Mempertanggungjawabkan Arah Kredit Bank BUMN
Bank BUMN dapat menjadi andalan pemerintah dalam mendanai proyek-proyek energi bersih. Perlu dukungan iklim investasi dan regulasi yang kondusif agar bank BUMN menempatkan investasi tersebut sebagai portofolio utama.

Ilustrasi
Komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31,89 persen (dengan kemampuan sendiri) memerlukan investasi sangat besar. Bank BUMN memainkan peranan kunci untuk mendukung kesuksesan agenda ini. Namun kenyataannya, portofolio pendanaan dan kredit sektor energi bersih di perbankan BUMN kita masih sangat kecil dibandingkan portofolio dan kredit sektor ekstraktif termasuk batubara.
Dalam berbagai forum di tingkat global maupun nasional, pemerintah Indonesia dengan jelas, tegas, dan lugas mengumumkan komitmen Indonesia dalam aksi penyelamatan Bumi. Sebagai a good citizen of the world, Indonesia jelas menunjukkan tekad kuat untuk menggiring produksi emisi gas rumah kaca ke tingkat yang lebih rendah.
Sebelum perhelatan G20 tahun 2022, pemerintah bahkan merevisi komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) dari 29 persen menjadi 31,89 persen (dengan bantuan sendiri) dan 43,2 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Pemerintah juga menetapkan porsi energi baru terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025.
Itu semua merupakan upaya untuk menekan laju emisi karbon nasional yang diperkirakan akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Mengutip data Kementerian ESDM, emisi sektor energi Indonesia adalah 530 juta ton CO2e (2021) yang akan mencapai puncaknya di angka 706 juta ton CO2e (2039).
Baca juga: Masa Depan Energi dan Migas
Baca juga: Belum Cukup Efektif Upaya Mendukung Transisi Energi
Ambisi baik butuh biaya besar
Ambisi baik dari pemerintah yang bertujuan untuk menjaga keberlanjutan masa depan Indonesia memerlukan ongkos yang tidak sedikit. Upaya penurunan emisi gas rumah kaca yang akan sangat bergantung kepada solusi teknologi rendah emisi gas rumah kaca jelas memerlukan investasi dengan nilai yang fantastis.
Data dari Kementerian ESDM menunjukkan jumlah pembiayaan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) per akhir 2022 yang memerlukan dana sebesar Rp 60,61 triliun, hanya terpenuhi Rp 23,6 triliun atau hanya 38,94 persen dari target 2022. Sebagai informasi, total rencana investasi EBT yang dibutuhkan Indonesia hingga 2030 sebesar Rp 1.917 triliun, namun capaian investasi pada 2021 dan 2022 masing-masing hanya Rp 22,9 triliun dan Rp 23,6 triliun.
Dengan kata lain, Indonesia memiliki waktu hanya tujuh tahun untuk mendapatkan sisa kebutuhan investasi EBTKE senilai Rp 1.870,5 triliun atau kurang lebih Rp 250 triliun setiap tahun hingga 2030. Hasil olahan data dari Kementerian Investasi/BKPM menunjukkan, rata-rata capaian realisasi investasi Indonesia setiap tahun berkisar di Rp 800 - Rp 900 triliun pada periode 2018-2022.

Peran bank BUMN
Angka Rp 1.870,5 triliun yang diperlukan Indonesia untuk mencapai pembangunan infrastruktur EBTKE tentu bukan jumlah yang sedikit dan Indonesia menghadapi persaingan global yang ketat untuk menarik dana investasi sektor energi bersih, sejalan dengan meningkatnya kesadaran negara-negara di seluruh dunia untuk beralih ke sumber energi bersih.
Yang dapat menjadi andalan pemerintah dalam mendanai proyek-proyek energi bersih adalah bank BUMN. Namun sayangnya, bank-bank pelat merah Indonesia sepertinya belum menempatkan investasi tersebut sebagai portofolio utama. Pendanaan sektor ekstraktif, termasuk di dalamnya batubara, masih memiliki porsi yang lebih besar dibandingkan sektor EBT.
Mengutip data dari Global Coal Exit 2021, bank-bank BUMN, yaitu Bank Mandiri, Bank BRI, dan Bank BNI’46 yang termasuk ke dalam lima bank terbesar di Indonesia (berdasarkan jumlah aset), ternyata masih mengucurkan dana yang cukup besar ke debitur-debitur batubara, baik individual korporasi maupun grup korporasi. Bank Mandiri tercatat sebagai kreditur “ramah batubara” terbesar (Rp 25,28 triliun) disusul Bank BRI (Rp 10,6 triliun), dan Bank BNI ‘46 (Rp 9,7 triliun), selama periode Januari 2019 hingga November 2021.
Bank Mandiri, Bank BRI, dan Bank BNI’46 yang termasuk ke dalam lima bank terbesar di Indonesia (berdasarkan jumlah aset), ternyata masih mengucurkan dana yang cukup besar ke debitur-debitur batubara.
Portofolio ketiga bank tersebut juga menunjukkan porsi sektor ekstraktif yang jauh lebih dominan dibandingkan sector EBT. Sejalan dengan angka kredit yang disebutkan di atas, di tahun 2021, portofolio EBT versus pertambangan terkecil dimiliki oleh Bank Mandiri (1:6,7), disusul Bank BRI (1:4,4) dan Bank BNI ‘46 (1:1,6). Secara perbandingan angka, nilai portofolio EBT versus pertambangan bank-bank tersebut adalah Rp 4,281 triliun: yaitu Rp 28,806 triliun (Bank Mandiri), Rp 5,6 triliun: Rp 25 triliun (Bank BRI), dan Rp 9,528 triliun: Rp 15,685 triliun (Bank BNI’46).
Risiko tinggi kredit proyek EBT
Meskipun pemerintahan Presiden Joko Widodo berambisi baik untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, namun kenyataannya perusahaan pengembang energi bersih dari EBT masih kesulitan mendapatkan pembiayaan dari perbankan nasional.
Berdasarkan data Kementerian ESDM pada 2019, terdapat 18 proyek pembangkit listrik energi terbarukan (tenaga air, tenaga mikro hidro, tenaga biogas) yang belum mendapatkan pembiayaan, meskipun proyek-proyek tersebut sudah memiliki kontrak jual beli listrik dengan PLN. Sebanyak 48 proyek pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTM) dan 5 proyek pembangkit tenaga air (PLTA) mengalami kendala dalam pelaksanaan proyek, salah satu kendalanya masalah pembiayaan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F24%2Fd7eb0cdf-c604-472c-8b32-7647c0264607_jpg.jpg)
Gardu Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro yang memanfaatkan aliran Sungai Mbaku Hau di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, untuk menghasilkan listrik, Rabu (13/9/2017). Pembangkit ini menghasilkan listrik berkapasitas 37 kilowatt yang cukup untuk menerangi 235 kepala keluarga di Desa Kamanggih.
Penting untuk dipahami bahwa tanggung jawab pendanaan proyek EBT tidak begitu saja dapat dilemparkan kepada bank BUMN. Sebagai perusahaan negara terbuka, harus diapresiasi aspek kehati-hatian perbankan BUMN dalam penyaluran kredit. Tingkat risiko merupakan faktor utama bank dalam penyaluran kredit. Pertanyaannya adalah, seberapa berisikokah proyek energi bersih di Indonesia?
Bukan rahasia lagi bahwa dalam perencanaan dan pelaksanaannya, proyek EBT menghadapi berbagai kendala. Kendala pertama adalah tarif listrik EBT yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tarif listrik yang berasal dari pembangkit listrik batubara, sehingga harga listrik EBT tidak kompetitif, terutama dengan struktur ketenagalistrikan saat ini yang masih mengandalkan subsidi. Hal ini mengakibatkan pembiayaan EBT dinilai kurang menguntungkan.
Kendala kedua adalah belum diimplementasikannya project finance oleh bank BUMN untuk membiayai proyek-proyek energi terbarukan. Pembiayaan project finance dibutuhkan oleh perusahaan pengembang EBT untuk meningkatkan ketersediaan pembiayaan dan mengurangi risiko. Skema project finance akan memisahkan risiko-risiko proyek baru dengan bisnis yang sudah ada sehingga apabila terjadi kegagalan dalam suatu proyek EBT, maka situasi tersebut tidak akan merugikan bank pemberi pinjaman.
Dua lembaga jasa keuangan (LJK) nasional yang sudah mengimplementasikan project finance adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). Project finance lazim digunakan oleh Institusi keuangan internasional seperti Asian Development Bank (ADB), International Finance Corporation (IFC), dan Sumitomo-Mitsubishi Banking Corporation (SMBC).
Baca juga: Kendala Investasi Energi Terbarukan
Kendala ketiga adalah tingkat risiko yang sama (tingginya dan rumitnya), antara proyek skala kecil-menengah dan skala besar. Proses dan biaya penilaian risiko dan due diligence untuk proyek EBT skala kecil-menengah tidak berbeda dengan proyek berskala besar sehingga perbankan kurang berminat untuk membiayai proyek berskala kecil-menengah karena proses yang sama rumitnya dengan proyek berskala besar, namun memberikan tingkat keuntungan yang lebih rendah.
Kendala keempat adalah investasi EBT yang cukup tinggi dengan payback period yang cukup lama, jika dibandingkan dengan pembiayaan batubara yang jauh lebih singkat. Payback period yang panjang meningkatkan berbagai risiko kredit misalnya bencana alam, perubahan regulasi, perubahan nilai tukar kurs dan lain sebagainya.
Kendala terakhir adalah kemampuan teknis dari perusahaan pengembang dan perbankan nasional, karena minimnya kemampuan dan pengetahuan yang cukup mengenai sektor energi terbarukan, begitu pula dengan perusahaan pengembang juga masih memiliki pengetahuan terbatas mengenai akses pembiayaan bagi energi terbarukan.

Tanggung jawab negara
Menghadapi krisis lingkungan hidup yang sangat mungkin berubah menjadi krisis kemanusiaan, idealnya, bank-bank milik pemerintah segera mengambil porsi yang lebih besar lagi dalam pendanaan proyek-proyek energi bersih. Namun, sekali lagi, perbankan BUMN juga tidak dapat bergerak aktif tanpa kehadiran iklim investasi dan regulasi yang kondusif untuk menurunkan tingkat risiko proyek-proyek energi bersih.
Koordinasi lintas sektor lintas kementerian harus dilakukan agar perbankan dalam negeri, khususnya bank BUMN dapat memperbesar portofolio EBT dibandingkan portofolio industri ekstraktif. Konsistensi dan satu suara dalam agenda penurunan emisi gas rumah kaca harus dilakukan oleh seluruh lembaga negara.
Sebagai institusi milik bangsa, bank BUMN bertanggung jawab terhadap masa depan lebih dari 200 juta penduduk Indonesia dan generasi muda penerus bangsa.
Terus memberikan ruang kepada investasi berbasis komoditas batubara mengaburkan pesan Indonesia dalam peningkatan energi bersih. Kementerian Investasi/BKPM, misalnya, mengumumkan bahwa Indonesia membutuhkan dana Rp 8,288 triliun untuk hilirisasi delapan sektor prioritas termasuk sektor batubara.
Hal tersebut hanya menimbulkan keraguan kepada lembaga keuangan akan pasar energi bersih Indonesia, yang kemudian meningkatkan risiko kepada proyek EBT nasional. Pada akhirnya ini hanya akan menurunkan appetite perbankan untuk memberikan kredit kepada proyek-proyek energi bersih. Masih memberikan ruang secara legal formal kepada proyek-proyek tinggi emisi berbasis batubara - yang sudah jelas lebih menguntungkan - akan mengurangi risiko kredit proyek batubara, yang pada akhirnya akan terus menjadi magnet penarik untuk institusi perbankan, termasuk perbankan BUMN.
Bank BUMN bukanlah sekedar institusi keuangan yang bertujuan mencetak laba semata. Sebagai institusi milik bangsa, bank BUMN bertanggung jawab terhadap masa depan lebih dari 200 juta penduduk Indonesia dan generasi muda penerus bangsa. Perubahan iklim merupakan masalah serius yang menentukan hidup mati bangsa Indonesia.
Baca juga: Energi Baru Terbarukan, Pekerjaan Presiden 2024-2029
Sebagai equatorial country, Indonesia termasuk negara yang memiliki kerentanan tinggi dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim. The Notre Dame Global Adaptation Initiative (ND GAIN) menunjukkan Indonesia menempati posisi ke 107 dari 182 negara yang masuk ke dalam penelitian. Peringkat ini dipastikan akan terus memburuk apabila tidak ada upaya serius dalam menghadapinya.
Penyediaan energi bersih merupakan salah satu benteng dalam menghadapi Bumi yang berubah. Adalah juga tanggung jawab pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang akan menurunkan risiko kredit proyek EBT sehingga bank-bank BUMN dapat mengambil tanggung jawab yang lebih besar, dan tentu rasional, dalam proyek-proyek energi bersih yang amat sangat dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan bangsa Indonesia sekarang dan di masa depan.
Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER)

Pius Ginting