Pertanyaan besar untuk refleksi para wartawan adalah apakah dalam situasi disrupsi media saat ini, wartawan dan kalangan pers bisa bebas bersuara? Termasuk dari bayang-bayang pemilik media dan politik yang melingkarinya?
Oleh
WIDODO MUKTIYO
·3 menit baca
Perkembangan teknologi menyebabkan disrupsi media. Pola akses dan konsumsi informasi di masyarakat mengalami banyak perubahan.
Misalnya, dalam perbincangan sehari-hari, banyak generasi Z dan Alpha yang saat ini tidak lagi mengakses berita melalui surat kabar. Mereka juga tidak lagi seantusias seperti dahulu dalam mengonsumsi berita di televisi. Generasi native digital lebih banyak menerima informasi melalui platform media daring dan jejaring sosial.
Instagram, Tiktok, dan Youtube menjadi platform populer. Bahkan, dalam beberapa informasi, generasi baru ini lebih melihat berita viral di media sosial atau mengikuti para pemengaruh di media daripada melihat berita secara keseluruhan di media arus utama.
Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi wartawan. Berita di media arus utama yang susah payah dicari wartawan bersaing dengan informasi viral di medsos. Wartawan ditantang, apakah dalam kondisi seperti sekarang mereka akan tetap tegak menjalankan profesinya dengan tetap mengedepankan nilai-nilai jurnalisme atau ikut hanyut dalam viralitas informasi.
Perubahan konsumsi media juga berpengaruh pada oplah media cetak dan pendapatan iklan. Sejumlah media cetak bahkan tidak lagi terbit dalam bentuk print, tetapi berubah dalam platform daring. Ekonomi menjadi tantangan lain yang harus dihadapi wartawan.
Belum lagi ekonomi-politik menjadi faktor lain yang juga berpengaruh. Apalagi tahun-tahun politik sudah semakin dekat. Isu yang kemudian muncul adalah apakah para wartawannya ini tetap bisa menyuarakan apa yang harus disuarakan, yakni sebuah obyektivitas dan kebenaran atau ia terintervensi oleh berbagai faktor tadi.
Berbagai kondisi itu menjadi bahan refleksi bagi para wartawan, terutama menjelang Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari. Apalagi tema tahun ini adalah ”Pers Bebas untuk Demokrasi yang Bermartabat”.
Pertanyaan besar untuk refleksi para wartawan adalah apakah dalam situasi disrupsi media saat ini, wartawan dan kalangan pers bisa bebas bersuara? Atau apakah pers bisa melepaskan diri dari sejumlah belenggu yang ada pada mereka termasuk, misalnya, bayang-bayang pemilik media dan politik yang melingkarinya?
Tentu saja kebebasan yang disuarakan pers adalah kebebasan untuk menyampaikan kebenaran sebagaimana yang disebut Bill Kovack dan Tom Rosenstiel bahwa elemen pertama jurnalisme adalah loyalitas pada kebenaran. Wartawan dan pers seharusnya mampu menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Menjunjung nilai
Dennis McQuail dalam bukunya, Media Performance: Mass Communication and the Public Interest, menyebut sejumlah nilai, seperti independensi, ekualitas yang termasuk di dalamnya ekualitas atas akses, dan obyektivitas.
Meskipun McQuail menyebutkan itu sudah beberapa puluh tahun silam, relevansinya tetap ada hingga sekarang. Misalnya, tentang independensi, bagaimana wartawan bisa independen dalam melaksanakan profesi. Wartawan tidak mendapat tekanan dalam menyuarakan kebenaran.
Masyarakat membutuhkan informasi yang lengkap dan benar. Informasi yang benar ini sekaligus akan menjadi penyaring dari informasi yang melimpah ruah di medsos.
Hal lain tentang ekualitas atas akses dan obyektivitas di tengah isu kepemilikan media yang sekaligus sebagai elite partai politik. Apakah masyarakat akan mendapatkan informasi yang obyektif? Apakah masyarakat akan dapat menerima informasi dari semua partai politik sehingga masyarakat dapat mengambil keputusan dengan bekal informasi yang lengkap?
Ataukah sebaliknya, masyarakat hanya mendapatkan informasi dari satu sisi? Ini jadi pertanyaan yang muncul dalam tahun-tahun politik ini.
Masyarakat membutuhkan informasi yang lengkap dan benar. Informasi yang benar ini sekaligus akan menjadi penyaring dari informasi yang melimpah ruah di medsos. Informasi di medsos kadang berupa informasi sepihak yang belum tentu terverifikasi kebenarannya. Namun, dengan internet, informasi di medsos ini cepat menyebar dan menjadi viral.
Seandainya informasi yang beredar tersebut tidak benar, bisa jadi akan menimbulkan kerugian. Karena itu, informasi yang terverifikasi dengan standar jurnalisme akan bisa menjernihkan informasi yang terlanjur keruh. Namun, tentu saja hal ini membutuhkan wartawan dan pers yang benar-benar menjalankan peranannya.
Menjadi wartawan bukan hal yang mudah karena lewat tulisannya ia bisa mengubah keadaan. Karena itu, tanggung jawab tak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat kelak.
Momen peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Medan, Sumatera Utara, akan menyegarkan kembali akan amanah peran sebagai wartawan. Sumatera Utara memiliki ukiran sejarah dalam perkembangan pers Indonesia. Bagaimana wartawan turut berjuang untuk mencapai kata ”merdeka” saat itu dari penjajahan kolonialis.
Maka, momen Hari Pers Nasional di Medan ini perlu untuk meneguhkan kembali kemerdekaan tersebut. Wartawan tetap merdeka menyuarakan kebenaran di tengah situasi disrupsi media. Pers yang bebas akan melahirkan demokrasi yang bermartabat. Selamat Hari Pers, sahabat wartawan semua.
Widodo Muktiyo,Guru Besar Ilmu Komunikasi UNS Solo dan Staf Ahli Menteri Kominfo