Mengawal Realisasi Kesepakatan COP27
Utusan iklim dari sejumlah negara dalam COP27 Mesir menyuarakan mengawal realisasi dari kesepakatan soal pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan. Jangan sampai hal ini hanya menjadi janji manis negara-negara maju.
Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-27 atau COP27 di Sharm el-Sheikh, Mesir, telah berakhir. Kini, kesepakatan yang dihasilkan, khususnya terkait soal pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan, perlu terus dikawal guna mencapai keadilan iklim sekaligus meningkatkan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Sorotan dunia terhadap upaya setiap negara dalam mengatasi krisis iklim yang semakin mengancam kehidupan di Bumi tertuju pada COP27 yang resmi dimulai sejak 6 November dan baru berakhir pada 20 November. Hasil dari COP27 sangat penting di tengah kondisi dunia yang mulai terancam akibat kenaikan suhu yang kian tak bisa dihindari.
Perundingan yang panas dan alot dari setiap delegasi, khususnya saat membahas aspek pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan (loss and damage), sudah terjadi sejak pekan pertama. Pendanaan ini perlu dibayarkan untuk mengganti kehilangan dan kerusakan akibat dampak dari krisis iklim yang mayoritas dialami negara pulau-pulau kecil dan berkembang.
Masih banyak hal yang harus dilakukan guna merealisasikan pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan, termasuk upaya mengatasi krisis iklim lainnya.
Sejumlah negara pulau-pulau kecil dan berkembang yang mendorong kompensasi ini antara lain Venezuela, Rwanda, Tuvalu, Pakistan, Eswatini, dan beberapa negara Afrika lainnya. Mereka meminta agar perundingan tentang komitmen pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan iklim menjadi agenda inti dalam COP 27.
Bagi beberapa negara miskin di Afrika seperti Rwanda, komitmen pendanaan dari negara maju akan menentukan keberhasilan COP27. ”Banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan bahwa komitmen pendanaan ini merupakan sebuah hasil COP terbaru dan dapat diakses,” kata negosiator Rwanda, Ineza Umuhoza Grace.
Perundingan tentang pendanaan kehilangan dan kerusakan mendapat sejumlah tanggapan berbeda. Dalam perundingan pekan pertama, Utusan Iklim Jerman Jennifer Morgan menyatakan bahwa daftar negara yang membayar untuk membantu negara-negara miskin dalam mengatasi perubahan iklim harus diperbarui. China menjadi salah satu negara yang diminta pertanggungjawabannya dalam pendanaan iklim ini.
”Sangat jelas kita sekarang berada di tahun 2022 dan dunia telah berubah secara fundamental. Kami berharap bahwa negara yang membayar pendanaan iklim dalam konvensi dan aturan ini juga akan disesuaikan dengan perekonomian negara,” ujarnya.
Selama beberapa dekade terakhir, China tercatat sebagai negara penyumbang emisi terbesar di dunia akibat aktivitas industri. Di sisi lain, hal ini membuat perekonomian China meningkat secara signifikan hingga menempati peringkat terbesar kedua di dunia.
Meski demikian, sampai sekarang China masih ditetapkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai negara berkembang. Hal inilah yang menjadi sorotan negara-negara lain agar China turut berkontribusi mengatasi krisis iklim melalui dukungan pendanaan.
Baca juga: Mesir, Sharm el-Sheikh, dan COP 27
Perundingan pun memanas karena delegasi China menolak desakan dari negara-negara berkembang tersebut. Utusan Iklim China Xie Zhenhua menyatakan bahwa China tidak memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam pendanaan kehilangan dan kerusakan. Namun, China sangat terbuka untuk mendukung pendanaan iklim lainnya.
Selama ini, mayoritas negara-negara maju menolak pembiayaan untuk kompensasi kerugian dan kerusakan karena khawatir adanya klaim yang sangat besar dari negara berkembang. Negara maju juga khawatir pendanaan iklim ini akan mengikat dalam jangka panjang sehingga mereka memilih memusatkan untuk pendanaan iklim yang sudah berjalan.
Skotlandia yang merupakan tuan rumah COP26 menjadi negara pertama yang menawarkan kompensasi kehilangan dan kerusakan. Skotlandia berkomitmen menyediakan pendanaan hingga 2 juta poundsterling untuk mendorong negara lain melakukan hal serupa.
Komitmen Skotlandia ini ditegaskan kembali dalam perundingan hari kedua COP27. Skotlandia kemudian menjanjikan peningkatan pendanaan ini sebesar 5 juta poundsterling sehingga total menjadi 7 juta poundsterling.
Terobosan Uni Eropa
Perundingan tentang pendanaan iklim masih berjalan panas dan alot hingga memasuki tenggat pekan kedua. Kondisi ini kemudian mendasari delegasi dari Uni Eropa untuk menyiapkan proposal pendanaan guna meningkatkan peluang kesepakatan. Proposal tersebut mengaitkan kompensasi bencana iklim dengan pengurangan emisi yang lebih ketat.
Proposal dari 27 negara Uni Eropa menawarkan pendekatan dua arah yang akan memberikan pendanaan bagi negara-negara miskin untuk mendorong penurunan emisi. Ini termasuk menghentikan secara bertahap semua bahan bakar fosil, gas alam, dan minyak.
Usulan dari Uni Eropa ini pada akhirnya mendorong setiap delegasi menyepakati tentang komitmen negara maju dalam menyiapkan pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan. Terobosan ini baru bisa disepakati menjelang penutupan COP27, Minggu (20/11/2022) pagi.
Pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan akan mengumpulkan uang dari sumber yang jauh lebih luas, termasuk bank pembangunan dan sumber keuangan inovatif lainnya, seperti pajak bahan bakar fosil atau maskapai penerbangan.Namun, daftar negara yang harus menyediakan pendanaan ini masih belum disepakati dan akan dibahas dalam COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, tahun depan.
Sejumlah pihak menyatakan, kesepakatan ini sangat bersejarah bagi perundingan perubahan iklim. Bahkan, sebagian menyebut kesepakatan ini seolah menjadi kemenangan dari keinginan yang terus diperjuangkan negara-negara berkembang selama 20 tahun terakhir.
Baca juga: Draf Kesepakatan COP27 Dinilai Mengecewakan
Presiden World Resources Institute (WRI) Aniruddha Dasgupta mengatakan, dana kehilangan dan kerusakan ini akan menjadi penyelamat bagi jutaan keluarga miskin di dunia yang terkena dampak perubahan iklim. Selama ini, dampak perubahan iklim telah menghancurkan rumah mereka, merusak ladang, dan membuat penduduk pulau terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya.
”Hasil positif dari COP27 ini merupakan langkah penting untuk membangun kembali kepercayaan dengan negara-negara yang rentan terkena dampak krisis iklim,” ungkapnya.
Komite transisi
Terlepas dari terobosan ini, pada akhirnya kesepakatan tersebut sebagian besar akan bergantung pada percepatan pendanaan yang disiapkan. Perhatian setiap negara selanjutnya akan terpusat pada Komite Transisi yang dibentuk Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).
Komite Transisi akan membuat rekomendasi terkait operasionalisasi dari pengaturan pendanaan baru untuk kehilangan dan kerusakan yang akan dibahas dalam COP28.Pertemuan pertama Komite Transisi diharapkan berlangsung sebelum akhir Maret 2023.
Dalam sesi penutupan COP27, Utusan Iklim dari Antigua Lia Nicholson menegaskan bahwaKomite Transisi harus segera dibentuk dan diberikan mandat yang jelas. ”Dana kehilangan dan kerusakan ini harus menjadi kapal kecil penyelamat kita,” katanya.
Pernyataan Nicholson ini sekaligus menjadi reaksi atas sejumlah janji pendanaan iklim masa lalu yang terus diingkari negara maju. Pada 2009, negara-negara maju setuju untuk menyediakan pendanaan hingga 100 miliar dollar AS per tahun untuk membantu transisi negara-negara berkembang ke sistem energi hijau dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Namun, sampai saat ini, inisiatif itu tidak pernah sepenuhnya didanai.
Dalam akun Twitter-nya, Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak juga menyambut baik kesepakatan yang dicapai pada COP27. Namun, ia mengingatkan semua pihak agar tidak terlena dengan kesepakatan ini karena masih banyak hal yang harus dilakukan guna merealisasikan pendanaan untuk kehilangan dan kerusakan, termasuk upaya mengatasi krisis iklim lainnya.
Terlepas dari pendanaan kehilangan dan kerusakan yang menjanjikan, sejumlah pihak, seperti Uni Eropa, Jerman, dan PBB, juga menyoroti hasil kesepakatan COP27 yang kurang optimal. Selain pendanaan iklim, seluruh kesepakatan dinilai tidak cukup ambisius untuk mengurangi emisi yang menyebabkan suhu Bumi terus meningkat.
Baca juga: Kesepakatan ”Kehilangan dan Kerusakan” untuk Wujudkan Keadilan Iklim
”Planet kita masih berada di ruang gawat darurat. Kita perlu mengurangi emisi secara drastis sekarang dan masalah ini tidak dibahas dalam COP27,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Seluruh pernyataan dari para utusan iklim dari sejumlah negara memiliki kesamaan, yakni mengawal realisasi kesepakatan COP27 pada aspek pendanaan kehilangan dan kerusakan. Akan tetapi, realisasi ini juga perlu diiringi dengan upaya lain, seperti memastikan penurunan emisi yang lebih ambisius dengan menghentikan penggunaan bahan bakar fosil agar Bumi dan seluruh kehidupannya tetap terjaga. (AP/REUTERS)