Putusan hakim dalam kasus Richard Eliezer merupakan tonggak sejarah pengakuan ”amicus curiae”. Perlu ada kepastian hukum untuk organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan lain-lain atas status permohonan ”amicus curiae”.
Oleh
ULI PARULIAN SIHOMBING
·3 menit baca
Majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakara Selatan yang mengadili dan memutus perkara dengan terdakwa Richard Eliezer, khususnya di dalam pertimbangan hukumnya, telah mengakomodir amicus curiae yang didaftarkan oleh beberapa akademisi dan organisasi masyarakat sipil. Putusan PN Jakarta Selatan tersebut merupakan langkah yang progresif tidak hanya untuk masa depan perlindungan saksi dan korban, tetapi juga perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Baik jaksa penuntut umum (JPU) maupun Richard Eliezer tidak menggunakan upaya hukum banding sehingga putusan majelis hakim tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Majelis hakim di PN Jakarta Selatan tersebut menggunakan asas hakim harus menggali, mengikuti, memahami nilai-nilai hukum, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat untuk menerima permohonan amicus curiae, sekaligus menilai substansi permohonan amicus curiae harus dipertimbangkan dan dimasukkan di bagian pertimbangan hukum putusannya.
Asas hukum tersebut memang terdapat di dalam Undang-Undang (UU) Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009. Putusan PN Jakarta Selatan tersebut merupakan tonggak sejarah pengakuan amicus curiae dan dapat menjadi referensi untuk menjadi panduan untuk menerima permohonan amicus curiae di masa depan.
Sampai saat ini belum ada pengertian yang baku tentang amicus curiae di Indonesia karena memang belum ada aturan yang secara jelas dan tegas memberikan pengertian apa itu amicus curiae serta mekanisme untuk menyampaikan usulan amicus curiae ke pengadilan. Saya mencoba mengutip pengertian amicus curiae dari Black’s Law Dictionary, yaitu pihak yang tidak terlibat di dalam sebuah perkara di pengadilan dan diminta keahliannya berdasarkan permintaan pengadilan.
Terdapat juga yang menerjemahkan amicus curiae menjadi teman pengadilan (friend of the court or tribunal). Teman pengadilan mungkin menjadi istilah yang sepadan untuk memaknai amicus curiae.
Kemudian, teori dan praktik amicus curiae ini mengalami perkembangan. John Gray, di dalam bukunya yang berjudul Lawyers’ Latin: A Vade Mecum memaknai amicus curiae lebih luas dibandingkan dengan pengertian amicus curiae menurut Black’s Law Dictionary, yaitu tidak hanya pihak yang diminta oleh hakim, tetapi pihak yang secara sukarela berperan aktif di dalam setiap tahapan persidangan untuk membantu pengadilan berdasarkan keahlian atau pengalaman kerja yang relevan dengan isu hukum yang menjadi pusat perhatian dari majelis hakim, dan pengadilan membutuhkan pendapat independen dari akademisi, praktisi, lembaga negara, serta organisasi masyarakat sipil untuk menilai isu hukum tersebut.
Di dalam kasus Richard Eliezer, majelis hakim membutuhkan pandangan independen bukan dari para pihak yang beperkara, baik JPU maupun terdakwa, untuk menilai apakah Richard Eliezer berhak menjadi saksi pelaku yang kooperatif (justice collaborator). Substansi permohonan amicus curiae dari para akademisi dan organisasi masyarakat sipil menilai Richard Eliezer layak menjadi justice collaborator karena kejujurannya untuk membongkar kejahatan.
Meskipun tidak ada dasar hukum yang jelas dan tegas, majelis hakim memutuskan menerima permohonan amicus curiae tersebut dan menilai substansi amicus curiae tersebut menjadi salah satu pertimbangan hukum untuk memutus hukuman pidana lebih ringan dari tuntutan JPU terhadap Richard Eliezer. Kita patut mengapresiasi ketegasan dan keberanian majelis hakim di dalam perkara Richard Eliezer tersebut yang menerima dan mengadopsi amicus curiae di dalam putusannya.
Di masa depan, ketentuan hukum acara pidana, tata usaha negara, dan perdata perlu mengakomodir secara jelas dan tegasamicus curiae sehingga ada jaminan kepastian hukumnya.
Masa depan ”amicus curiae”
John Gray menjelaskan, amicus curiae pada awalnya diterapkan di negara-negara penganut sistem hukum persemakmuran (common law). Namun, di dalam perkembangan, negara-negara non-common law juga menerapkan amicus curiae karena memang untuk kepentingan dan tujuan perlindungan HAM, khususnya untuk perkara-perkara yang menarik perhatian publik serta membutuhkan padangan independen dari akademisi, praktisi, lembaga negara, dan organisasi masyarakat sipil untuk menilai isu hukum yang menjadi pusat perhatian majelis hakim di pengadilan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia dalam melaksanakan fungsinya untuk pemantauan mempunyai wewenang untuk memberikan pendapat HAM di pengadilan berdasarkan persetujuan ketua pengadilan atas suatu perkara yang sedang diadili yang terdapat potensi atau diduga adanya pelanggaran HAM. Saya menilai pendapat HAM dari Komnas HAM sebagai lembaga negara independen tersebut merupakan amicus curiae.
Komnas HAM memang sering memberikan amicus curiae di dalam beberapa perkara pidana dan tata usaha negara yang berpotensi atau diduga mengandung pelanggaran HAM. Kemudian, di Mahkamah Konstitusi (MK) mengenal adanya pihak ketiga yang mempunyai kepentingan atas perkara sengketa konstitusional pengujian UU terhadap UUD 1945. Saya menilai pihak ketiga di dalam sengketa konstitutional tersebut merupakan amicus curiae untuk perlindungan hak-hak konstitusional setiap warga negara.
Dengan demikian, di dalam praktik pengadilan sudah mengenal dan mengakui amicus curiae. Akan tetapi, di masa depan, ketentuan hukum acara pidana, tata usaha negara, dan perdata perlu mengakomodasi secara jelas dan tegas amicus curiae sehingga ada jaminan kepastian hukumnya. Putusan PN Jakarta Selatan di dalam kasus Richard Eliezer membuka peluang dan mendorong organisasi masyarakat sipil, lembaga negara, praktisi, dan akademisi untuk berpartisipasi dalam memberikan pandangannya di pengadilan untuk perlindungan HAM di Indonesia.