Masalah dalam jagat pers berkembang menjadi demikian kompleks dan rumit. Esensi problema dan realitas pers di tahun ini, dan yang sudah kronis adalah menyusutnya pendapatan, yang menggerogoti kualitas serta pengaruhnya.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Atas catatan Ombudsman, Kompas Senin (19/12/22), kita menyimak sebagai refleksi atas praksis jurnalisme, dalam hal ini Kompas, di tahun 2022, juga prospek 2023.
Di bagian refleksi, kita banyak menganggukkan kepala, sepakat dengan sorotannya. Misalnya, pengalaman meliput (korban) gempa. Kesantunan dan welas asih (compassion) macam apa yang harus diperlihatkan oleh wartawaan Kompas tak kita sangsikan kebenarannya.
Untuk tahun 2023, sebagian juga kita amini tentang rumitnya meliput pemilu dan politik yang semakin hangat. Di sini, tantangan klasik muncul. Seberapa jauh media bisa bersikap independen di tengah menguatnya praktik politik identitas, yang untuk Pemilu 2024 kembali diantisipasi, tidak kurang oleh Presiden Joko Widodo, dan keberpihakan oligarki media yang kini diperkuat oleh kian banyaknya media rintisan (start up), seperti dinyatakan oleh Ross Tapsel dalam bukunya, Kuasa Media di Indonesia (2017). Pers yang penuh tanggung jawab akan memikul beban berat di tengah kontestasi pemilu presiden, yang kita perkirakan berlangsung seru, yang diperkuat oleh emosi it’s now or never.
Lanskap media di Indonesia tidak lepas dari yang berkembang di dunia. Pertarungan mereka yang masih percaya pada keagungan pers, dan karena itu terus-menerus berusaha memuliakannya (tecermin dalam buku Breaking News: The Remaking of Journalism and Why It Matters Now, Alan Rusbridger, 2019) versus mereka yang merasa cukup dengan berita sehingga mencanangkan Stop Baca Berita (Rolf Dobelli, Stop Reading the News, 2019). Dobelli menyebut bukunya Manifesto for a Happier, Calmer and Wiser Life.
Menurut sebagian masyarakat, media ikut membuat mereka tambah pusing dan nek (jenuh, muak, mual) dengan ”kegagalan” menemukan ”skenario” sejati kasus Ferdy Sambo, dan sebaliknya ikut terombang-ambing mengikuti skenario otoritas. Harian ini pun harus dengan rendah hati mengakui, setelah hampir setengah tahun meliput cause celebre ini, belum banyak yang diketahui dari penanganan kasus yang tidak mencerdaskan masyarakat.
Dua hal lagi sebagai catatan untuk pers adalah semakin riuhnya media sosial, yang selain disorot oleh Tapsell juga diperkuat dengan riset Mark Deuze dan Tamara Witschge dalam Beyond Journalism (2020). Kemudahan mendirikan media rintisan, yang praktisionernya tidak pernah mengenyam uji kompetensi jurnalistik, di satu sisi membuat dunia semakin riuh-rendah, tetapi di sisi lain bertentangan dengan yang diidealkan Kompas, juga Rusbridger di atas.
Kedua, era post-truth (pasca-kebenaran), juga tak bisa kita lupakan. Dalam bukunya, Post Truth, Lee McIntyre (2017) mengangkat frase George Orwell, ”Konsep pokok kebenaran obyektif kini sedang meredup di dunia. Kebohongan akan merasuk dalam sejarah.” Masalah dalam jagat pers berkembang menjadi demikian kompleks dan rumit. Kejayaan hari kemarin justru menjadi kelemahan (liability).
Semua ini adalah esensi problema dan realitas pers di tahun ini, dan yang sudah kronis adalah menyusutnya pendapatan, yang menggerogoti kualitas dan pengaruhnya.