akan sangat memengaruhi hasil akhirnya.
Kedua, sepanjang 2023 tantangan di bidang ekonomi mencakup: suku bunga yang cenderung meningkat, inflasi yang juga menghangat, dan perlambatan ekonomi dunia. Ketiga masalah ini dipengaruhi oleh dinamika ekonomi global, terutama yang terjadi di AS dan Eropa Barat sebagai akibat dari pandemi Covid-19 yang berlangsung selama dua tahun lebih serta perang Rusia-Ukraina.
Kedua masalah itu mengguncang rantai suplai global dan membuat bank- bank sentral di dunia melakukan adaptasi atas kebijakan peningkatan suku bunga. Indonesia masih dalam posisi lebih baik karena mampu mempertahankan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, dan inflasi yang terjaga. Namun selebihnya Indonesia perlu tetap hati-hati menjaga disiplin kebijakan ekonomi makronya.
Ketiga, Indonesia sudah sejak lama memiliki keinginan agar dapat mengelola sumber daya alam (SDA) yang dimilikinya secara optimal, baik pertanian atau perkebunan maupun mineral.
Indonesia mengalami dua kali kekalahan dalam sidang gugatan di WTO mengenai pelarangan ekspor bijih nikel.
Dalam rangka itu, Indonesia menerapkan kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah untuk mendukung kebijakan hilirisasi di dalam negeri. Namun, upaya Indonesia untuk mengonsolidasikan kebijakan hilirisasi di sektor pertambangan mendapatkan tantangan dari negara-negara berpenghasilan tinggi. Indonesia mengalami dua kali kekalahan dalam sidang gugatan di WTO mengenai pelarangan ekspor bijih nikel.
Saat ini Indonesia sedang menyiapkan upaya banding, dan Presiden Jokowi sudah menegaskan Indonesia akan tetap meneruskan kebijakan hilirisasi. Alangkah tidak adil negara pemilik SDA tak dapat menikmati nilai tambah dari kekayaan alamnya sendiri.
Jika hilirisasi di sektor tambang dan minyak dan gas bumi (migas) berjalan terus, maka seperti diberitakan oleh media, Presiden Jokowi memproyeksikan penambahan produk domestik bruto (PDB) sebesar hampir 700 miliar dollar AS dan membuka sekitar sembilan juta lapangan kerja baru. Namun, Indonesia juga harus hati-hati menjalankan setiap langkahnya, sambil mendahulukan kepentingan nasional, harus dijaga jangan sampai kehilangan mitra dagang yang penting. Untuk itu perlu diplomasi ekonomi yang canggih.
Keempat, Indonesia berhasil mengendalikan pandemi Covid-19, dan pada Desember 2022 Presiden sudah mencabut ketentuan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Kebijakan ini membuat mobilitas masyarakat menjadi longgar sehingga aktivitas ekonomi dapat berjalan tanpa hambatan. Pemerintah Indonesia berharap dengan pelonggaran mobilitas ini kondisi ekonomi tahun 2023 akan lebih baik daripada tahun sebelumnya.
Namun, pemulihan ekonomi memerlukan waktu sehingga pemerintah tetap harus mempertahankan kebijakan ekonomi yang menggairahkan dunia usaha tetapi dengan penuh kehati-hatian, dan disertai program-program inklusif, termasuk bantuan sosial bagi masyarakat miskin yang terdampak.
Kelima, masalah kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Terakhir, KKB menyandera pilot Susi Air yang berkewarganegaraan Selandia Baru. Tentu saja tindakan KKB ini, besar atau kecil, menimbulkan komplikasi di luar negeri.
Bagi kita pastilah Papua adalah Indonesia seperti Jawa atau Bali. Apa pun yang terjadi di daerah Indonesia adalah urusan kita sendiri. Selain upaya untuk menegakkan keamanan di wilayah tanah air, kita juga harus memerankan diplomasi yang tangguh dan tidak defensif.
Demikianlah gambaran singkat atas masalah-masalah yang tampaknya akan mendominasi sepanjang 2023. Tentunya kita berharap setiap masalah tersebut dapat dipahami masyarakat, terutama para elitenya, secara utuh, terutama berbagai masalah yang berdimensi internasional, yang memiliki dampak langsung atau tidak langsung atas kedaulatan, kemandirian, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Ginandjar Kartasasmita Guru Besar, National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang