Defisit Modal Sosial dalam ”Food Estate
Ada persoalan struktural dan tata kelola yang menghambat tujuan proyek lumbung pangan. Pengelola perlu melakukan pengembangan modal sosial petani terlebih dahulu, termasuk penyelesaian klaim hak-hak atas tanah dan hutan.

Ilustrasi
Pemerintah Indonesia telah dan sedang mencanangkan program ketahanan pangan nasional yang disebut food estate atau lumbung pangan.
Seperti problem dunia dalam menyediakan pangan saat ini, meskipun teknologi mengenai pengembangan pangan terus berkembang, program ini tidak bisa mengesampingkan kebutuhan akan lahan secara luas.
Praktik pertanian skala luas selalu bertumpu pada kebudayaan petani serta berbagai bentuk aksi kolektif ataupun modal sosial yang melekatkannya.
Menanam padi sudah dilakukan sejak 3.000 tahun sebelum Masehi. Bukti penanaman padi ditemukan di Sulawesi selama ribuan tahun yang lalu, dan beras telah menjadi makanan pokok kita. Demikian Jean Gelman Taylor dalam bukunya, Indonesia: Peoples and Histories.
Selain itu, bukan hanya menanam padi, masyarakat Indonesia di masa lampau juga telah menanam kelapa, aren, umbi-umbian, talas, bawang merah, hingga buah-buahan tropis. Hal itu berarti, belajar dan mempraktikkan pertanian bukan hanya belajar tentang ilmu yang dikembangkan menjadi proyek pertanian, melainkan juga belajar kehidupan petani dan lingkungannya.
Baca juga : Proyek Lumbung Pangan Dinilai Abaikan Hak Pangan dan Gizi Warga
Jika kita melihat petani di sawah, seakan tanah dan dirinya sudah jadi satu kesatuan. Mulai pagi hingga sore hari, petani sibuk dengan tanah dan tanamannya agar hasil panen bisa maksimal. Secara sosial, mereka terdiri atas petani dengan posisi berbeda, sebagai pemilik lahan, penyewa lahan, penggarap, ataupun buruh tani. Mereka punya hubungan kekerabatan, keterkaitan usaha, ataupun buruh dan majikan yang membentuk modal sosial relatif permanen.
Fakta ini tak bisa direduksi menjadi kegiatan untuk memproduksi pangan semata karena secara esensial bertani adalah merawat kehidupan dengan cara mengolah tanah dan memuliakan keberagaman. Mereka bekerja menjaga ekosistem sehingga lahan pertanian relatif bisa tetap subur. Terdapat kebudayaan yang menyelaraskan alam melalui rasa, karsa, dan karya dalam bercocok tanam petani kultural itu. Kebudayaan yang diciptakan dan dihidupkan petani ialah kebudayaan berbasis mengolah tanah (Joko Yuliyanto, 2021).
Dalam bahasa Jawa, kepribadian petani itu disebut dengan istilah uthek (terus bekerja), ulet (pantang menyerah), dan ubet (menemukan solusi).

Petani mempunyai kebiasaan bekerja sejak sebelum fajar hingga menjelang matahari tenggelam. Jika terdapat hama tikus, mereka bersama-sama bersedia untuk turun ke sawah di malam hari untuk menjaga dan mengusirnya. Kegiatan itu disebut ulet karena selalu berusaha semaksimal mungkin agar mendapatkan hasil panen melimpah. Juga disebut ubet karena dapat menghadapi kondisi perubahan iklim ataupun hama yang dapat ditafsirkan dan menjadi pengetahuan lokal secara turun-temurun.
Kelemahan ”food estate”
Pembangunan lumbung pangan didefinisikan sebagai usaha pangan skala luas; dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lain untuk menghasilkan produk pangan, guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan, di suatu kawasan hutan.
Dengan definisi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 7/2021 itu, program lumbung pangan tampak diasumsikan dapat berjalan berdasarkan hubungan investasi, teknologi, modal, tenaga kerja, dan pasar, sebagaimana industri manufaktur pada umumnya.
Semua faktor produksi yang diadakan itu dianggap tidak perlu mempunyai hubungan historis dengan subyek petani yang akan mengerjakannya. Artinya, program lumbung pangan itu mencoba melepaskan diri dari pertanian kultural, dengan merangkul pendekatan proyek untuk membangun sarana dan prasarananya. Dengan cara seperti itu, jika kita belajar dari pelaksanaan lumbung pangan yang telah berjalan, kita bisa memetik pengetahuan berikut ini.
Semua faktor produksi yang diadakan itu dianggap tidak perlu mempunyai hubungan historis dengan subyek petani yang akan mengerjakannya.
Pertama, hasil yang rendah. Di Merauke, Papua, misalnya, dari alokasi luas 1,23 juta hektar yang dibuka pada 2011, yang masih berjalan tinggal 400 hektar oleh PT Parama Pangan Papua yang bermitra dengan petani lokal. Di Ketapang, Kalimantan Barat, pada 2013, dari potensi lahan 886.959 hektar, pemerintah kabupaten sanggup mengusahakan 100.000 hektar. Setelah dua tahun berjalan, lumbung pangan yang bisa diolah tinggal 104 hektar.
Di Bulungan, Kalimantan Timur, pada 2011, dari lumbung pangan seluas 298.221 hektar, lahan yang menjadi sawah hanya 1.024 hektar, dan yang menghasilkan hanya 5 hektar. Untuk proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah pada 1996, dari luas 1.457.100 hektar, ada sekitar 48.000 hektar yang arealnya telah dibuka.
Kedua, hilangnya posisi subyek. Dari beberapa observasi, hasil lumbung pangan yang rendah akibat pengelola proyek tidak mendudukkan masyarakat setempat sebagai subyek.
Orientasi proyek pada produksi menyebabkan dianutnya ukuran-ukuran teknis saja sebagai dasar menentukan keberhasilan, seperti luas lumbung pangan, jumlah investasi, modal kerja, dan sarana produksi. Akibatnya, dalam pelaksanaan pembangunan tidak disesuaikan dengan budaya pertanian ataupun karakter ekosistem setempat.
Praktik menghilangkan subyek dalam proyek itu sekaligus menghilangkan modal sosial, kearifan lokal, dan nilai-nilai fundamental pertanian kultural. Dalam praktiknya, ketika dalih modernisasi pertanian itu dicanangkan dalam lumbung pangan, terbukti tak ada faktor kunci yang dapat mengganti kepribadian pertanian kultural itu.

Hunian warga di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (10/3/2020). Perkampungan yang makin terdesak ke pinggiran ini dihuni oleh Suku Malind Anim. Kampung Zanegi menjadi salah satu kampung yang terdampak pembangunan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Menghilangkan posisi subyek juga dijalankan dengan mengabaikan sumber daya alam (SDA) yang menjadi andalan sumber pangan masyarakat lokal. Untuk kasus Marind-Anim Merauke, Papua, misalnya, konversi hutan yang dianggap sebagai sumber daya tak produktif, menjadi lumbung pangan, telah memicu pergeseran pola pangan yang menyebabkan masalah gizi dan kesehatan masyarakat setempat (Kompas, 13/12/2022).
Ketiga, persoalan pendekatan proyek. Ketika lumbung pangan dianggap sebagai barang yang dapat disiapkan, pendekatan administrasi lebih mengemuka daripada pendekatan fungsional yang bergantung pada kondisi di lapangan. Hal ini sekaligus menjadi kelemahan utama pembangunan lumbung pangan, bahwa bangunan dan barang-barang fisik itu dianggap hasil. Padahal, pertanian itu dapat berdiri tegak dalam jangka panjang akibat ditopang oleh modal sosial.
Untuk kasus di Papua, yaitu di Kampung Bokem, Distrik Merauke, sebagian besar lahan bekas cetak sawah pada 2018 terbengkalai. Demikian pula di kampung Marind Anim, Distrik Animba, untuk cetak sawah pada 2010, dinyatakan gagal dan berubah menjadi alang-alang (Kompas, 14/12/2022). Hal seperti itu umumnya disebabkan orientasinya bukan hasil akhir, melainkan terbatas pada pengadaan dan dianggap selesai.
Fakta itu bertolak belakang, misalnya, dalam pelaksanaan perhutanan sosial, yang mendahulukan penguatan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Faktor kunci yang dibutuhkan di sini ialah pendamping masyarakat untuk penguatan modal sosial sebagai langkah awal agar mampu mengelola ragam potensi SDA yang dihadapi. Dari 103 kelompok usaha perhutanan sosial yang pernah disurvei, 96 persen menyatakan adanya pendamping sebagai faktor penentu keberhasilan (KataData, 2020).
Faktor kunci yang dibutuhkan di sini ialah pendamping masyarakat untuk penguatan modal sosial sebagai langkah awal agar mampu mengelola ragam potensi SDA yang dihadapi.
Selain kelemahan itu, proyek pengadaan barang dan konstruksi juga rentan terjadi korupsi, penyuapan, ataupun penipuan. Kajian yang saat ini masih sedang berjalan mengenai data dasar korupsi pertanian oleh IPB dan KPK menunjukkan korupsi pertanian paling banyak dilakukan pada kegiatan pengadaan dan pembangunan infrastruktur.
Terdapat lima tahap dalam pengadaan yang rentan korupsi, yaitu dalam perencanaan anggaran, persiapan pengadaan, pelaksanaan pengadaan, serah terima pekerjaan dan pembayaran, serta pengawasan dan pertanggungjawaban.
Sistem pengadaan secara elektronik juga hanya membatasi pertemuan pejabat publik dengan pihak ketiga dalam proses teknokrasi pengadaan. Di luar itu, pejabat publik dan pihak ketiga pada prinsipnya tak bisa dihalangi untuk bertemu dan buat kesepakatan apa pun.
Baca juga :Lumbung Pangan Berkelanjutan
Problem struktural dan tata kelola
Tiga problem lumbung pangan yang telah terjadi itu menunjukkan ada persoalan struktural dan tata kelola yang menghambat tujuan proyek. Alih-alih bisa menciptakan ketahanan pangan, proyek itu justru dapat menciptakan peluang kegagalan ataupun terjadinya korupsi. Untuk itu, agar program ini sesuai tujuan, pengelolanya perlu melakukan pengembangan modal sosial petani terlebih dahulu, termasuk penyelesaian klaim hak-hak atas tanah dan kawasan hutan, sebelum proyek berjalan.
Ini karena petanilah subyek utama pembangunan lumbung pangan. Kesejahteraan petani seharusnya jadi fondasi bagi keberlanjutan pertanian dalam menopang produksi pangan nasional.
Hariadi Kartodihardjo Guru Besar pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan dan Fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB University

Hariadi Kartodihardjo