Gaya Hidup Pejabat Negara
Seorang pejabat yang bangga dengan statusnya cenderung lebih mengedepankan penampilan dan simbol status daripada kinerja dan komitmennya. Mereka rentan terjerumus ke dalam proses masifikasi, tak mampu temukan jati diri.
Gaya hidup pejabat kini mengalami banyak pergeseran.
Soekarno, presiden pertama RI, dikenal sebagai sosok sederhana. Bukan pejabat negara yang suka memamerkan gaya hidup wah.
Ini berbeda dengan pejabat negara di era masyarakat post-modern. Tidak hanya jauh dari gambaran pejabat negara yang idealnya sederhana, kini tidak sedikit pejabat memperlihatkan gaya hidup yang membuat kita miris. Seorang pejabat Kementerian Keuangan yang kini tengah kesandung masalah gara-gara ulah anaknya menampilkan gaya hidup yang bertolak belakang dengan statusnya sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Selain memiliki koleksi mobil mewah dan motor gede, tidak sedikit pejabat negara yang juga memiliki banyak rumah mewah dengan harga miliaran atau bahkan puluhan miliar rupiah.
Di era masyarakat post-modern, bagaimana seseorang menampilkan dirinya di hadapan orang lain, dan bagaimana seseorang membangun identitas di hadapan lingkungan sosialnya, dipengaruhi oleh konstruksi dirinya menyikapi tuntutan masyarakat dan kepentingan yang melatarbelakanginya.
Baca juga : Arahan Presiden untuk Hidup Sederhana Perlu Diikuti Semua Pejabat
Baca juga : Gaya Hidup Mewah Polisi Meresahkan
Sementara itu, gaya hidup seperti apa yang dikembangkan dan ditampilkan seseorang dalam lingkungan sosialnya umumnya dipengaruhi oleh ekspansi kekuatan kapital atau industri budaya yang sengaja merancang dan mendorong perkembangan gaya hidup untuk kepentingan akumulasi modal dan keuntungan.
Gaya hidup bukanlah cara hidup yang ditampilkan dengan ciri-ciri seperti norma, ritual, pola-pola tatanan sosial, dan mungkin juga suatu komunitas dialek atau cara berbicara yang khas. Gaya hidup diekspresikan melalui apa yang dikenakan seseorang, apa yang ia konsumsi, dan bagaimana ia bersikap atau berperilaku di hadapan orang lain.
Gaya hidup bukan sekadar aktivitas atau mengisi waktu luang. Gaya hidup tumbuh dan dikembangkan oleh kekuatan kapital untuk kepentingan membangun pangsa pasar, memperbesar keuntungan, dan menghela agresivitas masyarakat dalam mengonsumsi berbagai produk industri budaya.
Warga masyarakat yang terperangkap dalam pusaran dan perkembangan gaya hidup, ketika melakukan proses reflektif, bernegosiasi antara diri dan tuntutan pasar, sering kali tidak berdaya ditelikung cengkeraman kekuatan kapitalis yang secara kreatif senantiasa menawarkan produk-produk industri budaya yang menarik dan seolah harus menjadi kebutuhan konsumen.
Kebutuhan untuk menampilkan citra diri secara personal, kedirian, keunikan, atau image-nya di hadapan kelompok sosialnya sering kali menyebabkan masyarakat terbelenggu dalam pusaran gaya hidup yang seolah tak pernah putus.
Seseorang ketika memutuskan membeli motor gede, misalnya, sering kali bukan karena kendaraan itu memang dibutuhkan untuk sarana transportasi sehari-hari, melainkan lebih banyak didorong karena kebutuhan untuk menjaga citra diri, image bahwa ia bukan termasuk orang yang ketinggalan zaman. Atau karena ia sebetulnya tengah berusaha menjaga citra sebagai bagian dari kelompok kelas sosial atas yang kebanyakan memang memiliki motor gede.
”Ersatz”
Perilaku seseorang membeli berbagai produk industri budaya, mengonsumsi produk budaya, dan memanfaatkannya, selain dipengaruhi berbagai faktor sosial: kelas, perbedaan usia, jender, dan lain-lain, yang tak kalah penting perilaku konsumsi acapkali juga dipengaruhi dan dibentuk oleh pemahaman mereka tentang gaya hidup.
Gaya hidup adalah pola-pola tindakan yang membedakan satu orang dengan yang lain (Chaney, 2004). Istilah gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif, mengandung pengertian bahwa gaya hidup sebagai cara hidup mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan, dan pola-pola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup.
Cara sendiri bukan sesuatu yang alamiah, melainkan hal yang ditemukan, diadopsi atau diciptakan, dikembangkan dan digunakan untuk menampilkan tindakan agar mencapai tujuan tertentu. Untuk dapat dikuasai, cara harus diketahui, digunakan, dan dibiasakan (Adian, dalam Adlin [ed], 2006).
Di masyarakat post-modern, gaya hidup biasanya tumbuh bersamaan dengan globalisasi, perkembangan pasar bebas, dan transformasi kapitalisme konsumsi. Melalui peran iklan, budaya populer, media massa, dan transformasi nilai modern yang dilakukan, kapitalisme konsumsi akan memoles gaya hidup dan membentuk masyarakat konsumen, yakni masyarakat yang lebih mengedepankan penampilan daripada isi substantifnya.
Gaya hidup dan perilaku konsumtif ibaratnya adalah dua sisi mata uang yang menjadi habitat subur bagi perkembangan semangat kapitalisme. Di masyarakat post-modern, tidak ada orang yang bergaya tanpa modal atau hanya mengandalkan simbol-simbol budaya.
Seseorang dikatakan memiliki gaya hidup yang modern ketika ia mengonsumsi dan memamerkan simbol-simbol ekonomi yang berkelas, dan melakukan berbagai aktivitas yang membutuhkan dana tidak sedikit. Seseorang yang minum kopi di Starbucks atau Excelso yang harga secangkirnya sekitar Rp 50.000 tentu lebih bergaya jika dibandingkan orang yang minum kopi di warung pinggir jalan dengan harga cuma sepersepuluhnya. Seseorang yang mengendarai Rubicon atau motor gede tentu jauh lebih bergengsi daripada hanya mengendarai Avanza atau sepeda motor biasa.
Di banyak masyarakat, gaya hidup cenderung berkembang cepat karena didorong keterbukaan, pluralisme tindakan, dan aneka ragam otoritas. Pada masyarakat yang kapitalistis, di mana iklim keterbukaan berkembang pesat, demokrasi berjalan maksimal, dan semangat multipluralisme benar-benar tumbuh, maka kombinasi ini biasanya akan menjadi ladang persemaian yang subur bagi perkembangan gaya hidup.
Di era masyarakat konsumen, orang cenderung bersedia mengeluarkan banyak uang untuk membiayai penampilan karena biaya yang mereka keluarkan adalah bentuk investasi dalam rangka membangun citra diri dan makna personal yang dinilai lebih penting.
Di era masyarakat konsumen, orang cenderung bersedia mengeluarkan banyak uang untuk membiayai penampilan karena biaya yang mereka keluarkan adalah bentuk investasi dalam rangka membangun citra diri dan makna personal yang dinilai lebih penting. Cuma yang menjadi masalah, gaya hidup yang terlampau berlebihan dan jauh dari kepatutan niscaya yang dituai bukanlah kekaguman, melainkan justru sikap iri, kritik, dan bahkan cemoohan.
Ciri atau karakteristik yang menandai perkembangan masyarakat post-modern yang sering kali terperangkap ke dalam pusaran gaya hidup dan citra diri yang berlebihan adalah, pertama, ketika masyarakat lebih menaruh perhatian pada penampilan luar daripada substansinya, kompetensinya.
Alih-alih belajar dengan sungguh-sungguh untuk mempelajari keahlian dan keterampilan untuk hidup, justru yang terjadi adalah mereka cenderung hanya rajin menambah gelar, mengedepankan gaya berpakaian yang mentereng, mengendarai mobil mewah, dan sebagainya untuk menunjukkan identitas sosialnya.
Kedua, ketika masyarakat tumbuh dan berkembang menjadi kelompok masyarakat pesolek (dandy society) yang lebih mementingkan bagaimana memoles penampilan citra diri daripada bersikap terhormat dan menunduk laksana padi yang makin berisi. Menampilkan apa yang dimiliki dengan motif agar dikagumi orang lain cenderung lebih mengedepan. Bahkan, pada titik tertentu bersikap sombong di hadapan orang lain seolah tidak menjadi masalah, karena yang terpenting adalah keinginan untuk dihormati daripada disegani.
Ketiga, ketika estetisasi penampilan diri, yakni ketika gaya dan desain menjadi lebih penting daripada fungsi.
Seseorang yang menempatkan dirinya kelas elite niscaya akan rela merogoh kocek ratusan juta atau bahkan miliaran rupiah hanya untuk membeli tas branded Hermes daripada membeli tas kulit biasa yang harganya Rp 300.000-Rp 500.000, karena yang lebih dipentingkan adalah bagaimana ia menjaga image pada penampilan dirinya di hadapan publik.
Bagi masyarakat yang lebih mementingkan estetisasi ini, yang penting apa yang bisa mereka tampilkan di luar— bukan kerendahan hati yang dalam.
Ketika seseorang mengonsumsi sesuatu, bukan sekadar karena ingin membeli fungsi pertama atau fungsi inheren dari produk yang dibelinya itu, tetapi sebetulnya ia juga berkeinginan untuk membeli fungsi sosial yang lain yang disebut Adorno (1960) sebagai ersatz, nilai pakai kedua sebuah produk (lihat Evers, 1988).
Artinya, seseorang membeli tas, mobil, atau produk industri budaya yang lain tidak selalu karena ia butuh tempat berbagai barang miliknya, tetapi bisa juga karena didorong tujuan-tujuan sosial yang lain: prestise, kepentingan untuk memperoleh modal sosial sebagai tiket menjalin relasi dengan peer-groupnya, dan sebagainya.
Seperti dikatakan Adorno, komodifikasi budaya atau kebudayaan yang diindustrialisasikan—yang dirancang berdasarkan kalkulasi-kalkulasi keuntungan—hanya akan menghasilkan penipuan massa (Ibrahim [ed], 2004: 328). Di era kapitalisme akhir, membeli barang sesungguhnya juga berarti membeli kesan dan pengalaman, dan kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi sederhana, melainkan merupakan interaksi simbolis di mana individu membeli dan mengonsumsi kesan.
Seorang pejabat negara yang bangga dengan statusnya biasanya cenderung lebih mengedepankan penampilan dan simbol status daripada kinerja dan komitmennya.
Pejabat negara
Menurut Machin dan Leeuwen (2005), berbeda dengan individual style (gaya pribadi) dan social style (gaya sosial), yang dimaksud life style (gaya hidup) di sini adalah gabungan dari kedua gaya pribadi dan gaya sosial yang muncul pada wilayah sosial tertentu. Ini merupakan aktivitas bersama dalam mengisi waktu senggang, dan sikap dalam menghadapi isu sosial tertentu.
Dalam berbagai kasus, seseorang biasanya menggunakan gaya hidup dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengidentifikasi dan menjelaskan secara lebih luas mengenai identitas dan afiliasi kelas seseorang (Chaney, 2003).
Seorang pejabat negara yang bangga dengan statusnya biasanya cenderung lebih mengedepankan penampilan dan simbol status daripada kinerja dan komitmennya. Pejabat negara seperti ini bukan tidak mungkin akan menempuh rute mana pun, termasuk melakukan tindakan jalan pintas mencari dukungan material dan dukungan politik untuk memastikan mereka dapat memperoleh apa yang diinginkan.
Gaya hidup yang dikembangkan pejabat negara yang lebih banyak mengejar keuntungan pribadi ini biasanya rentan terjerumus ke dalam proses masifikasi, yakni pemassalan yang disebabkan ketidakmampuan menemukan jati diri.
Kasus yang kini menimpa salah satu pejabat negara di Kementerian Keuangan hanyalah salah satu contoh. Kebetulan saja pejabat negara ini sedang sial karena ulah anaknya yang melakukan tindakan kelewat batas menganiaya seorang anak secara keji.
Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan memang telah meminta maaf dan melakukan beberapa gebrakan untuk merevitalisasi citra jajarannya yang tengah terpuruk. Kebijakan Sri Mulyani yang menaikkan gaji jajarannya dengan alasan agar tidak tergiur melakukan praktik mencari penghasilan secara tidak wajar terbukti telah gagal.
Bagong SuyantoGuru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga