Kecerdasan Buatan, Ancaman bagi Jurnalisme?
Manusia tetap menjadi aktor utama dari perkembangan teknologi secanggih apa pun. Jurnalisme hari ini banyak bertemu dengan berbagai teknologi. Suatu keniscayaan zaman. Semua berpulang kepada para pengendalinya.
Sejak November 2022 muncul suatu chatbot berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang diproduksi OpenAI dan diberi nama ChatGPT.
Mesin ini bisa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dalam waktu yang sangat pendek dan bisa menjawab pertanyaan dari data yang demikian besar yang dihimpunnya. ChatGPT sendiri salah satu produk teknologi berbasis AI Generatif.
Model percakapan yang dibuat chatbot ini membuatnya jadi menarik karena ia menjawab selayaknya dua orang yang sedang bertanya jawab. Sejak ChatGPT dikeluarkan, nilai perusahaan OpenAI pun mencapai 29 miliar dollar AS. Beberapa percobaan dan perbandingan antara jawaban ChatGPT dan Wikipedia menunjukkan ChatGPT memiliki performa yang lebih baik. Kemampuan teknologi yang membedakan keduanya.
Dua institusi yang langsung menegakkan telinga ketika mengetahui kemunculan mesin cerdas baru ini adalah dunia pendidikan dan jurnalisme.
Baca juga: AI dan Masa Depan Manusia
Para pengajar di dunia pendidikan memiliki kekhawatiran besar jika mesin ini akan mempermudah gejala mencontek di kalangan mahasiswa dalam menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya, mulai dari usulan suatu makalah (paper), naskah pidato, hingga jawaban ujian.
Sementara, di dunia jurnalistik, ChatGPT pun direspons dengan sejumlah kekhawatiran: apakah mesin ini akan menggeser peran jurnalis? Apakah mesin ini akan bisa dimanfaatkan pihak tertentu yang hendak memasukkan informasi palsu ke dalam mesin tersebut? Apakah peran jurnalis untuk melaporkan peristiwa, menuliskan berita, dan menganalisis peristiwa akan tergantikan dengan mesin tersebut?
Tulisan ini harus diakui masih terlalu awal karena belum meneliti secara lebih mendalam dan melihat produk tersebut dengan relasi khusus terkait dengan dunia jurnalisme. Sejumlah penelitian harus dilakukan untuk melihat keterkaitannya secara langsung.
Baca juga: Kecerdasan Buatan
Masa depan kepercayaan
ChatGPT memang fenomenal. Dalam waktu dua hari sejak diumumkan, sudah sejuta orang di dunia yang mengunduhnya. Dua bulan kemudian sudah 100 juta orang yang mengunduh aplikasi yang sama. Tiap hari tak kurang dari 13 juta pengunjung unik yang datang ke situsnya. Akhir Desember 2022, jumlah pengunjung per hari baru mencapai 6 juta orang (DetikiNet).
Menanggapi fenomena ini, Janet Haven, Direktur Eksekutif Data and Society, menulis dalam laman Nieman Lab pada akhir tahun lalu (”Predictions for Journalism 2023”) bahwa di samping pertumbuhan penggunanya yang sangat mengesankan, ChatGPT yang dipergunakan untuk tujuan tertentu bisa membawa situasi di mana justru masalah kepercayaan menjadi ada di titik nadir dan bisa membuat diskusi publik yang ada menjadi tereduksi pada masyarakat yang homogen.
Haven juga mengatakan, sudah menjadi suatu keniscayaan di mana teknologi yang berkembang di masyarakat tidak sesuai dengan yang dibayangkan penciptanya dan kehadiran ChatGPT jika diisi dengan informasi-informasi yang tidak benar akan menghasilkan kondisi di mana kepercayaan orang terhadap informasi akan tercederai.
Di sisi lain, Haven juga mengatakan, pemerintah di Amerika Serikat dan banyak pihak lain bekerja keras untuk mengatur bagaimana informasi yang menyesatkan harus ditekan, tetapi ChatGPT bisa menghasilkan kondisi sebaliknya.
ChatGPT memang fenomenal. Dalam waktu dua hari sejak diumumkan, sudah sejuta orang di dunia yang mengunduhnya. Dua bulan kemudian sudah 100 juta orang yang mengunduh aplikasi yang sama.
Pandangan yang agak berbeda disampaikan Eric Bergman, salah satu pendiri Factal. Dalam laman yang sama, ia menyebutkan bahwa ChatGPT tidak akan menggantikan jurnalis sungguhan ataupun analisis yang dihasilkan jurnalis atau para pakar. Menurut dia, ChatGPT itu ”menghalusinasi kesalahan” dan lebih tepat kalau menjadikan ChatGPT ini sebagai asisten peneliti.
Jika ChatGPT diberi masukan berupa hasil wawancara yang panjang, mesin ini akan membantu meringkaskan hasil wawancara dalam bentuk sejumlah poin yang mempermudah kerja jurnalis.
Sementara, karya jurnalis ala ChatGPT tidak akan memenangi penghargaan jurnalistik apa pun. Bergman juga mengatakan, ChatGPT memiliki dua masalah besar: masalah hak cipta dan masalah plagiarisme, serta masalah yang terkait dengan propaganda dan disinformasi.
Cara pikir Van Peursen
Kembali saya menggunakan cara pikir Van Peursen untuk menanggapi berbagai fenomena baru di depan. Cara pandang pertama bersifat mitis: melihat sesuatu dengan ketakutan, kebingungan, kecemasan. Cara pandang berikutnya bersifat ontologis: bagaimana fenomena baru itu dipelajari, bagaimana mekanisme kerjanya, apa yang hendak diresponsnya sebagai suatu teknologi, dan di mana pula batas-batas kemampuannya.
Cara pandang ketiga adalah fungsional: setelah mengetahui lebih dalam fenomena atau produk tersebut, tibalah pada saat untuk kita memutuskan: apa yang hendak kita lakukan setelah kita mengetahui A-Z dari suatu teknologi atau fenomena tersebut.
Kepentingan kita pun akan coba diselaraskan dengan penemuan baru tadi. Apakah teknologi tadi cocok untuk kehidupan kita, apakah teknologi tadi relevan dengan kehidupan kita, apakah kebutuhan kita terjawab dengan adanya teknologi tadi? Pada batas mana kita bisa memanfaatkan teknologi tersebut untuk tidak semata terpukau dengan kemampuan teknis yang dihasilkannya.
Cara berpikir Van Peursen ini saya kira cocok untuk melihat berbagai teknologi atau fenomena baru. Dalam tradisi budaya Jawa, misalnya, ada ungkapan ojo gumunan, ojo kagetan yang sebenarnya bisa dipergunakan di sini agar kita tak mudah terpukau ataupun takut dengan hal-hal yang baru.
Sebaliknya, kita perlu menyelidiki lebih jauh produk atau fenomena baru tersebut sebelum pada akhirnya kita sendiri yang akan menentukan apa yang hendak kita lakukan dengan produk atau fenomena baru tersebut.
Jadi, dari sini kita dapat katakan bahwa aktor utama dari perkembangan teknologi ini tetaplah manusia, yang akan mendesain arah perkembangan ke depan.
Perlukah khawatir?
Satu dekade lalu pernah muncul istilah robot journalism yang dikhawatirkan juga bisa menggeser peran jurnalis. Beberapa media di Indonesia coba menggunakan dan sejumlah berita sudah bisa dihasilkan oleh robot tersebut: membuat laporan pertandingan olahraga, membuat laporan naik turun saham di bursa. Lebih dari itu? Nanti dulu.
Robot tadi tak bisa menghasilkan liputan yang lebih mendalam, tidak bisa mengendus suatu peristiwa yang bisa dikembangkan menjadi liputan investigasi. Mungkin robot ini pun tak bisa menulis laporan perjalanan yang penuh dengan nuansa jurnalisme sastrawi dan penggunaan kata-kata spesifik untuk mempercantik tulisan.
Apakah robot journalism membantu kerja jurnalis? Mungkin ada bantuannya. Untuk menghasilkan berita-berita langsung dari suatu yang bisa dilihat pergerakannya dengan skor atau angka yang bisa dilihat, berita bisa dibuat.
Namun, analisis lebih dalam, menghubungkan satu faktor dengan faktor lain, mungkin hal ini belum bisa dilakukan. Jadi, dari sini kita dapat katakan bahwa aktor utama dari perkembangan teknologi ini tetaplah manusia, yang akan mendesain arah perkembangan ke depan.
Dalam jurnalisme data, misalnya, program yang paling dasar adalah menguasai Microsoft Excel untuk membantu merapikan data dasar, mengurutkannya, dan lain-lain. Namun, apa tesis yang hendak dibuktikan dari tumpukan data itu? Apa kesimpulan yang hendak dibangun dari penelusuran ini, kembali pada jurnalis (manusia) untuk menentukannya. Microsoft Excel hanyalah satu perangkat pembantu di sini.
Jurnalisme hari ini banyak bertemu dengan berbagai teknologi, mulai dari pembuatan berita berdasarkan SEO (search engine optimation), penggunaan algoritma tertentu untuk mempertemukan berita dan audiensnya, hingga pengukuran audiens (audience metric). Namun, kembali kepada para pengendalinya, mau ke mana arah kemajuan ini semua. Pada akhirnya, algoritma pun bergerak dinamis. Tidak statis.
Namun, kembali kepada para pengendalinya, mau ke mana arah kemajuan ini semua. Pada akhirnya, algoritma pun bergerak dinamis. Tidak statis.
Menghasilkan sendiri
Apakah mungkin jika, misalnya, koran seperti Kompas menghimpun aneka data yang telah ia miliki selama 58 tahun untuk menghasilkan mesin pintar yang bisa menjawab aneka pertanyaan seputar ”Indonesia”? Misalnya, untuk menjawab pertanyaan, ”apakah itu peristiwa Mei 1998”? Mungkinkah ada mesin pintar di Kompas yang bisa memberikan jawaban akurat dan obyektif terkait dengan pertanyaan tersebut?
Dengan koleksi informasi mencapai enam dekade dengan kerapian pengelolaan informasi dan pemeliharaan informasi yang dimilikinya, seharusnya Kompas memiliki bahan dasar untuk menghasilkan suatu mesin pembelajar (machine learning) yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Tinggal masalahnya, mampukah Kompas memiliki teknologi macam itu?
Ignatius Haryanto,Dosen Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara, Serpong