Proyek Lumbung Pangan Dinilai Abaikan Hak Pangan dan Gizi Warga
Proyek Food Estate sudah berjalan lebih kurang empat tahun dengan komoditas padi dan singkong di Kalteng. Namun, banyak hal dilupakan dalam perencanaan, bahkan pelaksanaan, yakni hak atas pangan dan gizi masyarakat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Salah satu lokasi penanaman singkong di kawasan Food Estate di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (10/11/2022). Kawasan ini sebelum tahun 2019 merupakan hutan hujan tropis.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Penyelenggaraan program Lumbung Pangan atau yang dikenal dengan Food Estate dinilai melupakan hak atas pangan dan gizi masyarakat karena minimnya keterlibatan masyarakat. Food Estate dinilai hanya sebatas memenuhi keinginan pasar.
Hal itu tercantum dalam laporan Foodfirst Information and Action Network (FIAN) Indonesia dengan tema ”Memantau Hak Atas Pangan dan Gizi: Seputar Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah”. Dalam laporan itu, para peneliti memantau hak pangan dan gizi di beberapa lokasi Food Estate diselenggarakan.
Pemantauan pemenuhan hak atas pangan dan gizi tersebut dilakukan selama lebih kurang enam bulan. Pemantauan dilakukan bersama lembaga lainnya, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah dan Borneo Institute (BIT).
Anggota staf Riset dan Advokasi FIAN Indonesia, Gusti NA Shabia, menjelaskan, dalam pemantauan tersebut terdapat dua tema besar yang digunakan sebagai alat pantau, yakni sistem pangan yang sehat berkelanjutan dan hak-hak perempuan. Namun, terdapat tema lain yang juga diperhatikan, seperti hak atas lingkungan hidup, demokrasi dan akuntabilitas, hak pekerja, kedaulatan pangan, juga kontrol terhadap sumber daya alam.
Food Estate, lanjut Shabia, merupakan upaya pemerintah dalam menghadapi krisis pangan yang dinilai bakal terjadi akibat pandemi Covid-19. Sayangnya, solusi yang dihadirkan berbasis pasar untuk kepentingan korporasi dan sekadar mencari produktivitas satu komoditas saja.
”Proyek itu mencabut sistem pangan lokal yang ada di masyarakat dan mengubahnya dengan sistem pangan global untuk menjawab keinginan pasar,” kata Shabia, di Palangkaraya, Rabu (15/2/2023).
Menurut Shabia, sistem pangan lokal sudah mampu memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat. Kebiasaan masyarakat berladang, seperti masyarakat Dayak di Kalteng, sudah sangat beragam dengan kekayaan nutrisi dan gizi yang terkandung dalam pangan yang mereka konsumsi.
Fakta gizi dari berbagai kajian mendukung pengetahuan lokal. Misalnya, kajian Daisy Irawan dan tim dalam di jurnal Tropics (2016) menyebut, kandungan gizi kelakai di antaranya zat besi atau Fe (41,53 ppm) dan beta karoten (66,99 ppm). Kelakai merupakan sayuran favorit masyarakat Dayak, termasuk di desa-desa penerima program Food Estate.
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Presiden Joko Widodo melihat peta lokasi program Food Estate di Desa Bentuk Jaya, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Desa tersebut berada di kawasan bekas proyek PLG tahun 1995 yang menjadi langganan kebakaran.
Sayangnya, ladang-ladang itu kini berubah menjadi sawah-sawah. Data yang dikumpulkan Kompas, setidaknya 16.000 hektar ladang masyarakat dikonversi menjadi sawah untuk ditanami padi yang benihnya diberikan oleh pemerintah. Ladang-ladang yang sebelumnya ditanami berbagai jenis tanaman kini hanya ditanami padi dengan sistem persawahan yang baru dipelajari masyarakat Dayak yang ikut dalam program Food Estate.
”Masyarakat memiliki sistem pangan yang sangat beragam, tetapi disederhanakan dengan sistem monokultur karena tujuannya meningkatkan produktivitas bukan pemenuhan hak atas gizi dan nutrisi,” tutur Shabia.
Hal tersebut, lanjut Shabia, bisa berdampak pada kesehatan dan berbagai persoalan sosial. Beberapa kasus yang ditemukan FIAN di berbagai lokasi proyek Lumbung Pangan tersebut adalah konflik lahan. Seperti beberapa warga di Mantangai Hulu yang tanpa sepengetahuan mereka kebun yang sebelumnya ditanami karet dan sawit tiba-tiba digusur dan berubah menjadi sawah.
Proyek itu mencabut sistem pangan lokal yang ada di masyarakat dan mengubahnya dengan sistem pangan global untuk menjawab keinginan pasar.
Sejalan dengan FIAN, Walhi Kalimantan Tengah melalui Manajer Keorganisasian, Pendidikan, dan Gender Tri Oktaviani mengungkapkan, proyek lumbung pangan itu juga memicu krisis iklim karena mengonversi hutan menjadi kebun. Hal itu terlihat pada program singkong di Kabupaten Gunung Mas yang mengubah hutan seluas lebih kurang 600 hektar menjadi kebun singkong.
”Dalam perencanaannya minim partisipasi publik sehingga pengetahuan lokal tidak dipakai. Pembukaan lahan hanya akan berdampak pada penurunan ekosistem lingkungan hidup,” kata Ani.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih dari Dinas Tanaman Pangan, Pertanian, dan Peternakan Provinsi Kalteng Baini mengungkapkan, program Food Estate tidak hanya menanam padi atau bergantung pada komoditas. Ia menekankan, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa tanaman hortikultura lain, seperti jeruk, kelapa, bahkan pemenuhan protein lain, seperti ikan dan itik.
”Untuk lahan, juga yang digunakan adalah lahan bekas proyek Gambut Sejuta Hektar atau eks PLG dulu, diintensifikasi agar hasilnya atau produktivitasnya meningkat,” ujar Baini.
Baini menjelaskan, pembukaan lahan hanya terjadi pada komoditas singkong di Kabupaten Gunung Mas yang sebetulnya bukan bagian dari Food Estate. ”Singkong itu sebenarnya bukan Food Estate, program lain,” katanya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Singkong hasil panen yang telah dikupas dan siap dikirim kepada pengepul untuk bahan baku makanan di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (25/2/2019).
Ketua Komisi II DPRD Provinsi Kalteng yang membidangi pertanian dan ketahanan pangan, Rasyid, mengungkapkan, pihaknya belum lama ini melakukan kunjungan kerja ke beberapa lokasi Food Estate. Menurut dia, beberapa lokasi memang terkesan terbengkalai karena kendala anggaran yang belum dikucurkan dari Kementerian Keuangan.
”Kami ke lokasi memang terlihat belum semua ditanami, ada yang sudah ditanami singkong, tetapi kecil-kecil. Setelah ditelusuri, proyek singkong ini memang bukan untuk dikonsumsi kita, melainkan hanya untuk diambil etanolnya saja,” kata Rasyid.
Rasyid menjelaskan, pihaknya saat ini sedang menyusun rancangan peraturan daerah untuk melindungi petani, khususnya soal lahan. Ia berharap, dengan adanya perda tersebut, bisa membantu petani dan melindungi petani, termasuk menjadi solusi atas persoalan lahan.