Perintah Jabatan dalam Hukum Pidana
Dengan menjadi saksi pelaku (justice collaborator), apakah Bharada E hanya akan dapat ”keringanan” hukuman atau sebaliknya, bisa lepas dari jerat pidana karena ia melaksanakan perintah jabatan?

Heryunanto
Berubahnya keterangan Bharada E selaku tersangka dalam perkara dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J telah ”membelokkan” arah penyidikan dari perkara yang begitu kontroversial di institusi Bhayangkara.
Dalam empat carik kertas, Bharada E mengeluarkan unek-unek mengenai atasannya, yaitu FS, yang menyuruhnya untuk menembak Brigadir J. Rasa penasaran masyarakat atas perkara yang dianggap penuh kejanggalan itu perlahan mulai terjawab.
Dari keterangan Bharada E ini, Penyidik Tim Khusus kemudian menetapkan FS dan kedua bawahannya, RR dan KM, serta PC (istri FS) sebagai tersangka menggunakan Pasal 340 subsider Pasal 338 KUHP dengan ancaman maksimal pidana mati. Kedua pasal di-juncto-kan dengan Pasal 55 dan 56 KUHP yang memperluas pertanggungjawaban pidana, yaitu kepada pelaku (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang turut melakukan (medepleger), orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain (uitlokking), dan orang yang membantu melakukan (medeplichtige).
Dengan menjadi saksi pelaku (justice collaborator), yaitu pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus tersebut, apakah Bharada E hanya akan dapat ”keringanan” hukuman atau sebaliknya, bisa lepas dari jerat pidana karena ia melaksanakan perintah jabatan?
Rasa penasaran masyarakat atas perkara yang dianggap penuh kejanggalan itu perlahan mulai terjawab.
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memihak atau mengadvokasi salah satu pelaku, tetapi untuk sekadar memberikan gambaran awal mengenai hakikat dari perintah jabatan sebagai salah satu alasan penghapus pidana (pembenar), sambil menanti tercapainya kebenaran materiil dari pemeriksaan perkara ini di pengadilan.
Memaknai perintah jabatan
Id damnum dat qui iubet dare; eius vero nulla culpa est, cui parrere necesse sit, demikian postulat hukum yang mengandung arti pertanggungjawaban tak akan diminta dari mereka yang patuh melaksanakan perintah, tetapi akan diminta kepada pihak yang memberi perintah.
Keberadaan asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 KUHP mengandung pengertian bahwa tidak ada perbuatan pidana (nullum crimen), tidak ada sanksi pidana (noela poena), tanpa adanya UU yang mengatur itu sebelumnya (sine lege praevia).
Jika dibaca dengan ”kalimat positif”, asas legalitas mengandung konsekuensi suatu perbuatan pidana yang telah ada pengaturannya hampir selalu dapat dihukum. Hal ini membuat pembentuk UU (KUHP) juga memberikan dasar untuk meniadakan hukuman (strafuitsluitingsgronden), salah satunya adalah perintah jabatan (ambtelijke bevel).
Belum adanya satu pun terjemahan resmi dari KUHP kita yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indie peninggalan Belanda yang telah diberlakukan sejak 1918 jelas merupakan ironi, sekaligus kerugian dari Indonesia sebagai negara hukum yang telah merdeka sejak 77 tahun silam, tetapi belum memiliki KUHP nasional.

Meski demikian, penulis akan coba menyadur terjemahan Lamintang mengenai perintah jabatan sebagaimana dimaksud Pasal 51 Ayat 1 KUHP, yaitu ”Tidaklah dapat dihukum barangsiapa melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan suatu perintah jabatan yang telah diberikan oleh suatu kekuasaan yang berwenang untuk memberikan perintah jabatan tersebut”.
Tidak dapat dihukumnya seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan diatur dengan batasan norma yang sederhana. Pertama, dalam hal seseorang melaksanakan suatu perbuatan karena melaksanakan suatu perintah dari penguasa yang berwenang, dan kedua, perintah melakukan perbuatan itu merupakan kewenangan penguasa itu, sehingga ia tak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban (toerkeningsvatbaarheid) adalah keadaan normal psikis yang membawa tiga macam kemampuan: 1) mampu mengerti makna dan akibat dari perbuatan. 2) mampu menginsafi perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban masyarakat, dan 3) mampu untuk menentukan kehendak berbuat (Van Hamel).
Berdasarkan catatan Asep Iwan Iriawan, penerapan dari batasan norma yang terkandung dalam Pasal 51 Ayat 1 KUHP ini juga telah diejawantahkan dalam beberapa yurisprudensi MA pada 1959, 1963, 1970 yang kaidah hukumnya menekankan pada subyek pemberi perintah (penguasa berwenang), dan isi dari perintah (apakah termasuk dalam lingkup kewenangan pemberi perintah).
Baca juga: Ferdy Sambo Akui Susun Rekayasa Pembunuhan Brigadir J
Baca juga: Kasus Ferdy Sambo dan Merawat Watak yang Bajik
Dalam perkembangannya, pada yurisprudensi periode 2004, 2007, dan 2019, MA memberikan perluasan penafsiran mengenai siapa yang dimaksud dengan ”penguasa yang berwenang”, yang dalam pembuktian harus dipenuhi dua syarat: adanya otoritas, baik secara de jure maupun de facto, dan juga adanya hubungan atasan bawahan yang berada dalam pengendalian efektifnya, misalnya seperti dalam kemiliteran.
Sebagaimana dikutip dari catatan ”pencerahan hukum” dari Fredrik J Pinakunary, Putusan MA No 3849 K/Pid.Sus/2019 telah melepaskan mantan Direktur Keuangan PT Pertamina yang menandatangani Sale & Purchase Agreement sebagai penjamin berdasarkan mandat dari direktur utama yang merupakan perintah jabatan sebagaimana dimaksud Pasal 51 Ayat 1 KUHP sehingga yang bersangkutan dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging).
Kaitan dengan penyertaan
Pandangan sebagian pengamat yang menyatakan setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai bawahan wajib untuk menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, agama, dan kesusilaan (Pasal 6 Ayat 2 huruf b Peraturan Kepolisian RI No 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik), tentu terkesan menjadi kontradiktif dengan pemaknaan Pasal 51 Ayat 1 KUHP dan ketaatan yang ”membabi buta”.

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan perdebatan mana ketentuan yang berlaku antara norma etika profesi atau asas hukum yang terkandung dalam Pasal 51 Ayat 1 KUHP, hendaknya dapat menggunakan paradigma bahwa etika merupakan kewajiban moral yang berlaku pada suatu bidang atau profesi tertentu, sedangkan asas itu berlaku secara universal sebagai hukum dasar yang menjadi tumpuan berpikir dan berpendapat (legal reasoning).
Apabila dikaitkan dengan bentuk penyertaan (deelneming) yang kedua, yaitu menyuruh lakukan, setidak-tidaknya terdapat orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) dan orang yang disuruh (pleger). Artinya, seseorang mempunyai kehendak untuk melakukan suatu perbuatan pidana, tetapi ia tak mau melakukannya sendiri dan ”menggunakan” orang lain yang disuruhnya untuk melakukan perbuatan pidana tersebut.
Contoh klasik lain dari tak dapat dipertanggungjawabkannya orang yang disuruh (pleger), misal orang gila yang disuruh A melempar granat ke rumah B (Pasal 44), dan A yang menyuruh C membakar rumah B dengan kekuasaan yang tak dapat dihindarkan, misal di bawah ancaman senjata (Pasal 48).
Oleh karena itu, orang yang disuruh melakukan perbuatan pidana itu sebenarnya hanya merupakan ”alat” sehingga secara hukum tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana, sebagaimana postulat qui mandat ipse fecisse videtur, yang artinya siapa pun yang memerintah dianggap telah melakukannya sendiri.
Meski demikian, penerapan asas perintah jabatan (ambtelijk bevel) dan penyertaan tindak pidana tersebut bergantung pada penilaian kebenaran keterangan saksi oleh hakim, yaitu dengan mencari persesuaian antara keterangan saksi dengan saksi lain, persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberi keterangan, cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Albert Aries, Pengajar FH Trisakti, Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki)

Albert Aries