Masa Depan ”Justice Collaborator”
Rancangan KUHAP membutuhkan pembaruan hukum acara pidana yang revolusioner dengan mengatur justice collaborator secara komprehensif dan integratif. Hal ini untuk memastikan bahwa kejujuran dan kebenaran dijunjung tinggi.
Tuntutan pidana 12 tahun penjara yang diajukan oleh jaksa penuntut umum kepada Bharada E dalam perkara dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J telah menuai reaksi, sekaligus simpati dari sebagian masyarakat yang terusik rasa keadilannya.
Saat kejujuran Bharada E diganjar dengan requisitoir yang jauh lebih berat dari ketiga pelaku penyertaan lain yang dituntut 8 tahun penjara, elemen masyarakat sipil, seperti ICJR, Pilnet, Elsam, bahkan juga para guru besar yang mengajukan diri sebagai ”Sahabat Pengadilan” (Amicus Curiae).
Tanpa mengurangi independensi kejaksaan sebagai pemegang kekuasaan penuntutan dan pengendali perkara (dominus litis), ”dilema yuridis” dan gesture yang diperlihatkan penuntut umum ketika membacakan requisitoir dan repliknya terkesan menyiratkan ”keraguan” bagaimana seharusnya memperlakukan Bharada E selaku justice collaborator.
Sebagai model yang terbilang baru dalam sistem peradilan pidana terpadu, pengaturan justice collaborator yang diterjemahkan sebagai ”saksi pelaku” dianggap belum cukup lengkap dan familiar sehingga penerapannya dapat menimbulkan pro dan kontra, bahkan berisiko bagi pelaku yang bersedia jujur dan mengungkap kejahatan.
Baca juga : Perintah Jabatan dalam Hukum Pidana
Perlindungan saksi pelaku
Pengertian justice collaborator tak ditemukan dalam Black’s Law dan Oxford Law Dictionary, tetapi lawinsider.com berupaya mendefinisikannya sebagai seorang pelaku kejahatan terorganisasi yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum dalam memberikan keterangan yang penting guna mengungkap suatu kejahatan.
Konvensi Antikorupsi PBB (United Nations Convention Against Corruption) 2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No 7/2006 telah memberikan pedoman yang memungkinkan dikuranginya hukuman terdakwa yang memberikan kerja sama yang penting dalam penyidikan atau penuntutan dalam perkara korupsi, bahkan termasuk kekebalan penuntutan.
Kemungkinan itu tak dapat dilepaskan dari faktor historis, di mana penegak hukum AS dahulu sempat kesulitan mengungkap kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh seorang gembong mafia hingga akhirnya berhasil meyakinkan staf mafia itu untuk bersaksi, tentu dengan menjamin keselamatan jiwa dan pembebasan saksi pelaku dari tuntutan hukum.
Pengaturan justice collaborator yang awalnya diperkenalkan lewat Surat Edaran Mahkamah Agung No 4/2011, Peraturan Bersama 5 Lembaga Tahun 2011, dan UU No 31/2014 tentang perubahan atas UU Perlindungan Saksi dan Korban kini dianggap belum cukup komprehensif dan integratif dengan KUHAP sebagai induk hukum acara pidana.
Meski beleid terakhir telah mengatur perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, perlindungan hukum, bantuan rehabilitasi psikologis-psikososial, dan pemenuhan hak dari saksi pelaku yang selama ini telah dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ternyata dinilai belum menjamin kepastian hukum yang adil yang berkeadilan bagi justice collaborator. Khususnya terkait diskresi penuntutan (prosecutorial discretion) yang dimiliki Korps Adhyaksa.
Ketidakpastian hukum ini setidaknya tergambarkan dalam tuntutan dan replik terhadap Bharada E, di mana menurut penuntut umum terdapat ”dilema yuridis” karena di satu sisi keberanian dan kejujuran Bharada E dikategorikan sebagai justice collaborator, tetapi di sisi lain Bharada E dianggap ”pelaku utama” sebab merupakan ”eksekutor” penembakan.
Baca juga :Jaksa Disebut Galau Tuntut Richard Eliezer 12 Tahun Penjara
Keraguan itu sebenarnya tak perlu ada kalau penuntut umum konsisten dengan surat dakwaannya, di mana bentuk penyertaan yang paling relevan untuk diterapkan terhadap Bharada E adalah ”menyuruh melakukan” (doenplegen) sehingga status ”pelaku utama” seharusnya tidak layak disematkan kepada Bharada E yang merupakan ”alat” yang disuruh melakukan sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan (manus ministra).
Perbedaan tafsir mengenai ”tindak pidana tertentu” yang dapat diberikan perlindungan, misalnya ”pembunuhan berencana”, juga jadi pro dan kontra, padahal penjelasan Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban sudah membuka peluang bagi ”Tindak Pidana Lain” sepanjang posisi saksi diperhadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
Keterkaitan perintah jabatan
Suatu kejahatan yang serius dan terorganisasi tidak hanya dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu, tetapi juga berpotensi dilakukan oleh pejabat yang memiliki kekuasaan yang besar sehingga pengungkapan dan pembuktian atas kejahatan yang sebenarnya sederhana malah menjadi sulit untuk dilakukan.
Berkaitan dengan alasan penghapus pidana yang dikemukakan Bharada E, yaitu Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel), menurut Pasal 51 Ayat (1) KUHP, telah memicu perdebatan antar-akademisi dan praktisi hukum, yaitu apakah alasan tersebut dapat digunakan untuk melepaskan Bharada E.
Pembentuk Code Penal pada abad ke-18 tentu tak akan serampangan menempatkan Perintah Jabatan sebagai penghapus pidana (alasan pembenar), jikalau ternyata perbuatan yang dilaksanakan atas dasar Perintah Jabatan itu bukanlah perbuatan pidana (strafbaarfeit).
Namun, ada sebagian pengamat yang diduga keliru memaknai terjemahan dari ”pejabat yang berwenang” (yang memiliki otoritas/bevougde gezag).
Kekeliruan itu disinyalir karena telah menganalogikan penafsiran atas bevougde gezag dengan pertanyaan sempit, yaitu apakah ”perintah” yang dimaksud Pasal 51 Ayat (1) KUHP itu ”sah” atau tidak sah, dengan mendasarkannya pada ”lingkup pekerjaan” dari penerima perintah (ondergeschiktheid), yang diatur Pasal 51 Ayat (2) KUHP.
Padahal, perbuatan (feit) yang dihapuskan elemen melawan hukumnya (wederrechtelijkheid) karena didasarkan adanya suatu perintah jabatan dalam Pasal 51 Ayat (1) KUHP sudah pasti merupakan ”perbuatan yang dilarang”, yang bentuknya sama sekali tak dibatasi pembuat undang-undang, serta tak ada hubungannya dengan ondergeschiktheid di ayat ke (2).
Letak perbedaannya dengan ayat ke-(2) adalah pemberi perintah tersebut tidak memiliki wewenang (otoritas), tetapi dengan iktikad baik disangka oleh penerima perintah sebagai perintah yang diberikan pejabat yang berwenang sehingga pelaksanaannya pun dilakukan masih dalam ”lingkup pekerjaan” (ondergeschiktheid) penerima perintah (alasan pemaaf).
Rancangan KUHAP (2012) yang kabarnya akan jadi inisiasi DPR ternyata belum mengatur tentang justice collaborator.
Pembunuhan yang dilakukan Bharada E atas perintah atasannya yang memiliki otoritas secara de facto/de jure serta pengendalian yang efektif berupa relasi kuasa yang sulit ditolak, jelas tidak mungkin memenuhi rumusan ayat ke-(2), yang telah dibatasi pada ”lingkup pekerjaan” dari penerima perintah (ondergeschiktheid), melainkan memenuhi ayat ke-(1) karena dilaksanakan atas dasar perintah yang diberikan pihak yang memiliki otoritas.
Tepatlah Simons dalam Leerbook-nya, yang menyatakan penerima perintah tidaklah dapat dihukum karena melakukan ”pelanggaran yang menurut UU telah dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dihukum”, yaitu jika perbuatan yang telah dilakukannya itu sebagai akibat dari perintah dari pihak yang memiliki wewenang/otoritas.
Cita-cita hukum
Rancangan KUHAP (2012) yang kabarnya akan jadi inisiasi DPR ternyata belum mengatur tentang justice collaborator. Yang ada hanyalah pengaturan ”saksi mahkota”, yang sering kali disalahpahami sebagai kondisi di mana para terdakwa bergantian menjadi saksi atas pelaku lainnya, padahal itu merupakan self-incrimination yang melanggar hak asasi.
Adapun prinsip dari saksi mahkota adalah salah satu terdakwa yang paling ringan peranannya dalam kejahatan terorganisasi dan bersedia mengungkapkan kebenaran. Atas kesediaannya tersebut, ia dipisahkan dari ”para terdakwa”, dan kemudian menjadi ”saksi”.
Selain itu, tersangka atau terdakwa yang mengaku bersalah dan bersedia membantu secara substantif dalam mengungkap tindak pidana dan peran tersangka lainnya, sebagaimana ditentukan oleh penuntut umum karena asas oportunitas, dapat dikurangi pidananya sesuai dengan kebijaksanaan hakim.
Rancangan KUHAP yang dikatakan hampir ”basi” karena KUHP nasional sudah disahkan dan segera berlaku efektif tiga tahun kemudian sangatlah membutuhkan pembaruan hukum acara pidana yang revolusioner dengan mengatur justice collaborator secara komprehensif dan integratif.
Hal ini penting untuk memastikan kejujuran dan kebenaran menjadi hal yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia, sebagaimana postulat ”probitas bono publico”, yang artinya kejujuran adalah kebaikan bagi semua orang.
Albert AriesPengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti