Dari perspektif DPD, rencana pembangunan lumbung pangan berkelanjutan harus kembali pada terwakilinya kepentingan daerah dalam agenda ini. Untuk menghindari simpang siur, perlu segera ada payung hukum dan sosialisasi.
Oleh
Agustin Teras Narang
·4 menit baca
Lumbung Pangan Berkelanjutan atau Sustainable Food Estate. Istilah ini saya usulkan kepada Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong sebagai nama untuk lumbung pangan yang digagas pemerintah saat ini.
Keberlanjutan adalah kunci dalam agenda besar untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Terlebih di tengah bayang-bayang krisis pangan akibat dampak pandemi Covid-19.
Istilah tersebut diterima dan disepakati sebagai istilah penting oleh Kementerian LHK dalam diskusi yang digelar secara virtual, Jumat (17/7/2020), atas inisiatif Wakil Menteri LHK.
Keberlanjutan perlu ditekankan dalam rencana pengembangan lumbung pangan ini. Selain karena memang kita berharap setiap program pemerintah berkelanjutan dan berdampak luas bagi kesejahteraan rakyat, kita di Kalimantan Tengah (Kalteng) juga memiliki pengalaman pahit dalam program sejenis. Tidak hanya tak berlanjut sejak era Soeharto, tetapi juga ada kesalahan besar dalam penataan lahan gambut yang berdampak pada kita hingga hari ini.
Wakil Menteri LHK sebagai putra daerah mengungkapkan, rencana pengembangan lumbung pangan berkelanjutan ini merupakan sebuah reposisi atau penataan kembali serta revitalisasi dan rehabilitasi lahan eks pengembangan lahan gambut (PLG) di Kalteng.
Lahan eks PLG seluas 1,4 juta hektar terdiri atas beberapa wilayah yang memiliki kondisi geologis berbeda. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan. Perlu juga upaya memastikan lahan-lahan sawah yang tak produktif dikelola kembali. Lahan dengan tanah aluvial yang bisa diberdayakan ditingkatkan kembali fungsinya. Untuk lahan gambut sendiri akan dipulihkan agar ekosistemnya bisa kembali basah serta dapat dikelola dengan skema paludikultur.
Reposisi dan revitalisasi ini penting dengan dukungan teknologi tepat guna agar upaya pemulihan lahan gambut bisa dilakukan sebagaimana telah dibuktikan di beberapa lokasi oleh Kementerian LHK serta dikelola seiring sejalan untuk menjaga dimensi ekologisnya.
Penataan ini diharapkan bisa jadi model percontohan pemulihan lahan gambut sekaligus destinasi agro tourism dan eco tourism di wilayah Kalteng.
Konsep pemulihan dan penataan lahan gambut bisa berjalan beriringan dengan pengembangan lumbung pangan berkelanjutan jika pemerintah serius menangani dengan semangat keberlanjutan, dukungan pendanaan, serta teknologi dan SDM unggul. Pengalaman kegagalan sejenis pada 2008 salah satunya dipicu keterbatasan dana dan rendahnya komitmen kementerian terkait.
Masuknya peran vital Kementerian Pertahanan yang telah menghitung berbagai kebutuhan dalam rencana ini (”Food Estate”, Prabowo dan Sekuritisasi (Kompas, 16/7/2020) mengindikasikan adanya ancaman serius di ketahanan pangan yang mesti diantisipasi.
Payung sosial dan hukum
Banyak isu yang mesti dikaji secara cermat dalam rencana pengembangan lumbung pangan berkelanjutan ini. Namun, secara umum, prinsipnya sama dengan arah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan 2015 di markas PBB.
Bahwa rencana ini wajib mengedepankan upaya mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan melindungi lingkungan, tidak hanya jadi kepentingan pemburu rente dan menguntungkan investor luar serta abai pada aspek ekologis.
Tiga hal penting yang harus dilakukan pemerintah adalah menetapkan kedudukan hukum untuk agenda ini, membangun pendekatan partisipatif, dan penyiapan masterplan. Tujuannya agar sinergitas dan aspek regulasinya dapat memastikan berlangsungnya agenda ini dengan baik.
Kedudukan hukum atas rencana ini diharapkan dapat segera terbit agar masyarakat juga segera mengetahui. Kementerian terkait yang selama ini kerap turun ke Kalteng juga harus memiliki konsep yang sama dengan kementerian dan lembaga lain. Payung hukum diperlukan untuk menyelaraskan dengan kepentingan restorasi gambut.
Payung hukum diperlukan untuk menyelaraskan dengan kepentingan restorasi gambut.
Kemudian, perlu penataan peran serta kewenangan dari berbagai pihak, termasuk siapa yang akan memimpin agenda ini serta peran kementerian terkait dan pemda. Hal ini penting agar tak ada kegagalan dalam koordinasi seperti sebelumnya.
Selanjutnya, perlu ada upaya perancangan konsultasi publik yang partisipatif agar tak ada satu pun pihak yang ditinggalkan. Jangan sampai agenda ini menciptakan minoritas baru. Pendekatan partisipatif dari publik perlu dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari prasangka sosial dan memantapkan kesatuan persepsi masyarakat.
Masterplan perlu segera disiapkan sebagai landasan komunikasi publik agar publik dapat mengawal, mengkritisi, dan memberikan pandangan yang berguna bagi pematangan konsep keberlanjutan dalam program lumbung pangan berkelanjutan ini.
Semua aspek, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik, perlu dikaji dan dirumuskan dalam masterplan. Termasuk bagaimana langkah pertama menggarap 165.000 hektar tahap pertama untuk lumbung pangan, dukungan infrastruktur logistik dari hulu ke hilir, serta pelibatan tenaga kerja lokal.
Dari perspektif DPD, rencana pembangunan lumbung pangan berkelanjutan harus kembali pada terwakilinya kepentingan daerah dalam agenda ini. Untuk menghindari simpang siur, perlu segera ada payung hukum dan sosialisasi publik yang intens. Terlebih publik masih memiliki persepsi bahwa beberapa proyek terdahulu gagal karena krisis. Karena itu, perlu dijelaskan mengapa justru dalam krisis Covid-19 pemerintah berani mendorongnya kembali.
Publik berhak menguji rencana proyek yang disebut akan terintegrasi dengan pengembangan kewilayahan, termasuk terintegrasi dengan rencana pembangunan ibu kota baru negara yang dibangun di Kalimantan.
Agustin Teras Narang,Ketua Komite I DPD dan Gubernur Kalimantan Tengah Periode 2005-2015)