Peningkatan angka realisasi investasi belum dibarengi perbaikan kualitas investasi. Porsi terbesar investasi, 80-90 persen, masih dalam bentuk aset properti. Investasi di mesin dan peralatan hanya sekitar 10 persen.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Pemerintah berharap investasi bisa jadi lokomotif pertumbuhan ekonomi yang berkualitas di tengah terpuruknya konsumsi akibat dampak pandemi (Kompas, 30/7/2021).
Berbeda dengan tren arus investasi langsung asing (FDI) global yang anjlok tajam selama pandemi Covid-19, arus FDI atau penanaman modal asing (PMA) yang masuk ke Indonesia masih meningkat pada 2020 dan semester I-2021.
Sebaliknya, untuk investasi portofolio, arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia pada 2020 masih berlanjut pada 2021. Kinerja positif arus FDI ini diduga merupakan dampak dari mulai pulihnya ekonomi nasional setelah mengalami resesi pada 2020 dan membaiknya iklim usaha dengan adanya implementasi aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja yang kian mempermudah iklim berusaha.
Selain itu, posisi Indonesia juga berada di kawasan Asia Tenggara yang selama pandemi masih menjadi magnet investasi global. Kendati kalah dalam persaingan dengan Vietnam dalam perebutan status sebagai tujuan utama relokasi industri di kawasan, Indonesia masih berada di urutan kedua tujuan investasi global di Asia Tenggara setelah Singapura.
Peningkatan investasi tak hanya terjadi di PMA, tetapi juga di penanaman modal dalam negeri (PMDN) meski pertumbuhannya tak sekuat PMA. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi semester I-2021 mencapai Rp 442,8 triliun, meningkat 10 persen dari periode yang sama pada 2020. PMA menyumbang 51,66 persen dari angka realisasi.
Secara global, arus FDI pada 2020 anjlok 35 persen menjadi 1 triliun dollar AS, terendah sejak 2005. Sementara pada 2021, FDI global diprediksi menciut 5-10 persen dari 2020.
Di satu sisi, positifnya kinerja investasi ini menggambarkan meningkatnya kepercayaan investor serta adanya dampak dari reformasi struktural dan perbaikan iklim investasi yang ditempuh pemerintah beberapa tahun terakhir.
Namun, peningkatan angka realisasi investasi ini belum dibarengi dengan perbaikan kualitas dari investasi itu sendiri. Dilihat dari sebaran wilayahnya, realisasi investasi masih terkonsentrasi di Jawa, yakni 48,5 persen. Kendati ada investasi baru (greenfield), seperti pembangunan pabrik kendaraan listrik dan industri baterai, yang diharapkan bisa jadi lompatan dalam industrialisasi di Indonesia, porsi terbesar investasi, 80-90 persen, selama ini masih dalam bentuk aset properti, seperti perumahan, kawasan industri, perkantoran.
Kinerja positif arus FDI ini diduga merupakan dampak dari mulai pulihnya ekonomi nasional setelah mengalami resesi pada 2020 dan membaiknya iklim usaha.
Sementara itu, investasi di mesin dan peralatan hanya sekitar 10 persen sehingga kurang mendukung upaya peningkatan produktivitas dan kinerja ekspor manufaktur bernilai tambah tinggi, agar bisa lebih bersaing di pasar dunia dan terlibat dalam rantai pasok global. Investasi di luar Jawa juga masih terkonsentrasi di sektor ekstraktif; tambang dan migas.
Di bawah Kementerian Investasi yang sekarang, secara bertahap kita berharap ada terobosan di bidang investasi agar arus investasi yang masuk tak hanya menyerap banyak tenaga kerja, tetapi juga memungkinkan Indonesia melakukan lompatan untuk mengatasi ketertinggalan dan meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang yang lebih tinggi dan berkesinambungan, agar mampu keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah dan menjadi negara maju.