Pengukuran Kinerja Dosen
Mengukur kinerja dosen berdasarkan jumlah dan peringkat artikel jurnal sangat tak realistis. Hal ini mengingat misi perguruan tinggi adalah Tri Dharma, dan jenis PT serta fokus keahlian dosen bermacam-macam.
Sejauh ini belum ada usulan konkret bagaimana menjembatani jurang antara peraturan dan realitas terkait pengukuran kinerja dosen.
Diskusi di media sosial tentang rencana pemerintah memberlakukan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 20 Tahun 2017 dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 12/E/KPT/2021 hanya mencuatkan keluh kesah dan gerundelan.
Menurut kedua peraturan ini, setiap dosen wajib memiliki publikasi ilmiah berbentuk buku atau artikel jurnal sesuai jabatan fungsional masing-masing. Dosen dengan jabatan guru besar, misalnya, wajib menerbitkan buku dan satu artikel jurnal internasional bereputasi atau tiga artikel jurnal internasional. Mereka dengan jabatan lektor kepala, lektor, dan asisten ahli juga wajib memiliki publikasi karya ilmiah sesuai porsi tertentu.
Dosen yang tidak memenuhi kewajiban publikasi akan terkena sanksi berupa penghentian atau pengurangan tunjangan. Sanksi inilah yang menciptakan keresahan sebab mengancam ”periuk” penghasilan dosen secara langsung.
Artikel ini bertujuan mengulas realitas kinerja publikasi dosen dan tuntutan kinerja yang ditetapkan pemerintah.
Dosen yang tidak memenuhi kewajiban publikasi akan terkena sanksi berupa penghentian atau pengurangan tunjangan.
Kinerja publikasi
Menurut situs Science and Technology Index (Sinta) Direktorat Pendidikan Tinggi, saat ini di Indonesia ada 257.017 dosen. Jumlah ini terdiri dari 7.154 dosen berjabatan guru besar (2,79 persen), 30.319 lektor kepala (11,83 persen), 78.107 lektor (30,49 persen), 71.971 asisten ahli (28.09 persen), dan 69.466 dosen tanpa jabatan fungsional (26,72 persen).
Jika kategori terakhir tak dihitung, jumlah dosen yang akan menjadi sasaran evaluasi kinerja adalah 187.551 orang atau 72,9 persen. Situs yang sama menunjukkan, saat ini di Indonesia ada 7.748 jurnal ilmiah dengan peringkat akreditasi 1 hingga 6 dari semua bidang ilmu. Jurnal-jurnal itu terbit dua hingga tiga kali setiap tahun dan memuat lima hingga 20 judul artikel setiap terbitan.
Jika dianggap setiap jurnal terbit dua kali satu tahun dan setiap terbitan memuat sepuluh judul artikel saja, dalam satu tahun semua jurnal ilmiah di Indonesia menerbitkan 154.960 judul artikel.
Berdasarkan hitungan kasar ini, rerata publikasi nasional adalah 0,6 judul artikel per dosen per tahun. Artinya, setiap tahun hanya enam dari 10 dosen memiliki publikasi jurnal. Proporsi ini belum mencapai batas rasional minimum, yaitu satu dosen satu publikasi per tahun.
Proporsi yang sangat kecil itu masih diperparah oleh sebaran yang tak merata. Dalam satu tahun ada dosen yang menerbitkan hingga tujuh judul artikel, tetapi ada juga yang sama sekali tak menerbitkan artikel. Artinya, 154.960 judul artikel itu belum tentu ditulis oleh 154.960 dosen, bisa kurang dari itu.
Pangkalan data juga menunjukkan saat ini ada 100.000 judul artikel dari Indonesia pada jurnal internasional bereputasi, yang merupakan kinerja wajib bagi guru besar. Namun, 100.000 judul artikel tidak semuanya ditulis oleh guru besar.
Sebagian justru ditulis oleh dosen-dosen muda. Dosen-dosen yang menjadi guru besar sebelum diberlakukannya Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO PAK) 2014 cenderung tidak memiliki publikasi jurnal internasional.
Berdasarkan fakta-fakta itu, mengukur kinerja dosen berdasarkan jumlah dan peringkat artikel jurnal adalah sangat tak realistis. Masih ada permasalahan yang lebih fundamental berupa rasio dan sebaran penulis. Karena itu, pemberlakuan dua peraturan di atas secara pukul rata sebaiknya dipikirkan ulang. Jika banyak dosen terkena sanksi sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya, pemerintah sendiri yang rugi.
Baca juga : Arah Baru Publikasi Ilmiah
Baru
Di sisi lain muncul pertanyaan, mengapa publikasi karya ilmiah dosen masih sangat rendah meskipun ada kewajiban publikasi dan meskipun program pendampingan penulisan sering dilaksanakan? Jawaban utamanya, karena dosen-dosen sudah sangat lama tidak berada dalam lingkungan budaya menerbitkan karya ilmiah, khususnya artikel jurnal.
Pada masa lalu, kerja riset hanya dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan penelitian dan hal itu cukup untuk mengantar seorang dosen ke jenjang guru besar. ”Kenyamanan tidak wajib publikasi” itu kian mengakar ketika dosen dibebani tugas administrasi.
Gagasan pentingnya publikasi jurnal berkembang seiring diluncurkannya portal referensi ilmiah Garba Rujukan Digital (Garuda) tahun 2009 (http: //lipi.go.id/berita/dikti-luncurkan-portal-garuda/3211).
Gagasan itu melahirkan tuntutan publikasi jurnal, awalnya dalam PO PAK 2014 yang cukup longgar. Namun, dengan adanya Permen Ristekdikti No 20/2017, PO PAK 2019, Keputusan Dirjen Dikti No 12/E/KPT/2021, dan Pedoman Operasional Beban Kinerja Dosen (PO BKD) 2021, ketentuan publikasi jurnal menjadi wajib.
Runutan ini menunjukkan bahwa publikasi ilmiah, khususnya jurnal, merupakan budaya baru di Indonesia. Penguatan budaya baru masih memerlukan waktu, mungkin hingga satu generasi ke depan.
Karena itu, untuk saat ini, pengukuran kinerja dosen sebaiknya memakai pendekatan yang tidak sekadar berbasis peraturan, tetapi pemahaman budaya akademik dosen.
Dosen yang berhasil keluar dari ”kematian akademik” harus dihargai lebih. Sebagai contoh, seorang kolega dengan jabatan fungsional lektor kepala sudah 20 tahun tak pernah menulis, tetapi akhirnya berhasil menerbitkan artikel bunga rampai (proceeding) seminar di Purworejo, Jawa Tengah. Meskipun artikel itu sederhana dan seminarnya bersifat lokal, karya yang lahir dari ”kematian akademik” seperti ini menunjukkan niat untuk maju yang ”nilainya” bisa melebihi artikel jurnal Q1.
Di samping itu, dosen-dosen yang menjadi guru besar sebelum diberlakukannya PO PAK 2014 seharusnya cukup menunjukkan bukti kinerja berupa buku, tidak perlu artikel jurnal. Mereka lebih terbiasa dengan penulisan buku daripada jurnal, dan sudah terlalu senior untuk mengikuti proses penerbitan artikel jurnal yang ketat.
Terakhir, jika diingat bahwa misi perguruan tinggi di Indonesia adalah Tri Dharma, dan jenis perguruan tinggi serta fokus keahlian dosen bermacam-macam, apakah ketentuan yang mewajibkan publikasi jurnal sebagai satu-satunya pilihan itu sesuai hakikat pendidikan tinggi Indonesia?
Agus Suwignyo, Pedagog cum Sejarawan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta