Kosakata suatu bahasa diperoleh, antara lain, melalui asosiasi manusia terhadap benda atau fenomena alam yang dilihatnya. Asosiasi tersebut turut memperkaya perbendaharaan kata suatu bahasa.
Oleh
Nur Adji
·2 menit baca
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa badai yang mengandung petir, berputar-putar, dan memorakporandakan benda yang dikenainya, di Amerika, disebut ”(angin) tornado”. Untuk skala yang lebih kecil (misalnya terkait skala kerusakannya), di Indonesia, disebut ”angin puting beliung”.
Ada yang menyebut bahwa tornado berasal dari bahasa Spanyol, tronada, yang berarti ’badai petir’. Disebut tornado mungkin karena badai itu mengandung petir, bergemuruh, dan berputar-putar, seperti terdapat pada kata tronada dan tornar, yang menurut sebuah sumber merupakan gabungan kata yang membentuk kata tornado.
Di Indonesia, paling tidak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tornado diartikan sebagai angin berolak (berpusar) berbentuk spiral, disertai turunnya gumpalan awan yang berbentuk corong dan dapat menimbulkan kerusakan. Jika melihat penjelasan ini, tornado dimaknai sesuai dengan asosiasi manusia terhadap bentuk fenomena alam yang dahsyat itu.
Kemunculan kata dalam sebuah bahasa dapat terjadi karena beberapa hal. Ada yang diperoleh dengan menyerap dari bahasa asing (capable—kapabel), ada yang merupakan hasil penggabungan dari kata yang sudah ada (motel: motor hotel), ada pula yang merupakan tiruan bunyi atau onomatope (dor—dari bunyi pistol). Satu lagi yang dapat menjadi sumber kata adalah asosiasi (pada benda atau fenomena yang terjadi di sekitar kita). Angin puting beliung adalah salah satu contohnya.
SHARON UNTUK KOMPAS
Pohon-pohon tumbang di Tempat Pemakaman Umum Parung Panjang, Kelurahan Pamoyanan, Bogor Selatan, akibat angin puting beliung, Jumat (7/12/2018).
KBBI memaknai angin puting beliung dengan sangat sederhana. Kamus besar ini memaknai angin puting beliung sebagai badai dengan kekuatan sangat tinggi dan berputar pada porosnya. Nama lain dari badai ini adalah angin puyuh.
Kalau dipecah-pecah, puting beliung terdiri atas dua kata: puting dan beliung. Puting, menurut Poerwadarminta, adalah bagian pangkal pisau (lading dan sebagainya) yang runcing, yang dibenamkan ke dalam tangkai (hulu).
Keterangan yang kurang lebih sama disampaikan JS Badudu. Puting, katanya, adalah puncak, pangkal senjata, atau perkakas besi yang masuk hulunya, supaya senjata atau perkakas itu teguh letaknya.
Poerwadarminta lalu memberikan contoh gabungan kata yang menggunakan kata puting, yaitu puting susu ’pentil susu’. Dalam kamus lain, dengan makna yang lebih jelas, Sutan M Zain memberi contoh puting susu sebagai ’ujung susu perempuan’ dan puting cepu sebagai ’puncak tiang yang runcing’.
Jadi, puting bisa berarti ’pangkal senjata’ atau ’bagian ujung’.
Adapun kata beliung, sebagai kata yang menjelaskan puting, menurut Badudu, adalah perkakas tukang kayu, rupanya seperti kapak dengan mata melintang (tidak searah dengan tangkainya).
KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI
Atap gedung Taman Kanak-kanak Muslimat NU 30 Desa Tambak Rejo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, porak-poranda diterjang angin puting beliung, Rabu (22/11/2017) sore.
Penampakannya seperti cangkul. Beliung bersinonim dengan kapak, alat yang dipakai untuk membelah atau memotong kayu, atau menebang pohon. Makna yang sama diterakan KBBI untuk kata ini.
Maka, puting beliung ialah bagian ujung tangkai beliung yang dimasukkan ke dalam lubang mata beliung itu. Bentuknya agak lancip. Setelah dimasukkan, kedudukannya dikuatkan dengan dipasangi baji (kayu atau besi tajam untuk membelah kayu) yang dimasukkan dengan menokoknya keras-keras dari arah yang berlawanan.
Disebut angin puting beliung, bisa jadi, karena bentuk angin yang tampak dari jauh itu seperti bentuk puting tangkai beliung. Angin itu tampak berbentuk makin ke ujung (bawah) makin lancip.
Di atas permukaan laut yang luas, atau di permukaan darat yang datar, akan kita lihat bentuk angin itu dengan mudah karena tidak ada yang menghalangi pemandangan.
Jadi, orang Indonesia, khususnya orang Melayu, yang memberi nama angin topan atau angin puyuh itu sebagai angin puting beliung mendasarkannya pada asosiasinya terhadap puting beliung itu.
Nyatalah bahwa kata atau frasa bisa diciptakan manusia berdasarkan asosiasinya terhadap benda atau fenomena alam yang dilihatnya. Cara ini turut memperkaya perbendaharaan kata suatu bahasa.