Kendala Investasi Energi Terbarukan
Sejumlah permasalahan, termasuk aturan yang belum jelas dan memadai, membuat investor ragu berinvestasi dalam pembangunan energi baru dan terbarukan di Indonesia. Perlu UU EBT dan insentif untuk investor.

Ilustrasi
Energi baru dan terbarukan di negara maju sudah mengalami kemajuan pesat dalam pemanfaatannya. Di Indonesia, selain baru diintroduksi, pemanfaatan energi jenis ini masih sangat terbatas mengingat kelangkaan dukungan pembiayaannya.
Begitu pula, masyarakat belum memiliki pengetahuan yang luas tentang manfaat energi baru dan terbarukan (EBT) bagi kelangsungan ekosistem saat pemanasan global dan perubahan iklim meningkat terus akibat degradasi lingkungan. Sementara, perbedaan pilihan kebijakan di negara yang siap membantu pembiayaan dengan skema investasi total atau patungan menjadi hambatan dalam pembangunan EBT berskala besar.
Tidaklah mengherankan, untuk pembangunan EBT jenis tertentu, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), hanya negara seperti Uni Emirat Arab (UEA) yang tertarik untuk menggelontorkan investasinya yang cukup besar. Negara lain yang sudah maju dalam pemanfaatn PLTS, seperti Jerman dan Amerika Serikat, hanya berpartisipasi sampai tingkat penawaran proyek.
Baca juga: Harapan kepada Energi Terbarukan
Faktor penyebab
Luput disadari, terdapat berbagai faktor yang menjelaskan mengapa negara maju menarik diri dari penawaran yang telah mereka ajukan. Pertama, mereka belum memiliki pengalaman luas dan lama dalam pembangunan, pemanfaatan, dan pengembangan PLTS di negara lain, dengan segala masalah dan risiko yang harus mereka perhitungkan. Tanpa pengalaman, mereka menjadi kurang berani dan cepat ambil keputusan dan siap tanggung risiko untuk berkompetisi.
Kedua, kedekatan nilai, kultural, dan agama serta sikap keterikatan pada aturan dan disiplin yang ketat memengaruhi keputusan akhir para investor negara maju. Bagaimanapun, perlu disadari, dalam menghadapi proyek-proyek yang masih baru dan berisiko tinggi, dengan nilai investasi yang sangat besar, sangat dibutuhkan sikap saling percaya.
Sebaliknya, jika jarak perbedaan di atas dapat diperkecil, sikap saling percaya, yang dibutuhkan untuk sukses bisnis kedua belak pihak yang berkepentingan, dapat ditumbuhkan. Dengan demikian, sikap skeptis dapat disingkirkan dari sejak awal, yang kemudian akan mendorong lancar berjalannya proyek.

Pengendara melintasi jalan di samping Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Karangasem di Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, Minggu (8/10/2017). PLTS seluas 1,2 hektar tersebut mampu menghasilkan daya listrik hingga 1 megawatt. Pemerintah terus didorong untuk mengembangkan sumber energi terbarukan.
Ketiga, keberadaan aturan yang dilihat belum jelas dan memadai di Indonesia membuat investor ragu mengambil keputusan, padahal bisnis pembangunan dan pengembangan EBT di Indonesia terbilang baru. Akibatnya, risiko tinggi di kemudian hari, yang mungkin akan ditanggung investor akibat masih terdapatnya ketidakpastian yang mereka pertanyakan, sangat memengaruhi keseriusan investor untuk membuat komitmen dengan mitra bisnisnya dari Indonesia.
Sulit disembunyikan, para investor negara maju sering mengeluh, Indonesia belum mempunyai UU yang mengatur pemanfaatan EBT, khususnya tenaga surya. Pengaturan setingkat perpres saja tidak cukup untuk mencegah risiko dan kerugian yang mungkin mereka hadapi di masa depan, di saat proyek PLTS belum dapat berjalan secara mulus dan optimal. Semenara nilai investasi yang telah mereka keluarkan sangat tinggi, mengingat bisnis ini amat padat modal. Kalkulasi investor dengan cost and benefit analysis serta political risk yang mereka buat sudah jauh lebih kompleks dibuat.
Sulit disembunyikan, para investor negara maju sering mengeluh, Indonesia belum mempunyai UU yang mengatur pemanfaatan EBT, khususnya tenaga surya.
Keempat, walaupun terkait lokasi serta sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM), Indonesia sudah siap, terutama untuk PLTS Cirata di Jawa Barat, birokrasi perizinan dinilai masih cukup panjang. Padahal, di bawah pemerintahan Joko Widodo, yang telah memasuki periode kedua, sudah banyak upaya perampingan dan kebijakan bypass yang diluncurkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Proses perizinan dan manajemen bisnis selanjutnya, di satu sisi, dan masalah tarif di sisi lain, yang dinilai belum kondusif, sangat memengaruhi animo para investor negara maju untuk melanjutkan komitmen mereka berbisnis di sektor ini. Sementara, ketidakmampuan menawarkan harga jual yang lebih rendah, agar menarik konsumen di Indonesia, tidak hanya dunia industri, tetapi juga penduduk pada umumnya, membuat para investor negara maju lain, selain asal UEA, semakin kehilangan peluang untuk bisa muncul sebegai pemenang tender proyek.

UEA dan solusinya
Mengapa UEA yang tampil terpilih untuk membangun dan mengembangkan EBT di Indonesia? Ada beberapa alasan yang bisa menjelaskannya, termasuk soal tingkat kepercayaan dengan negara lain yang harus diciptakan sejalan dengan makin eratnya hubungan pemimpin kedua negara.
Jika investor asal Uni Eropa dan Amerika Serikat masih jalan di tempat dan belum melanjutkan minatnya, dan malahan ada yang mengalihkan pilihannya pada negara lain ASEAN, seperti Vietnam, UEA justru telah menanamkan dananya dalam proyek joint venture PLTS di Cirata. Dana investasi sebesar 129 juta dollar AS telah digelontorkan UEA melalui perusahaan Abu Dhabi Future Energy Company dan PJSC. Bersama anak perusahaan PLN, PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), PLTS terapung terbesar di dunia tengah dibangun di sana.
Baca juga: Harapan Kemandirian Energi Terbarukan dari Jabar Selatan
Seperti dalam kasus PLTS Cirata, keengganan investor mancanegara selalu terbentur kepada masalah kultural yang tidak berusaha diatasi pemerintah pusat dengan solusi UU. Perpres saja dinilai belum cukup menutupi kekuatiran mereka, mengingat investasi yang harus digelontorkan begitu besar.
Adat-istiadat penduduk lokal yang tidak kondusif membutuhkan ongkos untuk biaya pemeliharaan yang semakin besar. Penduduk lokal yang masih tinggal di lokasi obyek vital itu menciptakan risiko tinggi atas pembiayaan proyek. Sementara absennya jaminan hukum yang kuat membuat mereka tidak berani untuk membuat komitmen dengan sesama mitra bisnis ataupun pihak pemerintah, terutama untuk PLTS di daerah terluar, terpencil, dan tertinggal (3T).

Solusi untuk mengatasi hambatan ini adalah dengan pembuatan UU EBT di DPR. Selanjutnya, perlu langkah afirmatif, dengan memberikan insentif bagi investor, dengan mengalokasikan dana alokasi khusus dari APBN untuk pembangunan proyek-proyek EBT di daerah 3T. Insentif dapat diberikan pemerintah pusat dengan mengarahkan beberapa dana alokasi lain untuk daerah, seperti dana desa, sebagai subsidi untuk mengurangi beban investor yang berat.
Keterlibatan dan kerja sama pihak industri dan pengelola daerah tujuan wisata dalam pendanaan melalui proyek patungan adalah alternatif lain. Mereka harus menyadari, proyek-proyek EBT, jika sudah dapat berjalan lancar, akan dapat mengurangi pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan, dan sebaliknya, meningkatkan keuntungan bagi pemangku kepentingan, terutama penduduk di wilayah 3T.
Praktik transparansi akan mencegah dan mengeliminasi kepentingan lain yang dapat menunggangi dan menggagalkan target pembangunan EBT pemerintah pusat sebesar 30 persen di akhir tahun 2030.
Pemberian tax holiday dan pembuatan kebijakan lainnya dalam UU Cipta Kerja, dalam kemudahan pembebasan lahan dan ketentuan mengenai pembiayaan tenaga kerja, serta kebijakan tarif adalah solusi ekstra untuk lebih membuat investor tertarik.
Terakhir, peran pemda dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, dan hadirnya swasta di wilayah 3T yang mau berpartisipasi lewat pemanfaatan CSR mereka, akan berperan signifikan dalam membantu mendatangkan investor asing. Berbagai kebijakan yang kondusif yang sudah dijalankan maupun yang dapat ditawarkan kemudian akan membuat proyek tidak hanya menjadi lebih efisien, tetapi juga lukratif.
Hubungan antara PLN dan perusahaan, para pengusaha, dan investor asing pun harus dapat dibuat lebih transparan dan menumbuhklan sikap saling percaya. Perencanaan pengembangan EBT juga harus terbuka agar target perencanaan pembangunan dan pengembangan EBT di Indonesia dapat tercapai.
Baca juga: Memahami Konsep Energi Baru dan Terbarukan
Sekalipun disadari kondisi geografis Indonesia dan latar belakang kultural dan sosial-ekonomi penduduknya berbeda dengan di negara maju, praktik transparansi akan mencegah dan mengeliminasi kepentingan lain yang dapat menunggangi dan menggagalkan target pembangunan EBT pemerintah pusat sebesar 30 persen di akhir tahun 2030. Jadi, tidak boleh ada kontestasi, apalagi informasi yang tidak diketahui publik, antara PLN dengan anak perusahaannya dan pihak mitra investor asing yang terlibat, karena semuanya terkait dengan kepentingan warga dan penggunaan APBN.
Poltak Partogi Nainggolan, Peneliti Tata Kelola di BRIN

Poltak Partogi Nainggolan