Permasalahan joki publikasi merupakan permasalahan pelik, tidak semata-mata soal pelanggaran etis. Di dalamnya ada persoalan yang lebih elementer, yaitu rendahnya kemampuan dan minat riset.
Oleh
WHINDA YUSTISIA
·4 menit baca
Harian Kompas mengeluarkan liputan investigatif (10/2/2023) terkait kasus sejumlah calon guru besar yang dicurigai terlibat praktik joki karya ilmiah untuk dipublikasikan di jurnal internasional. Sebenarnya ini bukan hal baru, melainkan baru belakangan ini ramai dibahas.
Narasi utama yang muncul adalah soal integritas dosen. Sebagai pendidik, dosen diharapkan memiliki integritas tinggi. Menggunakan joki untuk menulis adalah hal yang merusak integritas tersebut. Respons semacam ini tentu sah-sah saja. Namun, mengaitkan permasalahan ini dengan isu integritas semata adalah pandangan yang sempit, tidak menyeluruh. Lantas, apa sebenarnya akar permasalahan joki karya ilmiah ini?
Akar permasalahan
Akar permasalahan pertama adalah rendahnya kemampuan riset. Permasalahan ini saya amati sejak beberapa tahun yang lalu saat menjalani amanah sebagai managing editor di Jurnal Psikologi Sosial (JPS). Tahun pertama adalah tahun yang berat karena kelangkaan naskah yang layak publikasi.
Dari 50 naskah yang kami terima, hanya 5 persen yang layak masuk proses review oleh pakar di bidangnya. Anda mungkin mengira naskah ini ditulis oleh mahasiswa yang mendapat tugas untuk publikasi sebagai syarat kelulusan. Faktanya bukan, sebagian besar naskah ditulis oleh para dosen.
Setelah menjalani tugas di JPS, saya menyimpulkan ada tiga keterampilan dasar yang tidak dimiliki oleh penulis artikel ilmiah berkualitas buruk. Tingkatan pertama adalah keterbatasan dalam kemampuan menulis.
Keterampilan menulis tentu diajarkan semua jenjang pendidikan, tetapi menulis artikel jurnal adalah hal lain. Perlu latihan dan bimbingan khusus. Pendidikan pascasarjana harusnya memastikan kemampuan ini terbentuk dengan baik, tetapi tampaknya belum banyak program pascasarjana di Indonesia yang bisa memastikan kemampuan ini dilatih dengan baik.
Tingkatan kedua terkait kemampuan bertanya. Pada dasarnya, orang Indonesia memang memiliki keterbatasan dalam kemampuan bertanya. Masalah paling mendasar terkait dengan kemampuan kritis yang masih lemah dan budaya hirarkis yang menjadikan cenderung menerima sesuatu apa adanya.
Mata kuliah Metode Penelitian di tingkat sarjana mengajarkan kemampuan ini. Namun, kemampuan bertanya tentu bukan kemampuan instan yang terbentuk hanya dari mata kuliah tiga SKS. Perlu pelatihan berkelanjutan. Apalagi ini adalah penelitian ilmiah, di mana pertanyaan yang diajukan seharusnya memiliki dasar ilmiah yang kuat.
Kemampuan bertanya tentu bukan kemampuan instan yang terbentuk hanya dari mata kuliah tiga SKS. Perlu pelatihan berkelanjutan.
Tingkatan ketiga adalah kemampuan mendesain penelitian dengan baik. Kemajuan sains saat ini menuntut adanya inovasi ide dan desain penelitian. Dalam psikologi, misalnya, satu dekade yang lalu pengukuran variabel sikap dengan kuesioner masih dianggap bermakna secara teoritis. Saat ini reviewer dan editor jurnal bereputasi bagus seringkali menolak pengukuran semacam ini karena dianggap tidak lagi berkontribusi pada upaya saintifik memahami perilaku manusia.
Tren saat ini adalah pengukuran-pengukuran aktual, misalnya dengan mengukur lama respons, aktivasi otak, atau melihat bagaimana pergerakan kursor di komputer setelah membaca mendapat stimulus tertentu. Inovasi dan kreativitas desain penelitian semacam ini masih minim di Indonesia.
Akar permasalahan kedua, dan mungkin paling mendasar, adalah rendahnya minat riset. Hal ini bisa kita lihat dari motivasi kebanyakan orang memilih profesi dosen. Jika kita lakukan survei kepada dosen-dosen di Indonesia tentang motivasi mereka menjadi dosen, saya memprediksi respons yang banyak muncul adalah: suka mengajar, jam kerja fleksibel, dan merasa mendapat panggilan menjadi seorang guru. Saya memprediksi respons karena tertarik riset akademik adalah respons paling sedikit.
Respons semacam itu menggambarkan bagaimana orang-orang masih mengganggap pekerjaan sebagai dosen semata-mata soal mengajar di kelas. Skema kognitif semacam ini tergambarkan dari bagaimana dosen memiliki lebih banyak jam pengajaran jauh lebih banyak daripada penelitian. Hal ini tentu tidak lepas dari peran jurusan/program juga.
Minat riset yang rendah sebenarnya tidak unik di kalangan dosen. Banyak otoritas di Indonesia juga rendah minat risetnya. Lihat saja bagaimana Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekhnologi berfokus pada keterampilan lulusan perguruan tinggi sehingga dapat langsung dipakai di dunia kerja. Program-program magang di industri digalakkan.
Tidak ada yang salah dengan upaya meningkatkan keterampilan praktis mahasiswa sehingga ”laku” di dunia kerja. Namun, ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita masih berfokus menjadi konsumen pengetahuan, bukan sebagai produsen. Kita lupa bahwa institusi perguruan tinggi yang bagus adalah institusi di mana proses pembelajaran dan penemuan terjadi (learning and discovery).
Lihatlah bagaimana kampus-kampus top dunia memiliki kualitas pengajaran yang baik, juga memiliki dosen yang aktif melakukan penelitian. Sederhananya, bagaimana bisa dosen mengajar topik tertentu tanpa tahu bagaimana perkembangan riset topik di bidang itu saat ini? Untuk terus update dengan perkembangan riset pada topik tertentu, mau tidak mau dosen harus ikut serta dalam riset tersebut.
Menghapus joki
Solusi praktis dari permasalahan ini adalah dengan memperbaiki kriteria seleksi dosen. Dari yang tadinya berfokus kepada aspek mengajar, saatnya sekarang juga mengevaluasi kemampuan riset. Misalnya, apakah kandidat sudah punya riwayat publikasi karya ilmiah atau belum. Kriteria semacam ini umum dilakukan di kampus-kampus di negara Barat.
Misalnya, baru-baru ini saya mendapat kesempatan menjadi perwakilan mahasiswa doktor dalam menyeleksi calon dosen tetap (tenure track) di institusi tempat saya terafiliasi di Amerika Serikat. Dari ratusan kandidat yang mendaftar, enam orang diundang untuk memberikan presentasi peta jalan penelitian mereka (job talk) kepada seluruh elemen di departemen dan kemudian diwawancara oleh pihak terkait.
Seluruh kandidat yang mendaftar memiliki pengalaman mengajar dan sudah memiliki publikasi di jurnal bergengsi. Minimal dua artikel sudah terbit dan beberapa lainnya sedang proses review. Kandidat yang diundang untuk presentasi dan wawancara adalah mereka yang memiliki peta jalan penelitian dan filosofi mengajar yang sejalan dengan visi misi departemen dan universitas. Kandidat ini bukanlah dosen yang sudah lama malang melintang di dunia akademik. Mereka adalah lulusan baru dari program doktoral atau post doc.
Solusi lain adalah memperkuat kapasitas dosen yang telah ada saat ini. Pemerintah sebenarnya sudah memberikan beragam pelatihan untuk meningkatkan kemampuan riset. Namun, program yang ada tidak berkelanjutan. Kemampuan mengajar dan riset perlu pendampingan berkelanjutan dari seorang mentor. Ini yang dialami oleh mahasiswa doktoral di banyak perguruan tinggi bagus di berbagai negara. Pemerintah harus menemukan cara serupa sehingga ide pendampingan berbasis mentor ini dapat dirasakan oleh dosen-dosen yang membutuhkan.
Permasalahan joki publikasi merupakan permasalahan pelik, tidak semata-mata soal pelanggaran etis. Di dalamnya ada persoalan yang lebih elementer: rendahnya kemampuan dan minat riset. Lebih jauh dari itu, hal ini menggambarkan bagaimana paradigma bahwa perguruan tinggi bukanlah konsumen ilmu pengetahuan semata, melainkan juga produsen ilmu pengetahuan, belum terinternalisasi dengan baik.
Whinda Yustisia, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia; Kandidat Doktor Department of Psychology Loyola University Chicago