Martabat Hakim dan Integritas Putusan
Majelis Kehormatan MK baru saja dibentuk terkait Perubahan Ketiga atas UU No 24/2003. Sejauh mana mekanisme itu mampu menegakkan ”kehormatan dan keluhuran martabat hakim” dan sekaligus memulihkan kepercayaan publik?
I believe in integrity. Dogs have it. Humans are sometimes lacking it.
Cesar Milan
Dunia peradilan Indonesia terus dikejutkan oleh pembusukan-pembusukan. Kali ini, dugaan mengubah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pencopotan Hakim Aswanto di tengah masa jabatannya (Kompas, 27/1/2023). Putusan dimaksud adalah perkara Nomor 103/ PUU-XX/2022 tentang uji materi Pasal 87 Huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK.
Putusan yang dibacakan Hakim Saldi Isra itu menegaskan, ”Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 Ayat (2) UU MK….”
Masalahnya, pada salinan putusan dan risalah persidangannya tertulis: ”Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena… (dan seterusnya)”. Frasa dengan demikian yang diubah menjadi ke depan jelas bukan typo (salah tik). Ia lebih merupakan tindak kesengajaan dengan niat.
Baca juga: Mendadak, DPR Ganti Hakim MK Aswanto dengan Sekjen MK Guntur Hamzah
Pasalnya, perubahan tersebut memiliki implikasi hukum yang bertolak belakang. Frasa yang dibacakan Saldi Isra itu menegaskan kekeliruan hukum pencopotan Aswanto dari jabatan hakim konstitusi di tengah jalan, sementara pada frasa putusan tertulis, justru sebaliknya, ada pembenaran.
Bukankah peristiwa mengubah substansi putusan ini menjatuhkan martabat hakim dan pula meruntuhkan integritas putusan? Bukankah ini justru menebalkan ketidakpercayaan publik untuk mendapatkan keadilannya?
Penyelundupan dua kata
Memaksakan pergantian Aswanto dengan Guntur Hamzah oleh kuasa parlemen merupakan kisah campur tangan politik, yang tidak saja bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, tetapi pula lebih mendasar, yakni merobohkan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Pencopotan Aswanto yang dianggap membatalkan banyak produk hukum DPR sehingga dinilai tidak berkomitmen terhadap institusi pengusungnya adalah alasan semata politik kekuasaan.
Parlemen tidak lebih memperlakukan MK seperti ”barang dagangan”, sekadar melayani kebutuhan transaksional. Ini yang dituliskan sebelumnya sebagai ”Mahkamah Kartel” (Kompas, 12/12/2022). Masalahnya, kewenangan parlemen digunakan dengan sengaja secara tidak tepat, bahkan bertentangan.
Praktik ini yang disebut sebagai illegality dan ugal-ugalan dalam konteks otokratisme (Corrales 2015; Scheppele 2018). Sementara, kini ditambah dengan temuan indikasi dugaan mengubah substansi putusan MK yang jelas akan merusak integritas putusan itu sendiri. Mengubah substansi putusan dengan mengutak-atik ”dua kata” inilah yang disebut penyelundupan hukum.
Kisah penyelundupan hukum kerap terjadi, baik dalam bentuk mengubah, menambah, maupun menghilangkan kata-kata formulasinya. Penghilangan ”ayat tembakau” dalam draf UU Kesehatan (2012) dan ketidakjelasan draf final dalam pengesahan RUU Omnibus Cipta Kerja (UU No 11 Tahun 2020) adalah contohnya.
Penyelundupan hukum memiliki dua elemen utama, yakni elemen memanipulasi dan elemen tujuan untuk mendapatkan akibat hukum yang berbeda.
Penyelundupan hukum memiliki dua elemen utama, yakni elemen memanipulasi dan elemen tujuan untuk mendapatkan akibat hukum yang berbeda. Keduanya dilengkapi dengan unsur niat atau kesengajaan. Itu sebabnya penyelundupan hukum merupakan perbuatan tindak pidana, baik terkait ”pemalsuan dokumen” maupun atau ”menghilangkan atau mengubah data otentik”.
Pengadil etik
Mata publik kini tertuju ke Majelis Kehormatan MK, yang baru dibentuk 30 Januari 2023 berdasarkan Pasal 27A Ayat (2) UU No 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK.
Unsurnya tiga, yakni hakim konstitusi, anggota Komisi Yudisial, dan akademisi hukum. Sayangnya, representasi anggota Komisi Yudisial dihilangkan dari Majelis Kehormatan MK sebagaimana Putusan MK No 56/PUU-XVII/2020.
Sejauh mana mekanisme itu mampu menegakkan ”kehormatan dan keluhuran martabat hakim” dan sekaligus memulihkan kepercayaan publik?
Setidaknya tiga catatan untuk mengujinya. Pertama, ”pengadil etik” MK ini harus mempertimbangkan kekuatan putusannya untuk menggerakkan prakarsa-prakarsa yang mendorong transparansi, mengedepankan integritas, dan meningkatkan kepercayaan publik. Ini artinya berdampak pada upaya menjaga independensi kekuasaan kehakiman.
Kedua, publik sangat berharap hukuman setimpal atas manipulasi putusan MK. Apalagi, jika pelaku adalah hakim, perlu sanksi berat, sesuai Pasal 23 Ayat (2) Huruf h UU No 7 Tahun 2020, ”Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi”.
”Pengadil etik” MK tak boleh mengulangi kekeliruan yang dibuat lima tahun lalu dalam pemberian sanksi putusan Dewan Etik MK terhadap kasus katebelece Arief Hidayat, yang lemah dan jauh dari harapan publik. Etika hakim dilanggar berulang kali. Itu sebabnya 54 guru besar mendesak Arief mundur dari MK. Sayang, Dewan Etik gagal memberi pembelajaran keteladanan martabat hakim (Kompas, 9/2/2018).
Ketiga, seluruh majelis hakim konstitusi berkewajiban dan berani mengungkapkan fakta sesungguhnya. Tak perlu ada keraguan untuk meneguhkan moral kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Majelis kehormatan pun harus mampu menjaga untuk tidak konflik kepentingan. Kalau tidak, hakim dan majelis kehormatan akan kehilangan sumber legitimasi moralnya karena akan berpengaruh bagi bangunan kepercayaan publik terhadap MK.
Refleksi sebagai pengakhir adalah bahwa krisis keteladanan yang melanda republik ini haruslah dijawab dengan menghadirkan kisah-kisah istimewa nan berani soal integritas, baik dalam pendidikan maupun di ruang publik. Ancaman sebesar apa pun, apakah itu badai intervensi ataupun politisasi kekuasaan kehakiman belakangan, akan terbentengi dengan kesetiaan menjaga etika dan keluhuran martabat hakim.
Ancaman sebesar apa pun, apakah itu badai intervensi ataupun politisasi kekuasaan kehakiman belakangan, akan terbentengi dengan kesetiaan menjaga etika dan keluhuran martabat hakim.
Di titik ini, kurikulum pendidikan hukum perlu ditinjau kembali kebermaknaannya dalam pembelajaran etika (profesi) hukum. Ia bukan diajarkan sebatas norma, melainkan sebagai filsafat pemikiran kritis dan mendasar tentang moral.
Bukan pula ajaran satu dua mata kuliah, melainkan menyeluruh dan mengintegrasikannya dalam pembelajaran hukum apa pun. Dengan demikian, sarjana-sarjana yang dihasilkan menjadi manusia-manusia yang tetap tangguh mengalirkan nilai etis dan menjaga nuraninya.
Herlambang P Wiratraman,Sekjen Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM