Hal yang baik jika petani sawit diikutkan memproduksi minyak goreng. Mereka bisa melayani kebutuhan rumah tangga di perdesaan dan kota kecil yang jauh dari jalur distribusi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Kenaikan harga minyak goreng sawit kembali terjadi di tengah upaya pemerintah mencukupi pasokan bahan baku. Penyebabnya perlu diatasi.
Lonjakan harga minyak goreng sawit pernah terjadi pada akhir tahun 2021 hingga kuartal pertama tahun 2022. Pemerintah segera membatasi ekspor minyak sawit mentah dan beberapa turunannya serta mengalihkan untuk memasok industri minyak goreng dalam negeri.
Kebijakan lain ialah menyediakan minyak goreng bersubsidi dengan merek Minyakita. Harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan Rp 14.000 per liter. Pada Januari dan awal Februari 2023 harga Minyakita lebih tinggi daripada HET, di beberapa pasar bahkan tidak tersedia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut penyebab kenaikan harga minyak goreng, termasuk Minyakita, adalah terjadi pergeseran konsumsi minyak goreng dari kualitas premium ke minyak goreng bersubsidi. Penyebab lain ialah berkurangnya pasokan bahan baku minyak goreng untuk kebutuhan dalam negeri yang menjadi kewajiban eksportir memenuhi (domestic market obligation/DMO).
Pasokan DMO menurun dalam dua bulan terakhir karena permintaan sawit dunia menurun, sementara pemerintah menerapkan formula enam bagian ekspor harus dikompensasi dengan satu bagian DMO (Kompas, 7/2/2023).
Penjelasan pemerintah mengenai pergeseran konsumsi konsumen dari minyak goreng premium ke minyak goreng bersubsidi perlu dicermati karena bisa menjadi indikasi pelemahan daya beli masyarakat. Harga eceran minyak goreng premium Rp 20.000-an per liter.
Kebutuhan minyak goreng bersubsidi di dalam negeri diperkirakan akan meningkat menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Kita dapat memprediksi kebutuhan ini dan mempersiapkan stok CPO dan menjaga harga tidak bergejolak.
Menjaga harga minyak goreng tetap terjangkau adalah penting. Minyak goreng sawit merupakan sumber lemak murah bagi sebagian besar masyarakat dan tubuh membutuhkan lemak dalam proses metabolisme tubuh. Menjaga stabilitas harga minyak goreng juga penting untuk menangani inflasi yang memengaruhi daya beli masyarakat.
Gejolak harga minyak goreng seharusnya bisa dikendalikan jika perusahaan perkebunan sawit milik negara memproduksi minyak goreng dalam jumlah besar. Sayangnya, saat ini peran BUMN perkebunan belum nyata dalam memengaruhi harga minyak goreng. Minyak goreng kita sebagian besar berasal dari perkebunan besar milik swasta yang berorientasi ekspor.
Melihat ke depan, termasuk dalam mengelola isu produk sawit tanpa penggundulan hutan, akan baik jika petani sawit diikutkan memproduksi minyak goreng. Mereka bisa melayani kebutuhan rumah tangga di perdesaan dan kota kecil yang jauh dari jalur distribusi.
Pemerintah dapat membantu dengan mempermudah izin usaha dan sertifikasi produk minyak sawit petani. Dengan demikian, petani tidak lagi terus menjadi bulan-bulanan ketika terjadi gejolak harga minyak sawit.