Siapa Garda Terdepan Deteksi Dini Tengkes?
Bukan dokter, perawat, ataupun pemerintah yang menjadi garda terdepan penanganan tengkes, melainkan kader sehat setempat, posyandu, dan puskemas. Selain itu, peran orangtua juga sangat besar.
Tengkes atau stunting masih menjadi permasalahan dunia, terlebih di negara berkembang seperti negara kita, Indonesia. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2020 menunjukkan 22 persen balita di dunia mengalami tengkes.
Dari 83 juta anak tengkes di Asia, Asia Tenggara merupakan penyumbang terbanyak dengan prevalensi tertinggi ketiga berasal dari Indonesia. Apabila tidak ditangani, kasus tengkes di dunia akan bertambah hingga 127 juta kasus pada 2025.
Mengapa tengkes masih menjadi masalah hingga kini? Selain karena komplikasi yang cukup kompleks, kasus ini merupakan buah dari kegagalan pertumbuhan dari masa janin hingga tumbuh kembang. Tiap belahan dunia terus menggalakkan program pencegahan tengkes.
Baca juga: ”Quo Vadis” Percepatan Penurunan Tengkes
Penurunan angka tengkes adalah salah satu program prioritas nasional Pemerintah RI dalam penanganan tumbuh kembang anak. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, terdapat penurunan angka tengkes dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022. Meskipun demikian, Kementerian Kesehatan menargetkan penurunan angka tengkes yang cukup drastis, yaitu menjadi 14 persen pada 2024.
Tahukah pembaca, apa tanda dan gejala anak dengan tengkes? Apakah pentingnya masalah tengkes di Indonesia? Bagaimana upaya kita untuk turut menurunkan angka tengkes? Siapa yang menjadi garda terdepan untuk penanganan deteksi dini tengkes?
Tanda dan gejala tengkes
Tengkes menurut WHO adalah kondisi tinggi badan anak menurut usianya lebih rendah dua standar deviasi dari usianya, di bawah median Standar Pertumbuhan Anak WHO. Apabila tubuh anak lebih pendek dari sebayanya, maka kita harus mencurigai anak tersebut mengalami tengkes.
Selain tampak pendek, anak tengkes cenderung terlihat lebih kecil dari usianya, pertumbuhan tulang yang tertunda, dan cenderung mudah sakit. Tidak hanya gangguan pertumbuhan, anak tengkes mengalami gangguan pada fase perkembangannya seperti keterlambatan motorik, sulit berinteraksi sosial, bahkan yang lebih berbahaya adalah gangguan fungsi berpikir sebagai bekal penting untuk belajar saat fase sekolah.
Apabila tubuh anak lebih pendek dari sebayanya, maka kita harus mencurigai anak tersebut mengalami tengkes.
Cara sederhana untuk mengetahui apakah bayi berusia satu tahun tumbuh normal atau tidak adalah melihat apakah berat badannya tiga kali lipat dari berat lahirnya. Selain itu, panjang badannya bertambah 50 persen dari panjang lahirnya, dan lingkar kepalanya bertambah 10 sentimeter.
Setiap anak tumbuh dengan kecepatan yang berbeda sehingga pengukuran yang teratur diperlukan untuk memastikan tidak ada kelainan. Frekuensi pengukuran yang dianjurkan adalah bulanan sampai usia 1 tahun, setiap 3 bulan sampai usia 3 tahun, setiap 6 bulan sampai usia 6 tahun, dan setahun sekali sesudahnya.
Referensi yang digunakan untuk setiap kelompok umur mungkin berbeda. Saat ini Indonesia menggunakan kurva pertumbuhan WHO dan kurva Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) seperti tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut umur (BB/U).
Indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) dalam penentuan status gizi anak dilakukan dengan membandingkan berat badan anak dengan berat badan ideal terhadap tinggi badan, yang selanjutnya dikelompokkan sebagai obesitas, gizi lebih, gizi baik, gizi kurang, dan gizi buruk.
Indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) membandingkan tinggi badan anak dengan tinggi badan anak berjenis kelamin sama pada usia yang sama. Interpretasinya adalah perawakan besar, normal, pendek, dan sangat pendek.
Baca juga: Penanganan "Stunting"
Indikator BB/U membagi anak menjadi berat badan normal, kurus, dan kelebihan berat badan. Indikator ini membandingkan berat badan anak dengan berat badan untuk usianya.
Ukuran status gizi lain yang sering dilupakan orangtua adalah lingkar kepala. Pengukuran ini dilakukan setiap tiga bulan hingga usia 1 tahun dan setiap 6 bulan hingga usia 6 tahun. Lingkar kepala dibedakan menjadi normal, kecil (mikrosefali), dan besar (makrosefali). Lingkar kepala yang kecil atau besar dapat disebabkan oleh penurunan pertumbuhan otak.
Selain pertumbuhan, perkembangan juga menjadi hal yang penting untuk diperiksa secara berkala pada semua anak. Skrining perkembangan anak dapat dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung pada bayi/anak oleh petugas kesehatatan dan juga menggunakan kuesioner yang dijawab oleh orangtua atau menggunakan buku kesehatan ibu dan anak.
Penyebab tengkes
Penyebab utama seorang anak mengalami tengkes adalah malnutrisi dalam jangka waktu yang lama. Hal ini terjadi sejak masa di dalam kandungan karena ibu tidak cukup memenuhi kebutuhan nutrisi janin. Selain itu, ketika sudah lahir, nutrisi bayi yang tidak terpenuhi pada 1.000 hari pertama kehidupan juga menjadi penyebab.
Terdapat beberapa faktor risiko lain yang dapat berkontribusi untuk terjadinya tengkes, yaitu tidak mendapatkan ASI eksklusif, anemia saat kehamilan, berat badan bayi lahir rendah, gizi makanan pendamping ASI (MPASI) yang buruk, sering terkena infeksi, tingkat pendidikan yang rendah, sanitasi buruk, dan tingkat ekonomi rendah.
Tengkes dan perkembangan otak
Menurut Georgieff (2007), defisiensi nutrisi yang terjadi sampai usia 2 tahun dapat mengurangi sel otak sebanyak 15-20 persen. Anak tengkes memiliki ukuran kepala yang lebih kecil sehingga berpengaruh terhadap volume otak dan daya berpikir. Kekurangan gizi pada masa kanak-kanak dapat memengaruhi fungsi susunan saraf pusat.
Anak tengkes memiliki ukuran kepala yang lebih kecil sehingga berpengaruh terhadap volume otak dan daya berpikir.
Anak tengkes akan memiliki rasa ingin tahu yang lebih rendah dan kelemahan motorik karena terdapat gangguan pada proses pematangan fungsi otot. Penelitian Administrative Committee on Coordination/Subcommittee on Nutrition menunjukkan keterkaitan antara tengkes dengan berat badan rendah, perkembangan motorik dan mental yang buruk dalam usia kanak-kanak dini, serta prestasi kognitif dan prestasi sekolah yang buruk dalam usia kanak-kanak lanjut.
Komplikasi jangka panjang tengkes
Tengkes tidak hanya menyebabkan komplikasi jangka pendek berupa anak berperawakan pendek. Tengkes juga memiliki jangka panjang seperti gangguan perkembangan fisik, gangguan kognitif, gangguan perilaku, serta rentan sakit. Anak yang tengkes dengan gangguan pertumbuhan dan perkembangan tentu akan melahirkan orang dewasa yang produktivitasnya rendah.
Kerentanan infeksi dan sakit akan meningkatkan biaya perawatan. Anak tengkes ketika dewasa berisiko lebih tinggi penyakit diabetes melitus, jantung, dan penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif seperti penyakit jantung dan stroke tidak hanya menyumbang mortalitas yang tinggi, tetapi juga morbiditas, sehingga semakin memperberat biaya perawatan jangka panjang.
Baca juga: Kolaborasi Menurunkan Tengkes
Upaya menurunkan tengkes
Penurunan angka tengkes menjadi sangat penting sebagai investasi negara dalam masa depan bangsa. Penurunan angka tengkes yang lambat, komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dari tengkes menjadi dasar mengapa upaya preventif harus dikedepankan dalam penanganan tengkes.
Pemerintah sudah menetapkan 11 intervensi penurunan angka tengkes, yaitu skrining anemia, konsumsi tablet tambah darah untuk remaja putri dan ibu hamil, pemeriksaan kehamilan, pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil kurang energi kronis (KEK), pemantauan pertumbuhan balita, ASI eksklusif, pemberian MPASI kaya protein hewani, tata laksana masalah gizi balita, peningkatan imunisasi, dan edukasi.
Peran pemerintah daerah juga diperlukan untuk mendukung program ini. Pemerintah Kabupaten Sumedang, misalnya, melakukan uji coba aplikasi digital yang bekerja sama dengan Telkomsel bernama SIMPATI (Sistem Pencegahan Stunting).
SIMPATI ini dapat digunakan oleh berbagai pihak, mulai dari kader posyandu untuk melakukan pencatatan pemeriksaan berat badan dan tinggi anak; pimpinan daerah, puskesmas, desa dan dinas terkait lainnya untuk mendapatkan laporan terkait dengan tengkes; serta masyarakat umum/orangtua untuk melakukan pengecekan status gizi anak. SIMPATI diharapkan dapat segera terintegrasi agar dapat dimanfaatkan skala nasional.
Siapa garda terdepan?
Lantas menjadi pertanyaan siapa yang menjadi garda paling depan untuk penanganan kasus tengkes, apakah dokter, perawat, atau pemerintah? Bukan, jawabannya adalah kader sehat setempat, posyandu, dan puskemas.
Posyandu merupakan salah satu upaya untuk mendeteksi gangguan pertumbuhan secara dini dalam mengurangi angka tengkes. Langkah terpenting adalah pemeriksaan rutin dan tindak lanjut yang ketat. Penguatan kegiatan posyandu dalam mengawal 1.000 hari kehidupan anak dimulai dengan pemantauan gizi ibu hamil, pemberian ASI eksklusif, serta pemantauan tumbuh kembang anak secara berkala.
Skrining tinggi badan sesuai usia menjadi program wajib posyandu. Kader setempat juga diharapkan dapat terampil untuk melakukan penyuluhan, skrining, serta rujukan ke puskesmas kepada anak yang dicurigai tengkes. Kader sehat seharusnya berhak mendapat insentif atau bentuk apresiasi lain atas jerih payah dan tanggung jawabnya agar program terlaksana dengan baik dan berkelanjutan.
Puskesmas sebagai pusat layanan primer di daerah juga berperan sebagai pusat koordinasi deteksi tengkes dalam kegiatan di posyandu. Petugas kesehatan dapat mempromosikan hal ini mulai dari layanan perawatan antenatal (ANC) berkala.
Baca juga: Mewujudkan "Stunting 14.0"
Menurut Black & Heidkamp (2018), program ANC memungkinkan ibu hamil mendapatkan akses yang rutin dan berkala serta mendapatkan kesempatan mengikuti sesi pendidikan kesehatan yang interaktif, termasuk pengetahuan tentang cara menyusui yang benar, perawatan bayi yang optimal, serta MPASI. Hal ini memberikan kesempatan ibu untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan kesehatan anak.
Selain kader sehat dan tenaga kesehatan sebagai garda terdepan, peran ibu dalam upaya pencegahan tengkes sangat besar. Edukasi ke orangtua bagaimana cara memilah dan mengolah makanan yang bergizi untuk buah hati menjadi penting, begitu pula kesadaran mengecek berat badan tinggi badan dan melaporkannya ke tenaga kesehatan. Peran institusi pendidikan mengenai pendidikan gizi mulai dari PAUD, TK, SD, hingga SMP penting untuk dilakukan agar anak paham mana makanan yang bergizi dan tidak.
Kerja sama dari semua lini dalam optimalisasi gizi, deteksi dini, serta penanganan komprehensif dari fasilitas kesehatan di puskesmas hingga rumah sakit diharapkan dapat menurunkan angka tengkes di Indonesia hingga mencapai target nasional.
Abdul Gofir, Dosen FK-KMK UGM dan Spesialis Neurologi Konsultan di RSUP Dr Sardjito