Akselerasi Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat
Pengakuan pemerintah atas PHB di masa lalu perlu dijadikan momentum untuk bersama mencari terobosan baru tentang kompensasi bagi para korban. Langkah hukum dan nonhukum perlu dijalankan untuk dapat melakukan terobosan.
Kita menyambut baik pengakuan pemerintah atas 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pengakuan itu perlu segera diikuti dengan langkah konkret mengakselerasi pemulihan korban.
Agar akselerasi dapat terealisasi, aspek regulasi termasuk kelembagaannya perlu diperhatikan dan kompensasi korban perlu dicarikan terobosannya.
Aspek regulasi
Pemerintah saat ini sedang menggodok instruksi presiden (inpres) dan keputusan presiden (keppres) untuk menindaklanjuti rekomendasi Tim Penyelesaian Non Judicial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PP HAM).
Sebaiknya perancangan inpres dan keppres itu tetap berpedoman pada regulasi terkait yang sudah ada. Saat ini kita sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2018 jo No 35/2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Dalam hierarki peraturan, PP lebih tinggi daripada inpres dan keppres.
PP No 7/2018 adalah peraturan mandatori UU No 13/2006 jo No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Merujuk pada konsiderannya, PP ini diterbitkan untuk melaksanakan Pasal 78 UU No 31/2014 yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut tentang bantuan terhadap korban, termasuk korban pelanggaran HAM berat (PHB). Yang dimaksud bantuan adalah layanan dalam bentuk bantuan medis dan rehabilitasi psikososial serta psikologis.
Baca juga : Rekomendasi Terkait Pelanggaran HAM Berat Mulai Dijalankan Dua Bulan Lagi
Inpres dan keppres yang tengah digodok disarankan difokuskan pada pelaksanaan rehabilitasi fisik (Pasal 4 huruf a) dan rehabilitasi lain (Pasal 4 huruf e) seperti dimaksud di Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim PP HAM, yang pelaksanaannya dalam koordinasi oleh/dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Tujuannya agar pelaksanaan rehab fisik dan rehab lain itu dapat melengkapi dan/atau menguatkan pelaksanaan bantuan sosial, jaminan kesehatan, dan/atau beasiswa korban PHB (Pasal 4 huruf b-d Keppres No 17/2022) yang telah dan dapat dilaksanakan LPSK sesuai tupoksinya melalui bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
Dapat juga inpres dan keppres itu ditujukan untuk memberikan penguatan kepada LPSK sesuai proposal LPSK. Misalnya, percepatan menambah pembentukan LPSK perwakilan di daerah sebagaimana diamanatkan Pasal 11 Ayat (3) UU No 31/2014, atau penambahan biro baru di lingkungan LPSK beserta Ortala, SDM, dan anggarannya.
Perihal bantuan medis, rehab psikososial dan psikologis korban PHB, PP No 7/2018 jo PP No 35/2020 antara lain mengatur: (1) korban PHB berhak memperoleh bantuan berupa bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis; (2) permohonan bantuan diajukan secara tertulis kepada LPSK.
infografik 12 Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu
Kemudian; (3) permohonan bantuan harus dilampiri antara lain surat keterangan Komnas HAM yang menunjukkan pemohon sebagai saksi dan/atau korban atau keluarga saksi dan/atau korban pelanggaran HAM berat; (4) pemberian bantuan ditetapkan dengan keputusan LPSK; dan (5) dalam melaksanakan pemberian bantuan, LPSK dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, swasta, dan/atau organisasi nonpemerintah.
Tentang tupoksi LPSK terkait bantuan rehabilitasi psikososial, cakupannya luas sekali. Menurut penjelasan Pasal 6 UU No 31/2014 adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi, dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial, dan spiritual korban sehingga korban mampu menjalankan kembali fungsi sosialnya secara wajar.
Untuk melaksanakan hal itu, LPSK antara lain melakukan peningkatan kualitas hidup korban dengan melakukan kerja sama dengan instansi terkait yang berwenang berupa bantuan pemenuhan sandang, pangan, papan, bantuan memperoleh pekerjaan, atau bantuan kelangsungan pendidikan. Dari 2012 hingga 2022, LPSK telah memberikan pelayanan kepada setidaknya 4.000-an korban PHB dengan sekitar 4.567 layanan.
Pengakuan pemerintah atas PHB di masa lalu perlu dijadikan momentum untuk bersama-sama mencari terobosan baru tentang kompensasi bagi mereka.
Kompensasi
Pengakuan pemerintah atas PHB di masa lalu perlu dijadikan momentum untuk bersama-sama mencari terobosan baru tentang kompensasi bagi mereka. Kompensasi sudah dinantikan lebih dari setengah abad, khususnya oleh korban PHB Peristiwa 65.
Merujuk survei LPSK tahun 2020 di 11 kabupaten/kota di Jawa Tengah, harapan korban dari negara apabila mendapatkan perlakuan khusus adalah: 80 persen responden menghendaki kompensasi, 15 persen menghendaki bantuan rehabilitasi psikososial, dan 5 persen menghendaki tunjangan pensiun.
Sejumlah langkah perlu dijalankan untuk dapat melakukan terobosan itu, yaitu langkah hukum dan nonhukum. Langkah hukum antara lain perubahan sejumlah peraturan perundang-undangan, misalnya UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, PP No 3/2002, dan PP No 35/2020 tentang pemberian kompensasi bagi korban PHB. Target utama langkah hukum adalah amandemen UU No 26/2000 dan dicapainya kesepakatan merumuskan di dalamnya norma hukum baru berisi pernyataan bahwa korban PHB merupakan tanggung jawab negara dan bentuk dari tanggung jawab itu berupa pembayaran kompensasi.
Kesepakatan serupa pernah dibuat pemerintah dan DPR pada 2018 saat mengamendemen UU No 15/2003 tentang Penetapan Perppu No 1/2002 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU No 5/2018.
Hak korban dan kebijakan pelanggaran HAM berat Infografik
Amendemen ini merupakan langkah bersejarah negara, bangsa, dan Pemerintah RI karena sangat peduli kepada korban terorisme. Pasal 35A (1) UU No 5/2018 menetapkan bahwa korban merupakan tanggung jawab negara. Ayat (4) menetapkan bahwa bentuk tanggung jawab negara antara lain kompensasi.
Amendemen itulah yang membukakan jalan bagi korban terorisme untuk memperoleh kompensasi. Bahkan, jalan itu juga diberikan kepada korban terorisme masa lalu, yaitu yang terjadi sebelum 2018, antara lain korban Bom Bali 1 dan 2 di tahun 2002.
Pasal 43L UU No 5/2018 Ayat (1) dan (2) menetapkan bahwa korban langsung akibat dari tindak pidana terorisme sebelum UU ini mulai berlaku dan belum mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis (tetap) berhak mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis yang pengajuannya ditujukan kepada LPSK.
Kesepakatan seperti di atas sangat mungkin dibuat kembali saat ini untuk merealisasikan kompensasi bagi korban PHB karena beberapa alasan. Pertama, terjadinya peristiwa terorisme dan PHB dapat dipandang sebagai bentuk kegagalan negara melindungi warganya. Kedua, pemerintah saat ini telah mengakui adanya PHB masa lalu di beberapa peristiwa dan pengakuan itu dapat apresiasi dari masyarakat dan dunia internasional. Ketiga, dukungan parpol kepada pemerintah saat ini signifikan kuat.
Langkah nonhukum yang perlu dilakukan antara lain pendataan korban dan mempersiapkan budget untuk kompensasi.
Langkah nonhukum yang perlu dilakukan antara lain pendataan korban dan mempersiapkan budget untuk kompensasi. Pendataan perlu ditujukan, terutama kepada korban PHB di 12 peristiwa yang sudah diakui pemerintah dengan tujuan untuk dikeluarkan SKKPHAM (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM). Pendataan sebaiknya melibatkan institusi yang punya tugas mengeluarkan SKKPHAM. Pendataan dapat juga melibatkan LPSK karena lembaga ini dapat memberikan perlindungan kepada korban sejak saat penyelidikan.
Besaran budget untuk kompensasi dapat diperkirakan berdasarkan pengalaman LPSK menangani kompensasi untuk korban terorisme masa lalu. Untuk sekitar 355 korban terorisme masa lalu, LPSK telah membayarkan kompensasi sekitar Rp 59 miliar. Untuk metode menilai ganti kerugian dalam pemberian kompensasi bisa melibatkan ahli terkait, misalnya psikolog forensik.
Korban PHB masa lalu telah menanti puluhan tahun untuk mendapatkan keadilan. Saatnya kini mengakselerasi perwujudan pemulihan korban dengan tetap memerhatikan aspek regulasi terkait dan perlunya mencari terobosan baru soal kompensasi bagi korban PHB.
Antonius PS Wibowo Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban - Republik Indonesia