Richard Eliezer dituntur hukuman 12 tahun. Namun, ia mengungkap kebohongan Ferdy Sambo, yang menyuruh menembak. Kini, rasa keadilan telah disuarakan. Tinggal menunggu putusan hakim memenuhi rasa keadilan di masyarakat.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
Nasib Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu kini di tangan majelis hakim. Sebab, jaksa tidak bergeming dan tetap pada tuntutannya, yakni 12 tahun penjara. Richard pun gundah karena kejujurannya berbuah tuntutan 12 tahun penjara.
Banyak pihak menilai tuntutan jaksa terhadap Richard terlampau berat. Keberaniannya mengungkap kasus penembakan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat-- dan berhasil membongkar skenario tembak-menembak yang direncanakan sang atasan, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo-- dinilai banyak kalangan mesti diganjar dengan pidana yang ringan, tidak seperti tuntutan jaksa.
Menanggapi hal itu, Aliansi Akademisi Indonesia menyerahkan surat Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae) kepada majelis hakim yang menangani kasus pembunuhan berencana Nofriansyah di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Melalui surat Sahabat Pengadilan tersebut, Aliansi Akademisi Indonesia menyatakan dukungannya kepada Richard. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang berasal dari yang berasal dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Public Interest Lawyer Network (Pilnet), serta lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
"Saya ingin menekankan bahwa posisi justice collaborator dalam kasus yangsangat pelik ini adalah posisi yang sangat kunci dan harus dibela, tidakmungkin tidak dibela," kata Todung Mulya Lubis, praktisi hukum senior yang juga menjadi salah satu inisiator Aliansi Akademisi Indonesia.
Hal itu disampaikan Todung dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk "Mengapa Eliezer Harus Dibela?", yang disiarkan Kompas TV, Rabu (8/02/2023) malam. Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo tersebut, hadir pula sebagai narasumber, yakni pengajar hukum pidana di Universitas Trisakti Albert Aries; Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi; Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Trimedya Panjaitan; serta Hakim Agung periode 2004-2013 Djoko Sarwoko.
"Saya ingin menekankan bahwa posisi justice collaborator dalam kasus yangsangat pelik ini adalah posisi yang sangat kunci dan harus dibela, tidakmungkin tidak dibela"
Relasi yang timpang
Todung mengatakan, inti dari kasus pembunuhan Nofriansyah adalah adanya relasi kuasa yang timpang antara Richard dengan Sambo. Hal itu membuat Richard tidak memiliki pilihan. Kondisi itu telah menyentuh rasa keadilan banyak orang. Di sisi lain, tuntutan jaksa juga terasa tidak pas karena tidak mengakomodasi rasa keadilan.
"Dan itu nyata kok. Kita tidak membutuhkan seorang profesor untuk merasakan sense of justice yang terluka dalam kasus ini," kata Todung.
Edwin sependapat dengan terusiknya rasa keadilan publik tersebut. Padahal, tanpa peran Richard, kasus tersebut mustahil terungkap, termasuk bisa menyeret Sambo ke kursi pesakitan. Oleh karena itu, Richard mestinya mendapatkan imbalan berupa hukuman pidaan yang paling ringan.
Menurut Djoko, dari fakta persidangan, Richard jelas hanya melaksanakan perintah jabatan sehingga dia tidak bisa diminta pertanggungjawaban. Sementara, sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, ia memiliki peran untuk mengungkap kasus tersebut.
"Richard itu memang pelaku, tapi bukan pelaku utama, melainkan pelakupenyerta. Pelaku utamanya adalah intellectual dader (pelaku intelektual), yaitu Ferdy Sambo. Dan dia sudah berulang kali mengatakan, semua tanggung jawab saya.Ya, kalau selain memperhatikan legal justice, maka hakim juga harusmemperhatikan social justice," tutur Joko.
"Richard itu memang pelaku, tapi bukan pelaku utama, melainkan pelakupenyerta. Pelaku utamanya adalah intellectual dader (pelaku intelektual), yaitu Ferdy Sambo. Dan dia sudah berulang kali mengatakan, semua tanggung jawab saya.Ya, kalau selain memperhatikan legal justice, maka hakim juga harusmemperhatikan social justice"
Oleh karena itu, Trimedya menyatakan kekecewaannya atas tuntutan pidana 12 tahun penjara. Ia menilai, hal itu memperlihatkan rasa keadilan masyarakat tidak sejalan dengan kepastian hukum. Namun demikian, dengan banyaknya protes dan masukan dari masyarakat, Trimedya meyakini hal itu akan didengar oleh majelis hakim.
Menurut Albert, pemberian surat Sahabat Pengadilan sebagaimana dilakukan Aliansi Akademisi Indonesia merupakan cerminan paling jujur dari terusiknya rasa keadilan. Sebab, Richard adalah orang yang disuruh melakukan sehingga hanya merupakan alat.
"Ada alasan penghapus pidana berupa perintah jabatan yanglahir karena relasi kuasa yang begitu kuat sehingga tidak memungkinkan Richard Elizer yangbackground-nya Brimob untuk menolak perintah dari seorang Sambo"
"Ada alasan penghapus pidana berupa perintah jabatan yanglahir karena relasi kuasa yang begitu kuat sehingga tidak memungkinkan Richard Elizer yangbackground-nya Brimob untuk menolak perintah dari seorang Sambo," kata Albert.
Meringankan Richard
Dalam kasus ini, menurut Djoko, hakim memiliki celah untuk meringankan hukuman Richard berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal tersebut, hakim dan hakim konstitusi wajib memperhatikan rasa keadilan atau hukum yang berkembang di masyarakat.
Tidak hanya itu, berdasarkan Pasal 51 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Richard dapat tidak dipidana karena tanggung jawabnya ada pada orang yang memerintahkan. Tidak hanya itu, perannya sebagai saksi pelaku yang bekerja sama bisa menjadi pertimbangan hakim untuk membebaskan Richard.
Terkait hal itu, menurut Todung, kasus ini menjadi momentum yang baik untuk mengukuhkan kembali posisi saksi pelaku yang bekerja sama untuk mengatasi kebuntuan dalam mencari keadilan. Terlebih, kini sudah ada LPSK untuk mewujudkan keadilan substantif dengan mengangkat saksi pelaku yang bekerja sama.
Djoko berharap agar hakim perkara tersebut akan bersikap independen terhadap berbagai kontroversi dan intervensi. Terlebih, Djoko mengakui, PN Jaksel memiliki rekam jejak dengan menelurkan putusan yang kontroversial.
Harapan serupa juga disuarakan Edwin. Sebab, sosok Richard tidak hanya menampilkan kejujuran, namun juga menjadi representasi untuk melawan impunitas. "Kebenaran yang disampaikan Richard itumewakili kepentingan Yosua," kata Edwin.
Kini, rasa keadilan publik telah disuarakan. Namun, tinggal tunggu putusan hakim yang kerap disebut "Wakil Tuhan" dapat memenuhi rasa keadilan atau tidak.