Demam AI dan Pelajaran Kegagalan Google Menyalip ChatGPT
Apakah peluncuran bot ChatGPT yang dibuat oleh OpenAI, sebuah perusahaan yang memiliki ikatan mendalam dengan pesaing Google, Microsoft, termasuk ”kesempatan yang terlewatkan” oleh Google?
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
KOMPAS/ILHAM KHOIRI
Andreas Maryoto, wartawan senior Kompas
Tak lama setelah ChatGPT muncul, pembahasan tentang kecerdasan buatan atau AI pun meluas. Metamesta (metaverse) yang selama hampir dua tahun menjadi obrolan pun nyaris tenggelam. Kini, perusahaan besar dan kecil ramai masuk ke pengembangan kecerdasan buatan. Akan tetapi, kasus kegagalan Google melalui produk bernama Bard guna menyalip ketenaran ChatGPT menjadi pelajaran bagi kita yang ingin mengembangkan AI.
Kesuksesan ChatGPT, sebuah bot percakapan kecerdasan buatan yang dibikin oleh OpenAI yang berbasis di AS, meledak begitu versi awal diluncurkan. Orang seperti dibangunkan dari impian tentang AI.
Mereka makin yakin bahwa AI bisa dekat dan sudah riil hadir di tengah masyarakat serta akan memudahkan sejumlah pekerjaan mereka. Kemunculan ChatGPT telah memicu desakan-desakan yang disertai kepanikan agar perusahaan teknologi lain buru-buru memasarkan produk AI terbaru mereka.
ChatGPT sendiri dilaporkan telah melampaui rekor Instagram dan TikTok dalam akuisisi pengguna. Dalam waktu dua bulan, mereka bisa mendapatkan 100 juta pengguna.
Laman Forbes menyebut, kegilaan pengembangan AI tiba-tiba merasuki raksasa teknologi dan usaha rintisan (startup) di berbagai tempat. Jumlahnya tak terhitung. Saat ini, mereka tengah berjuang mendapatkan ruang di sektor yang sedang berkembang. Mereka tentu ingin dikenal publik lebih luas dan menyamai ChatGPT atau malah bisa lebih.
ChatGPT sendiri dilaporkan telah melampaui rekor Instagram dan TikTok dalam akuisisi pengguna. Dalam waktu dua bulan, mereka bisa mendapatkan 100 juta pengguna.
Peluncuran ChatGPT yang dikembangkan oleh OpenAI telah memicu demam di Silicon Valley yang mirip dengan perburuan emas pada masa silam dan pusat teknologi global lainnya di seluruh dunia. Mereka merasa sekarang waktunya bergegas untuk mengikuti tren atau tertinggal sama sekali. Teknologi seperti ini dikelompokkan dalam teknologi AI generatif. AI generatif adalah istilah umum untuk sistem yang dapat menghasilkan teks, gambar, video, dan output baru lainnya, seperti kode dan musik sendiri.
AFP/LIONEL BONAVENTURE
Logo ChatGPT dan OpenAI ditampilkan dalam sebuah layar, 23 Januari 2023. Kehadiran chatbot kecerdasan buatan ChatGPT akhir tahun lalu menggemparkan dunia teknologi.
Kehadiran ChatGPT mendorong Google meluncurkan bot percakapan miliknya sendiri yang bernama Bard. Sepertinya mereka ”panas” mendengar kemunculan ChatGPT yang di belakangnya ada Microsoft. Sialnya, saat dilakukan demonstrasi, mesin ini boleh dibilang gagal dan memberikan jawaban yang salah dalam sebuah video promosi. Tentu saja mereka gagal mengesankan investor dan menekan nilai saham induknya, yaitu Alphabet, sehingga terjadi penurunan nilai sebesar 100 miliar dollar AS.
Saat kemunculan Bard dalam sebuah video demo yang diunggah oleh Google di Twitter, seorang pengguna bertanya kepada Bard: ”Penemuan baru apa dari Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) yang dapat saya ceritakan kepada anak saya yang berusia 9 tahun? Bard menanggapi dengan serangkaian poin-poin, termasuk yang berbunyi: ”JWST mengambil gambar pertama dari sebuah planet di luar tata surya kita sendiri.”
Tentu saja jawaban Bard menjadi cibiran berbagai kalangan. Laman CNN menyebutkan, menurut NASA, gambar pertama yang menunjukkan planet ekstra tata surya, atau planet apa pun di luar tata surya kita, sebenarnya diambil oleh Very Large Telescope milik European Southern Observatory hampir dua dekade lalu, yaitu pada 2004. Ketidakakuratan ini langsung menekan saham Alphabet hingga 9 persen.
Berbagai media membahas kegagalan ini. Sebuah tulisan di laman The Entrepreneur menyebutkan kasus demo itu sebagai contoh pengenalan produk ke publik pertama Google yang memiliki kesalahan. Akan tetapi, Google punya sejumlah alasan terkait dengan kegagalan itu. Mereka menyatakan masalah ini sebagai bagian dari uji coba mereka agar Bard bisa makin sempurna dan berguna bagi masyarakat.
”Ini menyoroti pentingnya proses pengujian yang ketat. Inilah sesuatu yang kami mulai minggu ini melalui program Trusted Tester kami,” kata juru bicara Google kepada The Entrepreneur melalui surat elektronik. Pada intinya mereka berdalih, kesalahan dalam isi demo itu merupakan bagian dari pengujian yang tengah dijalankan Google.
Jawaban dari Google kurang memuaskan publik. Demo yang seharusnya mengimpresi mereka pada ”pandangan pertama” malah memukul balik. Orang kemudian bertanya-tanya tentang, apa sebenarnya yang terjadi di Google terkait dengan persiapan mereka dalam mengarungi babak baru dunia teknologi digital, yaitu kecerdasan buatan?
”Kami akan meramu umpan balik dari eksternal dengan pengujian internal kami sendiri untuk memastikan respons Bard memenuhi standar kualitas, keamanan, dan memiliki landasan yang tinggi dalam informasi dunia nyata,” kata juru bicara perusahaan itu menambahkan. Jawaban yang diplomatis, tetapi publik tetap penasaran.
AFP/KENZO TRIBOUILLARD
Menyusul kesukesan ChatGPT, perusahaan teknologi lain, seperti Google, pada 6 Februari 2023 menyatakan segera meluncurkan chatbot penantang yang bernama Bard. Namun, saat demo teknologi Bard untuk pertama kalinya, justru langsung terjadi kesalahan.
Sepertinya ada masalah besar di Google merespons perkembangan terbaru. Beberapa waktu lalu ketika ChatGPT muncul, mereka membahasnya. Menurut sebuah laporan dari CNBC, CEO Alphabet Sundar Pichai dan Kepala AI Google Jeff Dean membahas kemunculan ChatGPT dalam pertemuan semua pihak baru-baru ini.
Seorang karyawan bertanya, apakah peluncuran bot yang dibuat oleh OpenAI, sebuah perusahaan yang memiliki ikatan mendalam dengan pesaing Google, Microsoft, termasuk ”kesempatan yang terlewatkan” oleh Google? Pichai dan Dean dilaporkan menanggapi dengan mengatakan bahwa model bahasa AI Google sama kemampuannya dengan OpenAI, tetapi perusahaan harus bergerak lebih konservatif karena risiko reputasi yang ditimbulkan oleh teknologi tersebut. Mereka juga dikesankan menyepelekan kehadiran sebuah usaha rintisan baru.
Terkait dengan pengenalan Bard, sejumlah karyawan Google mengaku hal itu dilakukan dengan tergesa-gesa. Apa yang dilakukan disebutkan tidak sejalan dengan kultur Google selama ini. Sepertinya suara ini terabaikan sehingga, saat demo Bard ke publik untuk pertama kalinya, terjadi kesalahan. Suara kecil di dalam perusahaan sering kali tenggelam oleh nafsu besar para eksekutifnya. Google tentu tak ingin mengalami masalah lagi. Kita tunggu persaingan teknologi kecerdasan buatan yang makin sengit.