Putusan Keliru Penundaan Pemilu
Sulit untuk percaya bahwa hakim tidak memahami prinsip-prinsip sederhana dalam peradilan dan perkara perdata yang memang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Muncul dugaan, jangan-jangan ada sesuatu di belakangnya.
Tak banyak terendus oleh publik, tetiba putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman kepada Komisi Pemilihan Umum untuk menunda pelaksanaan tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN. Jkt.Pst terkait gugatan Partai Prima telah menjadi putusan yang sangat ajaib dan sukar dipahami secara nalar hukum. Setidaknya ada empat kekeliruan mendasar dalam putusan ini.
Pertama, soal kompetensi. Partai Prima telah membawa persoalan serupa ke Bawaslu dan pengadilan tata usaha negara (PTUN) dan semua ditolak. Di UU Pemilu jelas diatur bahwa sengketa pemilu harus melalui koridor Bawaslu dan PTUN. Sengketa dalam hal proses, administrasi, dan hasil punya koridor berbeda. Sengketa sebelum pencoblosan, jika terkait dengan proses administrasi, harus selesai di Bawaslu. Sementara jika berkaitan dengan kepesertaan dapat ditempuh hingga PTUN. Partai Prima telah melakukannya, dan semua ditolak.
Menjadi luar biasa karena kasus ini dibawa lagi ke pengadilan negeri. Ini seperti mengusahakan cara apa pun meski itu bukan koridor yang dibenarkan. Dalam istilah antropologi hukum, ini dikenal sebagai ”window shopping”.
Herannya, window shopping ini dibiarkan oleh hakim. Pembiarannya pun terkesan mengada-ada. Putusan tersebut sering mengutip UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tetapi malah menegasikan ketentuan penyelesaian yang koridornya diatur di UU itu dengan membiarkan penggugat melayangkan gugatan melalui koridor yang tak dibenarkan menurut UU. Ada kesan ketiadaan pemahaman utuh atas UU Pemilu.
Baca juga : Perintahkan Penundaan Pemilu, Putusan PN Jakpus Melampaui Kewenangannya
Baca juga : Publik Menolak Usulan Penundaan Pemilu 2024
Gejala window shopping memang bukan khas di wilayah ini saja. Di banyak perkara, ini sering kali menjadi trik yang dilakukan oleh pengacara, pemohon, ataupun penggugat untuk mencari berbagai jalan hukum yang disediakan meski itu bukan jalan yang seharusnya dilewati. Karena itu, di titik inilah keanehannya. PN Jakarta Pusat justru membuka diri untuk digunakan, padahal ia bukan koridor untuk penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan pemilu.
Adalah benar, seorang hakim memiliki kemandirian dan keyakinan dalam memutus suatu perkara, tetapi bukan berarti ia bisa akrobatik, tanpa memedulikan ketentuan perundang-undangan, doktrin, dan teori hukum. Belum lagi soal implikasi putusan. Perkara yang telah diputuskan oleh lembaga yang memiliki kompetensi seakan kemudian dimentahkan oleh putusan ini. Pertanyaannya, mana yang mengikat dan harus dilaksanakan?
Kedua, persoalan substansi perkara. Taruhlah, misalnya, kita berbaik sangka dan menganggap ini adalah penggunaan judicial activism yang dapat dibenarkan. Judicial activism adalah tendensi kekuasaan kehakiman untuk masuk ke dalam kewenangan yang dimiliki oleh kelembagaan lain.
Namun, jangan dilupakan bahwa kodrat dari pengadilan ini adalah perkara perdata. Perkara perdata terbentuk dari relasi antar-individu. Memang benar ada konsep lama tentang ”perbuatan melawan hukum oleh penguasa”, tetapi tetap saja dikaitkan dengan kerugian yang dilakukan oleh seorang pejabat publik dan mengakibatkan kerugian bagi pihak penggugat.
Sesungguhnya, ini pun sudah sangat berkurang semenjak kehadiran PTUN pada 1986. Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2019 juga ikut mengatur dan mendetailkan hal itu. Oleh karena itu, perbuatan melawan hukum menjadi jauh lebih sempit karena hanya dikaitkan pada kerugian keperdataan.
Nah, di sinilah menariknya. Artinya, kalaupun kompetensinya dianggap dapat diterima, paling akhir ia hanyalah bisa memerintahkan KPU untuk melakukan verifikasi atas Partai Prima. Hal yang langsung berkaitan dengan hak Partai Prima untuk ikut dalam pemilu.
Di titik ini, kritik juga harus dilontarkan ke Partai Prima yang dalam gugatannya justru meminta penundaan pemilu hingga 2 tahun 4 bulan 7 hari. Bagai gayung bersambut, PN Jakarta Pusat mengiyakan. Padahal, permintaan Partai Prima tentu tidak tepat. Namun, ketidaktepatan itu malah dibenarkan dan dijadikan sandaran untuk memutus oleh ketiga hakim yang ada. Tentu ini adalah kekeliruan kedua yang tak kalah penting.
Belum lagi jika diperpanjang perdebatannya hingga soal perbuatan melawan hukum jenis apa yang diminta. Karena sesungguhnya yang mungkin adalah perbuatan melawan hukum oleh penguasa, yang dalam putusan ini tidak mengarah ke sana.
Jika soal kompetensi, alasan judicial activism masih mungkin digunakan oleh para hakim berapologi, tetapi pada jenis kekeliruan yang kedua ini sungguh teramat fatal. Sulit untuk dipercaya jika hakim malah tidak memiliki kemampuan substantif yudisial untuk hal yang sesederhana ini.
Ketiga, kekeliruan fatal yang masih berkaitan dengan substansi perkara adalah apa mungkin putusan perdata yang seharusnya mengembalikan hak Partai Prima berakibat sangat substansial bagi hukum publik, yakni pelaksanaan pemilu dan hak-hak yang menyertai di dalamnya. Misal, hak partai-partai lain peserta pemilu ataupun hak pemilih.
Seperti halnya dengan kesalahan yang kedua, mustahil hal ini tidak disadari oleh para hakim. Bagaimana bisa hak keperdataan Partai Prima ia tegakkan, dengan membiarkan pelanggaran terhadap begitu banyak hak lain dari banyak pihak lain. Lagi-lagi karena putusan pada rezim keperdataan yang sangat berbeda sifatnya dengan hukum publik. Sulit diterima akal sehat, demi Partai Prima, hak-hak lain dari banyak pihak lain tak apa untuk dilanggar.
Keempat, yang tidak kalah keliru adalah ketika memaksakan bahwa putusan ini harus dilaksanakan meskipun dengan pertaruhan penundaan pemilu. Dengan jumlah yang diputuskan hakim berdasarkan gugatan, pemilu terlempar hingga pertengahan 2025.
Adalah benar, seorang hakim memiliki kemandirian dan keyakinan dalam memutus suatu perkara, tetapi bukan berarti ia bisa akrobatik, tanpa memedulikan ketentuan perundang-undangan, doktrin, dan teori hukum.
Kerja mengawasi
Memang putusan ini belum inkracht, masih sangat bergantung pada pihak KPU, apakah akan melakukan banding atau tidak. Namun, jika sudah tetap, maka berimplikasi pada penundaan pemilu.
Padahal, pemilu tak dapat dimundurkan karena pemilu sangat berkaitan dengan agenda ketatanegaraan dan pengisian jabatan kenegaraan yang ada di dalamnya, khususnya pada sistem pemerintahan presidensial, yakni presiden dan parlemen. Termasuk di dalamnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal-hal yang berkaitan dengan itu diatur di dalam UUD yang secara tegas memberikan masa jabatan dan waktu limitatif pelaksanaan pemilu.
Oleh karena itu, putusan hakim ini tak hanya membongkar UU Pemilu serta jadwal rigid kepemiluan yang sudah disepakati pemerintah dan DPR, tetapi lebih jauh juga menghancurkan aturan dasar di dalam UUD yang menyatakan pemilu haruslah dilaksanakan setiap lima tahun, menyesuaikan dengan masa jabatan pemerintah dan parlemen.
Menjadi sangat tidak wajar, pengadilan negeri, yang dalam hal ini adalah pengadilan perdata, memberikan putusan yang malah berefek menunda pemilu yang domainnya jelas di dalam UUD ataupun UU. Ajaran dasar konstitusionalisme menegaskan, semua orang harus taat pada konstitusi. Termasuk di dalamnya bukan hanya aturan konstitusi, melainkan juga nilai-nilai, yang salah satunya adalah limitasi kekuasaan. Dengan kata lain, putusan ini sesat, teramat keliru, serta mengada-ada.
Sekali lagi, sulit untuk percaya bahwa hakim tidak memahami prinsip-prinsip sederhana dalam peradilan dan perkara perdata yang memang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Muncul dugaan, jangan-jangan ada sesuatu di belakangnya. Dan karena alasan inilah sistem-sistem pengawasan hakim haruslah bekerja atas putusan ajaib ini.
Mahkamah Agung (MA), biar bagaimanapun, masih memegang kontrol atas hakim yang berada di bawahnya. MA harus memeriksa apakah ini benar-benar lahir dari ”logika dan pendapat” hakim ataukah karena hal lain.
Termasuk di dalamnya bagaimana MA bisa memastikan bahwa langkah hukum lanjutan dari putusan keliru ini bisa mengembalikan putusan ke jalur yang benar dengan konsep yang tepat. Hakim pengadilan tinggi, tatkala KPU melakukan banding, harus menempatkan kembali kerangka-kerangka dasar dan konsepsi dasar, dan tak membiarkan putusan ajaib ini berlanjut.
Tagihan atas peran MA juga tidak berhenti sampai di sini. Harus ada langkah konkret MA untuk membatasi gejala window shopping. Praktik yang terjadi sudah terlalu banal dan diperlihatkan di berbagai tingkatan dan jenis peradilan sehingga seakan-akan suatu kasus tidak punya koridor pasti dan segala cara dipakai untuk mencoba-coba.
Alih-alih menjaga hak konstitusional pencari keadilan, sangat mungkin hal itu malah berubah menjadi involusi keadilan manakala dibiarkan terlalu banyak jalan yang terbuka.
Kedua, Komisi Yudisial (KY). Meskipun senantiasa ada perdebatan mendasar sejauh mana KY bisa melakukan pemeriksaan jika dikaitkan dengan substansi putusan, saya kira tindakan hakim dengan putusan ajaib ini sangat berpotensi berkelindan dan mengganggu kehormatan, keluhuran, martabat, dan perilaku hakim. Di sinilah KY harus kembali bekerja dan menunjukkan serta menegakkan mandat konstitusinya.
Hakim pengadilan tinggi, tatkala KPU melakukan banding, harus menempatkan kembali kerangka-kerangka dasar dan konsepsi dasar, dan tak membiarkan putusan ajaib ini berlanjut.
Jangan biarkan pemilu ditunda
Tagihan yang paling utama sesungguhnya adalah pada komitmen semua komponen bangsa ini dalam menyelenggarakan pemilu, termasuk KPU, DPR, bahkan Presiden. Mereka harus serius untuk memastikan pemilu tetap berlangsung. Kerja-kerja mereka selama ini dalam upaya memastikan bahwa pemilu tetap terselenggara adalah hal yang harus dilanjutkan.
Pemilu adalah agenda bersama yang memang membutuhkan komitmen bersama. Jangan lagi dibiarkan agenda peralihan kekuasaan menjadi agenda kepentingan politik tertentu yang bisa merusak agenda kepemiluan. Kita semua harus mengawal dan menyukseskan, karena kesuksesan pemilu menjadi salah satu syarat dalam menyelesaikan transisi demokrasi dari otoritarian menuju demokrasi yang terkonsolidasi.
Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen HTN FH UGM; Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS)