Memperkuat Kebijakan Pemerataan Pembangunan Ekonomi
Pemerataan pembangunan ekonomi dibutuhkan demi memutus mata rantai kemiskinan dan kesenjangan. Memacu pertumbuhan bisnis dan investasi jadi jalan keluar, tetapi harus dibarengi pemberantasan korupsi dan pungutan liar.
Laporan empiris Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dalam ”Uncertain Times, Unsettled Lives: Shaping our Future in a Transforming world” (Februari 2023) menunjukkan, lebih dari 90 persen negara mencatat penurunan skor Indeks Pembangunan Manusia pada 2020 atau 2021 dan lebih dari 40 persen menurun di kedua tahun tersebut. Penurunan itu bahkan sudah terlihat sebelum krisis pandemi Covid-19. Untuk pertama kali dalam 32 tahun, IPM menurun dramatis selama dua tahun berturut-turut.
Laporan tersebut berpendapat, tingkat ketidakpastian semakin buruk dan menimbulkan gejolak kehidupan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini berdampak buruk terhadap miliaran orang di dunia. Krisis Covid-19, perang Rusia-Ukraina, perubahan iklim, pergesekan, dan polarisasi sosial dampak populisme politik semakin memperparah ketimpangan antarnegara.
Laporan tersebut juga menyampaikan bahwa dunia semakin terjebak dalam siklus solusi sementara dan tidak mampu mengatasi akar permasalahan konkret. Negara-negara ditantang melakukan perubahan radikal agar terhindar dari derap langkah yang menuju ketidakpastian dan ketidakadilan. Dalam mengatasi ketidakpastian, pembangunan manusia berkeadilan harus diutamakan dengan meningkatkan aspek kesejahteraan dan kesehatan.
Baca juga: Menopang Gerak Lambat Indeks Pembangunan Manusia
Aksi nyata dalam mengatasi tantangan lingkungan hidup serta reformasi tata kelola dan akses ke pelayanan publik juga diperlukan. Dalam menghentikan polarisasi yang berkembang, dibutuhkan langkah antisipatif dalam mengembangan ruang publik yang lebih inklusif, membangunan perdamaian yang lebih adaptif serta mengatasi gangguan misinformasi.
Di sisi lain, pemaparan visi Indonesia Emas 2045, Presiden Joko Widodo optimistis Indonesia mampu mencapai target penerimaan produk domestik bruto 7 triliun dollar AS. Diyakini dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan inklusif akan membawa Indonesia menjadi negara dengan PDB terbesar kelima dunia pada usia satu abad NKRI, menggusur negara industri maju Jerman dan Inggris.
Sejumlah lembaga konsultan ternama juga menyampaikan laporan empirisnya bahwa Indonesia menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia pada masa depan. McKinsey & Company dalam publikasi risetnya, ”The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential” (September 2012), memproyeksikan Indonesia menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh dunia pada 2030 setelah China, AS, India, Jepang, Brasil, dan Rusia.
Lembaga PricewaterhouseCoopers (PwC) turut memproyeksikan Indonesia di peringkat kelima ekonomi maju pada 2030 dan posisi keempat pada 2050 negara ekonomi terbesar dunia dalam kajian ilmiahnya, ”The long view, how will the global economic order change by 2050” (Februari 2017).
Pemerataan pembangunan
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, dengan tingkat penerimaan PDB tahun 2022 atas dasar harga berlaku (ATDB) sebesar Rp 19.588,4 triliun atau 1,3 triliun dollar AS (kurs Rp 15.000 per dollar AS), dibutuhkan tingkat pertumbuhan PDB minimal 8-9 persen per tahun selama 23 tahun ke depan agar mencapai lompatan tujuh kali lipat dari posisi saat ini. Bukan pekerjaan ringan mengingat realisasi pertumbuhan PDB Indonesia selama pemerintahan Jokowi bahkan belum pernah mencapai 6 persen.
Realisasi pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), 5,17 persen (2018), 5,02 persen (2019), minus 2,07 persen (2020), 3,69 persen (2021) dan terbaru 5,31 (2022). Hanya pada 2022 pertumbuhan PDB memenuhi target APBN 5,1-5,3 persen. Selebihnya masih di bawah target APBN sebesar 5,8 persen (APBN 2015), 5,3 persen (2016), 5,1 persen (2017), 5,4 persen (2018), 5,3 persen (2019), 4,5-5,5 persen (2020), dan 5 persen (2021).
Daripada terlalu jauh mengejar mimpi menjadi negara besar, sebaiknya pemerintah dan semua pemangku kepentingan mawas diri dan dalam koridor arah visi yang sama dengan berfokus kepada ancaman ketimpangan pembangunan ekonomi di depan mata.
Pemerataan pembangunan ekonomi dibutuhkan demi memutus mata rantai kemiskinan dan kesenjangan. Pembangunan infrastruktur memang penting, namun pembangunan manusia yang berdikari dan sejahtera harus menjadi prioritas pemerintah di tengah percaturan global.
Mencapai target pertumbuhan PDB saja tidak cukup karena permasalahan pembangunan manusia lebih komprehensif daripada sekadar angka pertumbuhan PDB.
Apa yang terjadi di tingkat global sebenarnya menjadi bahan refleksi Indonesia dalam memperkuat kebijakan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Mencapai target pertumbuhan PDB saja tidak cukup karena permasalahan pembangunan manusia lebih komprehensif daripada sekadar angka pertumbuhan PDB. Meskipun harus diakui, dalam upaya pembangunan manusia diperlukan peningkatan berbagai indikator pertumbuhan ekonomi yang lebih berkeadilan, inklusif, dan berivisi lingkungan.
Pembenahan aneka problematika ekonomi domestik menjadi kritikal aspek yang harus diselesaikan secara tuntas. Penciptaan lapangan kerja dan usaha sangat vital dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi pengangguran yang dapat berujung kepada keresahan dan kerusuhan sosial. Transformasi struktural ekonomi melalui reformasi regulasi, perizinan dan tata kelola/birokrasi harus diselesaikan untuk memacu pertumbuhan investasi dan bisnis.
Kepercayaan pasar, investor, dan dunia usaha sangat besar manfaatnya untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi inklusif hingga ke pelosok negeri. Indonesia harus keluar dari paradigma ekonomi eksklusif yang hanya mementingkan target angka pertumbuhan PDB tinggi, lebih mendorong pertumbuhan sektor tersier (jasa) atau tersierisasi dibandingkan sektor sekunder (manufaktur) dan primer (pertanian). Padahal sektor sekunder dan primer menyerap banyak tenaga kerja, dan berimplikasi serius terhadap peningkatan ketimpangan dan ketidakmerataan dalam pembangunan ekonomi daerah. Transformasi ekonomi mutlak diperlukan dari ekonomi berbasis SDA (gali, ambil, dan jual) menuju ekonomi berbasis ekspor industri bernilai tambah tinggi.
Presiden Joko Widodo menargetkan kemiskinan ekstrem nol persen alias tuntas pada 2024. Berdasarkan data BPS, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2022 mencapai 9,57 persen, September 2021 (9,71 persen). Meskipun jumlah kelas menegah bertambah, masih terdapat sedikitnya 26,36 juta jiwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (Rp 535.547 per kapita per bulan).
Provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi per September 2022 yaitu NTT (20,23 persen), Papua Barat (21,43 persen), dan Papua (26,8 persen). Tingkat ketimpangan (gini) 0,381 (September 2022), sebelumnya 0,384 (Maret 2022). Tingkat penganguran terbuka (TPT) per Agustus 2022 (5,86 persen) dan Agustus 2021 (6,49 persen).
Menurut Bank Dunia (2018), tingkat kemiskinan ekstrem mengacu pada garis pendapatan per kapita sebesar 1,90 dollar AS per hari (nilai tahun 2011) atau setara 2,12 dollar AS pada 2022. Menghapus kemiskinan dan kelaparan ekstrem merupakan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) yang telah disepakati 189 negara anggota PBB pada 2000.
Baca juga: Indonesia dan Kemiskinan Ekstrem
Indeks pembangunan ekonomi inklusif menjadi indikator mengukur tingkat inklusivitas pembangunan Indonesia pada level nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Indeks ini ditopang oleh tiga pilar utama. Pilar I, pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan subpilar pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan infrastruktur ekonomi. Pilar II, pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan dengan subpilar ketimpangan dan kemiskinan. Pilar III, perluasan akses dan kesempatan dengan subpilar kapasitas manusia, infrastruktur dasar, dan keuangan inklusif.
Berdasarkan data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, pada 2021 skor indeks pembangunan inklusif Indonesia 6,0, membaik dibandingkan 2020 (5,54), 2019 (5,97), dan 2018 (5,77). Nilai indeks 2021 pilar I (5,29), pilar II (6,57), dan pilar III (7,06). Skala skor indeks dari 0 sampai 10. Daerah dengan indeks tertinggi Provinsi DKI Jakarta (7,93), Kepulauan Riau (6,66), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (6,63). Indeks terendah pada provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi nasional adalah NTT (5,24), Papua Barat (5,19), dan Papua (4,14).
Memperkuat kebijakan
Kritikal poin pembenahan dalam memperkuat kebijakan pemerataan pembangunan ekonomi nasional. Pertama, meningkatkan pemerataan kontribusi daerah dalam pertumbuhan PDB nasional. Peningkatan pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) wajib diikuti dengan mengurangi ketimpangan dalam kontribusi PDB nasional.
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan PDRB secara tahunan (year on year/yoy) pada 2022, Maluku-Papua (8,65 persen) dan Sulawesi (7,05 persen), di atas pertumbuhan Jawa (5,31 persen), Sumatera (4,69 persen), Kalimantan (4,94 persen), dan Bali-Nusra (5,08 persen).
Kontribusi pembentukan PDB nasional dengan nilai PDB ATDB tahun 2022 sebesar Rp 19.588,4 triliun belum merata. Kontribusi Pulau Jawa (56,48 persen) dan Sumatera (22,04 persen). Sementara kontribusi Kalimantan sebesar 9,23 persen, Sulawesi (7,03 persen), Bali-Nusra (2,72 persen), dan Maluku-Papua (2,5 persen).
Progres pemerataan belum signifikan dalam kontribusi antarwilayah. Kontribusi dalam PDB nasional tahun 2021, yaitu Jawa (57,89 persen), Sumatera (21,7 persen), dan Kalimantan (8,25 persen). Tahun 2020, Jawa (58,75 persen) dan Sumatera (21,36 persen). Tahun 2019, Jawa (59 persen) dan Sumatera (21,32 persen).
Peningkatan pertumbuhan produk domestik regional bruto wajib diikuti dengan mengurangi ketimpangan dalam kontribusi produk domestik bruto nasional.
Ketimpangan dalam kontribusi PDB membawa implikasi kurang baik terhadap persoalan struktural ekonomi yang belum tuntas, khususnya kemiskinan dan kesenjangan pembangunan antar daerah. Pertumbuhan PDB tinggi ternyata tidak mencerminkan pemerataan pendapatan dan pembangunan ekonomi antardaerah.
Ketimpangan dalam kontribusi PDB RI wajib diperkecil agar permasalahan kemiskinan dan ketimpangan dapat diselesaikan. Per september 2022, kemiskinan masih terkonsentrasi di pulau Jawa (13,94 juta jiwa atau berkontribusi nasional 52,86 persen) dan Sumatera (5,76 juta jiwa atau 21,86 persen). Di atas Kalimantan (3,78 persen), Sulawesi (7,7 persen), Bali-Nusra (7,98 persen), dan Maluku-Papua (5,83 persen).
Kedua, memacu pertumbuhan dan pemerataan penerimaan investasi. Pertumbuhan investasi menentukan tingkat penciptaan lapangan kerja dan usaha. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, realisasi penerimaan investasi secara kumulatif Januari-Desember 2022 sebesar Rp 1.207,2 triliun (PMDN Rp 552,8 triliun dan PMA Rp 654,4 triliun). Investasi meningkat 34 persenyoydan mencapai 100,6 persen dari target Rp 1.200 triliun dengan serapan tenaga kerja 1,31 juta orang.
Realisasi investasi tahun 2021 mencapai Rp 901 triliun atau 100,1 persen dari target, meningkat 9 persen yoy dengan serapan tenaga kerja 1,2 juta orang. Tahun 2023 pemerintah menargetkan realisasi investasi naik 16,66 persen (yoy) dari target tahun lalu menjadi Rp 1.400 triliun.
Baca juga: Investasi Jadi Tumpuan Pertumbuhan
Pemerintah daerah dituntut menggali potensi daerahnya serta lebih kreatif, atraktif, dan inovatif dalam menarik minat investor. Provinsi dengan penerimaan investasi terbesar pada 2022 yaitu Jabar Rp 174,6 triliun (14,46 persen), DKI Jakarta Rp 143 triliun (11,85 persen), Sulteng Rp 111,2 triliun (9,21 persen), Jatim Rp 110,3 triliun (9,13 persen), dan Riau Rp 82,5 triliun (6,83 persen). Relatif belum meningkat signifikan dibandingkan penerimaan investasi tahun 2021 Jabar (Rp 136,1 triliun atau 15,1 persen), DKI Jakarta (11,5 persen), dan Jatim (8,8 persen) serta tahun 2020 Jabar (14,6 persen), DKI Jakarta (11,5 persen), dan Jatim (9,5 persen).
Terakhir, terkait aspek politik kebijakan dan birokratisasi. Pemberantasan korupsi menjadi harga mati. Tata kelola pemerintahaan harus bersih, transparan, dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi. Celakanya, nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 malah merosot ke angka 34 dari skor 38 (2021). Ranking ke-110 dari 180 negara. Indonesia kalah dibandingkan Singapura (83), Malaysia (47), Vietnam (42), bahkan Timor Leste (42).
Sangat sulit bagi Indonesia untuk memacu pertumbuhan bisnis dan investasi dalam negeri apabila praktik koruptif dan pungutan liar masih merajalela. Berapa pun anggaran kesejahteraan sosial akan percuma apabila terus-menerus digerogoti oknum koruptur. Investor tentu akan menghindari negara dengan level country risk yang tinggi. Apabila dibiarkan menjadi alamat bahaya bagi upaya pemerataan pembangunan ekonomi hingga daerah terpencil dan terluar Tanah Air.
Santo Rizal Samuelson, Pemerhati Ekonomi dan Politik Indonesia; Ekonom, dan Analis Ekonomi dan Keuangan; Finance and Economy Analyst di PT Graha Prima