Koperasi Bermasalah
Fenomena koperasi gagal bayar tidak lepas dari tidak adanya penjaminan bagi anggota koperasi dari LPS. UU PPSK hanya beri jaminan untuk korporasi perbankan dan asuransi komersial. Perlakuan diskriminatif memperlemah KSP.
Fenomena koperasi simpan pinjam gagal bayar sedang menyeruak. Pemerintah dan parlemen merespons dengan memasukkan pasal mengenai mekanisme pengawasan koperasi dalam Undang-Undang Omnibus Law Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan dengan ketentuan bersyarat.
Koperasi gagal bayar yang terjadi melibatkan ratusan ribu warga sebagai anggota koperasi dengan perkiraan potensi kerugian triliunan rupiah.
Dari delapan kasus besar yang ditangani Satuan Tugas Koperasi Bermasalah Kementerian Koperasi dan UKM saja, perkiraan nilai gagal bayar mencapai Rp 26 triliun (Kemenkop dan UKM, 2022). Ini kasus gagal bayar terbesar dalam sejarah perkoperasian Indonesia dan mencoreng nama koperasi.
Baca juga: 12 Koperasi Diduga Terlibat Pencucian Uang, Totalnya Rp 500 Triliun
Mekanisme penyelesaian
Dalam putusan pengadilan, baik kasus lama maupun baru, sering kali masyarakat anggota koperasi lebih banyak dirugikan. Dalam homologasi atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) pun, uangnya banyak yang tidak kembali.
Dalam kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Inti Dana, putusan pailitnya melibatkan kasus suap hakim agung. Bahkan, dalam putusan peradilan terhadap KSP Indosurya, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menyatakan putusan bebas bagi pengurusnya.
Menilik kasusnya, mekanisme penyelesaian internal koperasi ternyata kurang dapat perhatian. Padahal, menurut hukum koperasi, manajemen dan anggota semestinya menyelesaikan masalahnya pertama-tama secara internal melalui forum rapat anggota sebagai kuasa tertinggi di koperasi. Sebab, mereka bukan para pihak yang terpisah seperti halnya dalam manajemen perbankan umum.
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, sebagai UU yang masih berlaku, anggota adalah pemilik koperasi; sementara pengurus dan manajer adalah orang yang ditunjuk mengelola dan melayani anggota. Manajemen semestinya mempertanggungjawabkan dahulu kepada anggota sebagai pemilik perusahaan.
Baca juga: Menjernihkan Koperasi Simpan Pinjam
Dari laporan pertanggungjawaban, baru akan dapat diketahui kerugian yang terjadi itu disebabkan oleh semata masalah kinerja manajemen atau ada unsur penyalahgunaan kewenangan yang bisa saja menjadi tindak pidana.
Kemenkop dan UKM telah memberikan perhatian pada masalah yang terjadi dengan membentuk Satgas Koperasi Bermasalah. Namun, masalah bertambah rumit karena satgas bukannya mendorong terjadinya mekanisme penyelesaian secara internal dan memberikan jaminan berjalannya rapat anggota secara demokratis, melainkan justru lebih banyak turut mendorong ke mekanisme pengadilan. Sepertinya satgas kurang memahami masalah prinsip dan hukum koperasi.
Kasus suap terhadap hakim agung dalam upaya memengaruhi putusan pailit KSP Inti Dana baru-baru ini semestinya juga bisa jadi kotak pandora untuk membongkar semua lika-liku hukum koperasi bermasalah dan mafia peradilan yang ada. Untuk itu, satgas perlu dievaluasi dan penanganan masalahnya semestinya dibawa ke dalam mekanisme penyelesaian yang adil dengan memberikan pelindungan pada kepentingan publik anggotanya. Misalnya, dengan membentuk manajemen caretaker independen di koperasi, bukan menambah keruh dan kekecewaan masyarakat lebih luas.
Masalah KSP gagal bayar tentu bukan masalah yang berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang memengaruhi.
Soal regulasi dan diskriminasi
Masalah KSP gagal bayar tentu bukan masalah yang berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang memengaruhi, baik tingkat pemahaman anggota atau masyarakat yang lemah terhadap tata kelola dan hukum koperasi, lingkungan persaingan yang tidak sehat di sektor keuangan yang diciptakan oleh regulasi, maupun kebijakan yang tak memadai.
Ketidakpahaman anggota mengenai tata kelola dan hukum koperasi menjebak anggota melakukan proses penyelesaian melalui mekanisme peradilan formal secara terburu-buru. Padahal, kuasa tertinggi dari forum rapat anggota adalah tempat pertama yang tepat untuk mendudukkan perkara manajemen dan hukumnya, apakah masalah yang terjadi merupakan perkara perdata atau perkara pidana.
Kasus di lapangan, banyak koperasi bermasalah itu juga awalnya berangkat dari glorifikasi pihak Kemenkop dan UKM dengan diberikan banyak predikat penghargaan sebagai koperasi kategori baik tanpa supervisi yang memadai. Masyarakat yang awam soal koperasi akhirnya banyak yang memercayai koperasi sebagai tempat investasi dengan iming-iming tingkat suku bunga atau pengembalian yang biasanya menggiurkan.
UU Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (PPSK) yang baru saja disahkan ternyata juga tak hadir memperkuat kelembagaan koperasi. Peran pemerintah bagi koperasi diposisikan lebih mengarah kepada aksi polisional ketimbang melakukan tindakan preventif dengan menghargai nilai-nilai dan prinsip koperasi. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Keuangan mempertegas peranan itu.
Respons Kemenkop dan UKM dengan memoratorium izin pendirian KSP baru dan pembukaan cabang KSP juga obat yang tidak pas. Gagal bayar terkait likuiditas, penipuan adalah tindak pidana, sedangkan masalah perizinan adalah perkara bagaimana koperasi yang baik bertumbuh.
Kemenkop dan UKM seharusnya hadir membantu mengupayakan agar koperasi dapat penyelesaian masalah likuiditas koperasi dalam ancaman gagal bayar, agar uang anggota dapat kembali, juga masalah pidananya agar dapat diselesaikan secara hukum dengan sebaik-baiknya. Bukan malah ikut menghukum koperasi yang baik untuk berkembang dan membuka cabang dengan moratorium.
Respons Kemenkop dan UKM dengan memoratorium izin pendirian KSP baru dan pembukaan cabang KSP juga obat yang tidak pas.
Munculnya kasus KSP gagal bayar selama ini tentu tidak lepas dari tidak adanya penjaminan bagi anggota koperasi dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). UU PPSK hanya memberikan jaminan untuk korporasi perbankan dan asuransi komersial, tidak untuk koperasi (UU PPSK Bagian Ketiga, Pasal 3A dan Pasal 4).
Perlakuan diskriminatif tersebut akhirnya memperlemah posisi KSP. Biaya modal KSP menjadi mahal daripada bank dan mendorong KSP menciptakan produk investasi berisiko tinggi sebagai daya tarik sehingga koperasi banyak yang terancam gagal bayar ketika menghadapi krisis ekonomi.
Kebijakan pemerintah bertambah tidak fair dan menciptakan persaingan tidak sehat karena pemerintah memberikan daya dukung yang besar terhadap bank komersial, tetapi tidak untuk koperasi.
Bentuk daya dukung itu, misalnya, subsidi bunga, subsidi imbal jasa penjaminan, modal pernyertaan, dana penempatan, bahkan dana talangan (bailout) bagi bank umum yang menghadapi masalah likuiditas, serta supervisi.
Dibandingkan dengan aset bank komersial, aset KSP di Indonesia memang kecil. Hanya Rp 101 triliun atau 1 persen dari total nilai aset bank komersial yang Rp 10.112 triliun (OJK, Desember 2021). Namun, jika koperasi diperlakukan sama, tentu bukan tidak mungkin akan tumbuh menjadi lembaga keuangan yang disegani sebagaimana terjadi di negara lain.
Sikap diskriminatif terhadap koperasi sebagai badan hukum ficta persona yang diakui negara secara tak langsung jadi pisau tajam bank umum komersial dalam ”membunuh” KSP.
Daya tahan koperasi
Menurut laporan Euricse (Desember, 2022), sebanyak 300 koperasi besar dunia didominasi sektor koperasi keuangan, baik asuransi maupun perbankan. Mereka berkembang jadi bank dan asuransi terbaik di negaranya, sebagian berekspansi ke negara lain.
Koperasi tersebut, misalnya, koperasi Desjardins Group di Kanada, Groupe Credit Agricole di Perancis, Rabbobank di Belanda, dan Raiffisien Bank International (RBI) di Austria untuk sektor perbankan. Selain itu, koperasi asuransi, seperti State Farm di AS, Zenkroyen di Jepang, AP Pension di Denmark, NTUC Income di Singapura. Mirisnya, dari 127.846 koperasi (Kemenkop dan UKM, 2022) kita, di semua sektor, tak satu pun yang masuk daftar 300 koperasi besar itu.
International Cooperative Bank Association (ICBA) melaporkan, tahun 2021 ada 18.500 koperasi di sektor keuangan. Anggota pemiliknya sebanyak 272 juta orang, beroperasi di lebih dari 100 negara. Koperasi berkontribusi terhadap 33 persen total deposito seluruh lembaga keuangan di Belanda dan 40 persen di Perancis.
Di Kanada, koperasi memiliki tingkat penetrasi pangsa pasar hingga 10 juta anggota atau satu dari setiap dua orang Kanada dengan aset Rp 4.800 triliun dan pekerja hingga 60.000 orang. Di AS, anggota 112 juta dan aset Rp 10.500 triliun. Di Jerman, koperasi menguasai 74 persen pangsa pasar sektor keuangan.
KSP memang perlu pengawasan ketat, tetapi harus kuat dalam menegakkan prinsip-prinsip koperasi.
Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO, 2018), ketika menghadapi krisis keuangan global tahun 2008, koperasi sektor keuangan terbukti memiliki peringkat gagal bayar lebih rendah lima kali lipat dibandingkan dengan bank komersial di Eropa. Di AS, koperasi sektor keuangan jadi penyelamat usaha kecil dan menengah saat krisis karena melakukan peningkatan pinjaman secara ganda (double lending) dari 30 persen jadi 60 persen.
Kunci keberhasilan KSP atau bank koperasi tersebut adalah karena kepemilikannya oleh anggota (nasabah), demokrasi satu orang satu suara, otonomi dalam tata kelola, dan pengembalian keuntungan kepada anggotanya.
Selain itu, juga karena ada pelibatan anggota dalam pengawasan dan juga pengambilan keputusan strategis koperasi, dan ada peluang anggota jadi pengurus ataupun di manajemen, sesuai dengan kompetensinya.
Dalam pengawasan, pemerintah diperkenankan untuk mengendalikan melalui jaringan supervisi federasinya atau sekunder koperasi mereka. Koperasi yang bersepakat secara sengaja mendirikan bank untuk tujuan sebagai pengatur pintu likuiditas ke bank sentral dan mencari sumber pendanaan di pasar modallah yang diawasi oleh otoritas pengawasan umum dengan tetap diatur regulasi eksepsinya.
Koperasi butuh lembaga pengawasan yang berwibawa bagi koperasi palsu dan rentenir berbaju koperasi.
KSP memang perlu pengawasan ketat, tetapi harus kuat dalam menegakkan prinsip-prinsip koperasi. Koperasi butuh lembaga pengawasan yang berwibawa bagi koperasi palsu dan rentenir berbaju koperasi. Koperasi semacam ini sebaiknya justru diminta berubah menjadi bank umum atau kalau tidak dibubarkan secara paksa.
Otoritas pembubaran itu sudah diberikan oleh UU Perkoperasian—bahkan sudah ada peraturannya di tingkat PP dan peraturan menterinya—kepada Menteri Koperasi dan UKM. Masalahnya adalah menteri memiliki keberanian atau tidak untuk membubarkannya?
Suroto, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)