Harapan kepada Energi Terbarukan
Dirjen EBT-KE menyatakan bahwa pembangunan PLTS berskala besar itu akan memanfaatkan lahan yang tak produktif dan meningkatkan penggunaan PLTS-atap. Kita menyambut dengan senang kebijakan yang baik ini.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2Ff63902e8-0768-4d28-9a7f-7fdb8581c2bd_jpg.jpg)
Rektor Institut Teknologi Sumatera Ofyar Z Tamin (kini) memberikan plakat pada Head of Sales PT Surya Utama Nuansa Donny Safrudin (kanan) saat acara peletakan batu pembangunan pembangkit listrik tenaga surya di Itera, Lampung, Jumat (14/8/2020).
Dalam berita yang berjudul ”Tenaga Surya Diandalkan Kejar Target Bauran” (Kompas 17/11/2020) dinyatakan bahwa PLTS berskala besar diandalkan untuk mengejar lesan (target) bauran 23 persen EBT tahun 2025 yang total dayanya akan mencapai 35 GW.
Dirjen EBT-KE menyatakan bahwa pembangunan PLTS berskala besar itu akan memanfaatkan lahan yang tak produktif dan meningkatkan penggunaan PLTS-atap.
Kita menyambut dengan senang kebijakan yang baik ini. PLTS membangkitkan energi yang termasuk ET (energi terbarukan) yang berbeda dengan PLTU berbahan-bakar fosil ramah-lingkungan sebab tidak menghamburkan emisi karbon yang menghadirkan pemanasan global dan pengacaubalauan cuaca serta perubahan iklim.
Menggugah ”lahan tidur” untuk menghasilkan energi elektrik (dan termal?) juga merupakan tindakan yang bijak. Menutupi atap dengan panel sel foto-voltaik juga tidak akan mengganggu fungsi atap sebagai peneduh rumah.

Foto udara kluster hunian ramah lingkungan dengan atap panel tenaga surya di kawasan Harapan Baru, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (19/5/2020). Sektor properti tengah memasuki fase keseimbangan baru. Dampak pandemi Covid-19 membuat industri properti ditantang untuk segera beradaptasi dengan model baru bisnis.
Jerah melimpah
Sumber energi terbarukan itu, yakni Matahari, masih akan terus mencurahkan berkatnya kepada kita manusia, flora, fauna, dan alam niratma di Bumi untuk waktu yang sangat lama sekali. Daya yang disediakan bagi Bumi jerah, melimpah-ruah (abundant).
Kita tahu bahwa daya cahaya surya yang jatuh secara tegak-lurus di permukaan Bumi ialah 1,4 kW/m2. Inilah yang disebut tetapan surya (solar constant), lambangnya S. Daya totalnya tidak sebesar 4pR2S, yakni tetapan surya, S, dikalikan dengan luas permukaan bola bumi [4pR2, R = ruji/(radius) Bumi, p = 3,14], sebab kecuali di tempat-tempat di Bumi yang di saat itu sedang tengah-hari sinar surya itu jatuhnya miring.
Lagi pula, di setiap saat, permukaan Bumi yang memperoleh sinar Matahari hanya separuh luas total permukaannya, yakni luas permukaan belahan yang sedang siang hari. Maka secara efektif daya surya yang diterima Bumi hanya pR2S. Namun, nilainya besar sekali, yakni hampir 160 juta triliun watt, jauh lebih besar daripada daya yang dibutuhkan semua makhluk di Bumi.
Tetapi penggunaan daya surya dalam skala yang terlampau besar tidak dapat kita lakukan. Teknologi apa pun yang berskala terlalu besar pasti bersifat transaintifik, artinya melampaui kemampuan sains untuk meramalkan akibat negatifnya.
Istilah ”transaintifik” itu diperkenalkan oleh ahli nuklir Amerika, Alvin Weinberg dan mengacu kepada energi nuklir dengan reaktor yang disebutnya ”pembakar katalitik” (catalytic burner) yang selain ”membakar” baca: membelah uranium (U-235) juga membiakkan plutonium (Pu-239) atau isotop lain dari uranium (U-233),karena bahan-bakarnya uranium alam atau thorium (Th-230).
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F20200210_ENGLISH-TAJUK-1A_web_1581345584.jpg)
Warga Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sedang mengecek kondisi panel surya berkapasitas 42 kilowatt-peak (kWp), Sabtu (23/11/2019). Sejak pembangkit tenaga surya hadir, warga desa mampu menikmati listrik 24 jam.
Namun, transaintifisitas itu bukan ”monopoli” teknologi nuklir. Teknologi apa pun kalau berskala sangat besar bersifat seperti itu juga. Carl Friedrich von Weizsaecker, ahli nuklir dan astrofisika Jerman, menyebut transaintifisitas itu ”endekhomai”, artinya tak dapat diduga-duga tetapi pasti berisiko mendatangkan musibah besar. Dalam bahasa Inggris, padanan kata dalam bahasa Yunani, ”eudecomai”, itu ialah ”contingent”.
Bauran dan konservasi
Jadi, harus ada bauran energi (energy mix). Selain PLTS (surya), bauran ET (terbarukan) itu harus mengandalkan pula pangsa dari PLTB (bayu/angin), PLTA (air), PLTP (geotermal) dan PLTMh (mikrohidro).
Masalah sampah dapat diatasi, atau setidak-tidaknya dikurangi, dengan memanfaatkannya sebagai bahan bakar di dalam PLTSa (sampah). Prosesnya sebaiknya melalui fermentasi untuk mendapatkan bahan-bakar gas nabati (biogas), bukan dengan insinerasi, sebab pembakaran sampah itu menghamburkan dioxin yang berbahaya bagi kesehatan.
Dengan tetap menjaga lahan untuk pangan, bahan-bakar nabati perlu dikembangkan terus. Kandungan bahan bakar nabati (biofuel) dalam B-30 perlu ditingkatkan menjadi B-50, lalu B-70, dst, dan bahkan sampai B-100 (nyaris murni nabati), asalkan takmurnian yang masih tersisa tidak korosif terhadap mesin (industri dan transportasi) yang memanfaatkannya.

Syukur kalau termologi fusi nuklir (yang terkendali dan aman) akan segera datang juga. Konon penelitiannya (dengan plasma sangat panas yang dikungkung di dalam ”botol” magnetik, yakni reaktor Tokomak) di MIT (Massachusetts Institute of Technology) tampak menjanjikan (Kompas, 1/10/2020)
Beban kerja keras untuk mengejar realisasi daya total 35 GW dengan pangsa 23 persen ET pada tahun 2025 itu jatuh di pundak Kementerian ESDM, terutama Ditjen EBT-KE. Selama ini yang sering kita dengar ialah penggalan ”EBT (energi baru dan terbarukan)”-nya, terutama ”ET” (energi terbarukan), sebab ”B (energi baru)”-nya yang mengacu ke fissi nuklir, sudah ditetapkan dalam KEN (Kebijakan Energi Nasional) sebagai opsi terakhir.
Sebenarnya penggalan KE (konservasi energi)-nya tidak kalah penting. KE ini mengacu ke penggunaan akhir (end-use), baik transmisi dan distribusinya maupun pemanfaatannya untuk memenuhi hajat hidup kita semua.
Kalau tepatnya ”karena” masih terpaksa memakai energi coklat (brown energy), yakni energi yang pembangkitannya dibarengi emisi karbon, mana yang lebih baik: membangun PLTU-batubara di dekat mulut tambang plus membangun menara-menara Sutet beserta kabelnya yang sangat panjang, atau mengangkut beribu-ribu ton batubara dengan kapal dan kereta api babaranjang?
Karena kita tidak tinggal di daerah subtropis dengan 4-musim, dengan musim dingin (winter) dan musim panas (summer) yang bisa ekstrem dingin/panas, penggunaan penghangat dan penyejuk udara ruangan serta pengawalengas (dehumidifier) tidak perlu-perlu amat. Lebih baik rancangan (design) rumah/gedungnya yang disesuaikan dengan perlunya ventilasi dan sirkulasi.

Kitiran (fan) sudah cukup untuk mengurangi panas/gerah, dan selimut/baju hangat untuk mengusir udara dingin. Tentu saja penelitian harus digenjot untuk menemukan bahan penyekat termal yang bagus dan untuk membuat sel foto-voltaik (pVc) yang efisiensi konversi cahaya → elektriknya besar. Juga penelitian untuk menemukan baterai yang kapasitas penyimpanan energi elektriknya lebih besar daripada baterai (ion) lithium. Hallo, Kemen Ristek-BRIN, LIPI dan BPPT. Hallo juga ITB, UI, UGM dan ITS!!
Pemanas-air untuk umbah-umbah (cuci pakaian, sprei, dls) dan untuk asah-asah (cuci piring, cangkir dls) ada baiknya kalau dipakai, demi kebersihan dan kesehatan, tetapi pengering elektrik untuk pakaian yang telah dicuci lebih baik diganti dengan sampaian untuk menjemur pakaian itu di terik sinar matahari.
Pendek kata, Ditjen EBT-KE harus memberikan perhatian yang sama besarnya kepada baik sisi pasok (supply side), maupun sisi-penggunaan akhir (end-use side). Inovasi pengembangan alat-alat yang meningkatkan efisiensi dan konservasi pembangkitan dan penggunaan energi dapat dipicu serta dipacu dengan lomba-lomba dan sayembara perancangan, misalnya oleh LIPI di ajang LYSA (LIPI Young Scientist Award). Edukasi dan sosialisasinya juga harus terus dilakukan.
(L Wilardjo, Fisikawan, Pengajar Filsafat Ilmu, PDIH Undip)