Oligarki
Oligarki yang sangat berpengaruh dapat mengacaukan tujuan-tujuan yang akan dicapai negara jika kehendaknya tidak diikuti. Apakah negeri kita juga dikendalikan oleh sebuah oligarki? Kalau jawabnya ya, siapa saja mereka?
Cerita di bawah ini belum pernah saya ungkapkan ke publik, yaitu pertemuan empat mata saya dengan Presiden Joko Widodo pada awal Agustus 2021.
Pertemuan itu atas undangan Presiden setelah saya melakukan kritik-kritik tajam, baik di Twitter maupun di media lain. Berlangsung selama hampir satu setengah jam di kantor kerja beliau di Istana Bogor.
Temu muka itu bukan atas permintaan saya, tetapi sepenuhnya atas inisiatif Presiden yang barangkali heran kenapa saya sebagai pendukung Presiden belakangan menjadi kritis atas beberapa kebijakan dan kinerja Presiden di periode dua pemerintahan.
Meskipun tidak masuk di dalam tim kampanye resmi, sayalah yang membuat selebaran ”Sepuluh Alasan Mengapa saya Memilih Presiden Jokowi”, baik pada pemilu periode satu (2014) maupun periode dua (2019). Selebaran itu digunakan oleh tim kampanye dan disebarluaskan.
Meski demikian, dengan sangat rendah hati saya katakan bahwa respons Presiden terhadap berbagai kritik saya tidak bisa sepenuhnya meyakinkan saya.
Inilah menurut saya salah satu kelebihan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Harus kita akui bahwa presiden kita bersedia mengundang dan mendengarkan kritik keras dari rakyatnya, entah untuk masukan atau untuk memberikan argumen dalam versi beliau.
Yang pasti, pertemuan itu sama sekali tidak dirancang untuk pencitraan karena tak ada satu orang pun dari media yang diundang hadir menyaksikan dan setelah sekian lama tak ada satu berita pun tentang itu. Kedua, saya bukan siapa-siapa. Saya ini bukan tokoh apa pun, bukan akademisi, tak berpengaruh, dan bukan tokoh politik ataupun bisnis.
Saya yakin tujuan pertemuan itu hanya untuk melunakkan sikap saya agar saya tidak mengajukan kritik-kritik keras ke publik setelah mendapat penjelasan langsung dari Presiden. Meski demikian, dengan sangat rendah hati saya katakan bahwa respons Presiden terhadap berbagai kritik saya tidak bisa sepenuhnya meyakinkan saya.
UU KPK
Pertemuan dan perbincangan saya dengan Presiden bukan untuk yang pertama kali, tetapi pertemuan empat mata baru pertama kali saat itu. Sebelumnya saya ikut bersama rombongan, kurang lebih 20 tokoh cendekiawan dan aktivis sosial di Istana Merdeka, untuk membahas dan memprotes berlakunya undang-undang baru Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Terdapat tiga kesimpulan dari pertemuan tersebut, yakni undang-undang itu harus direvisi oleh DPR atau diajukan ke Mahkamah Konstitusi atau Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Hasilnya, Mahkamah Konstitusi, seperti kita ketahui, menolak tuntutan untuk membatalkan UU KPK yang baru. Dengan demikian, satu-satunya harapan kami bukan revisi oleh DPR, melainkan lahirnya sebuah perppu yang membatalkan UU itu. Ini yang saya tanyakan kepada Presiden. Beliau menjawab bahwa, ”Tidak ada gunanya saya mengeluarkan perppu karena kalaupun saya keluarkan akan kembali ke DPR dan akan ditolak mayoritas anggota DPR yang menginginkan UU KPK baru itu”.
Baca juga : Waspadai Menguatnya Oligarki Ekonomi
Saya menjawab, ”Belum tentu Bapak Presiden, karena partai-partai politik itu juga punya kalkulator. Mereka juga memperhitungkan apa balasan Presiden jika mereka menolak permintaan Presiden. Meski demikian, andaikata benar, perppu yang dikeluarkan Presiden ditolak DPR, maka Presiden bisa mengembalikan ini ke rakyat dan menyampaikan bahwa perppu tersebut ditolak oleh partai-partai politik DPR sehingga nama Presiden tetap harum dan rakyat dapat mengetahui siapa biang keladinya”.
Banyak hal yang kami bicarakan, tetapi pada suatu saat saya menyebut kata oligarki dan Presiden menanyakan ”apa sih oligarki itu?” Saya tidak yakin Presiden tidak memahami makna kata oligarki. Bisa jadi hanya untuk menguji saya. Jawaban saya tidak panjang, saya katakan, ”Mereka yang punya kekuasaan dan menguasai DPR tidak lain adalah pimpinan partai-partai besar. Yang dimaksud dengan oligarki sebenarnya jauh lebih rumit dan lebih dalam dari itu”.
Kekuatan oligarki
Seperti kita ketahui, lemahnya penegakan hukum di era Jokowi serta pemilihan menteri-menteri dan sebagainya sempat diisukan sebagai bukan kemauan sebenarnya dari Presiden, tetapi ada kekuatan-kekuatan di balik kekuasaan formil yang ikut menentukan arah kebijakan negara.
Kekuatan-kekuatan itu terdiri dari orang-orang ”kuat” yang sangat berpengaruh yang dapat mengacaukan tujuan-tujuan yang akan dicapai negara jika kehendaknya tidak diikuti. Orang-orang ini bisa terdiri dari mereka yang mempunyai kekuatan ekonomi/keuangan besar ataupun kekuatan lain yang menentukan arah politik negeri.
Ini terjadi tidak hanya di negara kita, tetapi juga hampir di semua negeri lain, baik negara dengan sistem demokrasi maupun otoriter. Bahkan oligarki terjadi dalam menentukan nasib dan geopolitik dunia.
Kita juga sering mendengar bahwa Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang dipimpin secara bergantian oleh presiden dari Partai Republik dan Partai Demokrat kenyataannya kebijakannya dalam berbagai hal tidak berubah dan hampir sama. Disebutkan bahwa semua ini disebabkan oleh adanya apa yang disebut sebagai deep state yang mengendalikan negeri itu.
Mereka antara lain adalah kompleks industri militer yang mendapat keuntungan besar dari industri keamanan AS dengan anggaran tertinggi di dunia, korporasi-korporasi besar di Wall Street yang mempunyai kepentingan ekonomi, dan lobi Israel yang sangat kuat di AS (AIPAC), yang kesemuanya itu ikut menentukan siapa-siapa yang terpilih dalam kongres maupun senat AS dengan sumbangan yang tidak dibatasi oleh undang-undang.
Juga media-media besar yang hidupnya bersumber dari iklan korporasi besar, yang tidak berani memberitakan atau menyampaikan tajuk dan opini yang bertentangan dengan kepentingan korporasi-korporasi itu.
Kita juga sering mendengar bahwa Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang dipimpin secara bergantian oleh presiden dari Partai Republik dan Partai Demokrat kenyataannya kebijakannya dalam berbagai hal tidak berubah dan hampir sama.
Sebagai akibat dari pengaruh ”orang-orang kuat” di AS itu, sejak 1970 upah riil (real wages—upah buruh setelah diperhitungkan dampak inflasi) di sana terus menurun sampai sekarang. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh 10 persen kelompok kecil orang-orang berduit di tingkat atas.
Kelas menengah terkikis menjadi makin tipis dan jurang pendapatan antara yang kaya dan miskin makin melebar.
Dengan dalih ingin mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pajak bagi kelompok atas yang kaya terus- menerus diperingan, sementara sumber pendapatan pemerintah justru dari hasil pajak kelompok bawah yang terpinggirkan.
Wajah oligarki
Dalam buku barunya Who Rules the World, Noah Chomsky mengatakan bahwa dunia pun tidak lepas dari pengendalian oligarki. Hanya saja, oligarki ini tidak terdiri dari orang, tapi negara-negara yang kuat ekonomi dan militernya.
Sejauh ini, terutama adalah Amerika Serikat. Meski demikian, sistem unipolar yang dipaksakan oleh AS dan kawan-kawan pasca-Perang Dunia II, belakangan makin melemah dengan tumbuhnya kekuatan baru negeri-negeri yang menantangnya.
Meskipun oligarki geopolitik dilakukan oleh negara, tetapi seperti disebutkan di atas, negara-negara tersebut juga di belakangnya tetap saja ada kekuatan-kekuatan korporasi yang mengendalikan, termasuk dalam kebijakan luar negerinya.
Oligarki bukan monopoli negara dengan sistem demokrasi. Rusia selama ratusan tahun sampai sekarang ketika dipimpin Putin disebutkan sebagai selalu ada kelompok kecil oligark, orang-orang kaya yang sangat berpengaruh. Di China, meski dengan sistem satu partai, para oligark berada di sekitar dan di dalam pimpinan tertinggi Partai Komunis China.
Di Iran, oligarki berada di tangan kelompok agama, yakni para ulama tertentu yang berada di sekitar Supreme Leader (Pemimpin Agung), yang kekuasaannya lebih tinggi dari presiden dan parlemennya.
Apakah negeri kita juga dikendalikan oleh sebuah oligarki? Kalau jawabnya ya, siapa saja mereka? Makin mahal biaya pemilu dan biaya agar terpilih, ketergantungan kepada orang-orang berduit makin besar.
Satu-satunya harapan kita, jika benar ada oligarki di negeri kita, semoga pemimpin terpilih dalam pilpres mendatang adalah seorang yang berani melawan atau setidaknya mampu menjinakkan para oligark yang hanya berkeinginan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan terus kepentingan mereka sendiri.
Abdillah Toha Pemerhati Politik, Ekonomi, dan Keagamaan