NU Meleburkan Segregasi Sosial
Sejak NU berdiri hingga saat ini, para pendiri dan tokoh NU terus menyuarakan arti penting toleransi, moderasi, ”civil society”, dan demokrasi. NU mampu mendialogkan agama, kebudayaan, dan kebangsaan secara harmonis.
Peringatan Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama pada 7 Februari 2023 di GOR Delta, Sidoarjo, Jawa Timur, menarik perhatian dunia.
Berbagai kalangan masyarakat antusias menyambut dan menjemput berkah—sebagaimana imbauan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf—untuk menghadiri puncak peringatan harlah satu abad organisasi masyarakat terbesar di dunia ini.
Beragam acara dipersiapkan untuk memeriahkan, seperti Muktamar Internasional, Porseni NU, Festival Seni Tradisi Islam Nusantara, NU Women, dan penghargaan para tokoh yang berjasa bagi NU.
Ekspresi kecintaan kepada NU tak terbatas pada nahdliyin. Geliat dan antusiasme ini bisa menjadi bahan refleksi untuk mengingat kembali sejarah NU.
Organisasi kaum sarungan ini, sejak kelahirannya pada 1926 hingga sekarang, sangat konsisten dan terdepan dalam wawasan keterbukaan, dialog, saling menghormati, dan mengedepankan nilai-nilai humanisme universal di tengah masyarakat yang majemuk.
Baca juga: Usia Satu Abad, Momentum Kebangkitan Baru Nahdlatul Ulama
Baca juga: Songsong Usia Satu Abad, NU Luncurkan ”Merawat Jagat Membangun Peradaban”
Para pendiri dan tokoh NU tak kenal lelah sering menyuarakan arti penting toleransi, moderasi beragama, civil society, dan demokrasi—sebagai ikhtiar membentuk hubungan kehidupan umat Islam serta perkembangannya dalam berbangsa dan bernegara yang bertujuan mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup.
Menarik mencermati pandangan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang didirikan para kiai pesantren, bahwa agama harus dilihat secara substantif-integratif dan relevan untuk menopang peradaban masyarakat yang multikultural.
Sikap orang beragama tidak perlu rigid, eksklusif, keras, dan kurang peduli atau tak bersahabat kepada kelompok lain.
Agama juga bukan sekadar ”identitas” semata yang justru sering membelah masyarakat dalam baju, simbol, dan kelompok masing-masing. Agama sudah semestinya mampu menjembatani perbedaan dan perjumpaan antarkelompok manusia serta mengakomodasi realitas sosial yang bersifat dinamis dan beragam.
Paradigma keterbukaan kaum santri ini diharapkan mampu menembus sekat-sekat pemisah di antara masyarakat yang notabene berbeda. Dengan dialog dapat ditemukan titik temu di antara setiap anak manusia agar dapat menjalin silaturahmi dan membangun harmoni dalam hidup di satu bumi ini (only one world).
Pendekatan komparatif/dialog yang digunakan memungkinkan untuk menjembatani kesalingpahaman, membangun kerja sama, meminimalkan kecurigaan, serta menghindari konflik dan permusuhan.
Mendialogkan agama, kebudayaan, kebangsaan
Dalam perjalanan sejarah, NU terbukti mampu mendialogkan antara agama, kebudayaan, dan kebangsaan secara harmonis. Terlebih, melihat tonggak awal gerakan nasionalisme bangsa Indonesia, menurut Mark Woodward (2011), sesungguhnya dipengaruhi oleh faktor keagamaan.
Akan tetapi, mayoritas dari mereka tidak egoistis untuk menjadikan negara ini sebagai negara Islam. Sebab, mereka lebih mengutamakan kemaslahatan bersama dengan cara tetap menjadikan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika melacak dari beberapa sumber terkait, alasan utama kebanyakan para kiai NU dan umat Islam Indonesia lebih memilih Pancasila sebagai dasar negara adalah dengan pertimbangan demi kemaslahatan bersama di negara yang terkenal majemuk. Penerimaan para kiai NU dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945 menunjukkan kebesaran jiwa mereka dalam merawat NKRI dan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara.
Penerimaan para kiai NU dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945 menunjukkan kebesaran jiwa mereka dalam merawat NKRI dan mendahulukan kepentingan bangsa dan negara.
Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara dianggap sangat tepat. Pancasila adalah sebuah dasar dan tiang penopang negara untuk mewujudkan Indonesia yang maju. Pancasila merupakan hal yang universal untuk Indonesia, dan Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh yang mengikat seluruh rakyat dalam NKRI.
Bahkan, Pancasila adalah cerminan dari beragam budaya dan karakter bangsa Indonesia yang telah berlangsung berabad-abad lampau.
Antara Pancasila dan Islam memiliki keterkaitan yang saling mendukung dan memperkuat satu sama lain. Meskipun Pancasila pada 1945 secara formal diangkat sebagai das sollen bangsa Indonesia dan dijadikan sebagai sumber moral bangsa, bukan berarti keputusan ini menafikan eksistensi Islam, melainkan telah terjadi perkembangan agama Islam.
Agama Islam telah berhasil menanamkan akidah Islamiyah dan syari’ah shahihah sehingga mampu memunculkan cipta, rasa, dan karsa antarpemeluk lainnya.
Catatan sejarah itu membuktikan, ajaran Islam yang ditanamkan para kiai NU telah memberikan kontribusi besar dalam mengobarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia untuk memancarkan budaya dan pemikirannya dalam membina kemaslahatan di Indonesia (Karim, 2007: 8-9).
Kiai dan santri NU telah berjasa dalam mendorong terbentuknya fenomena keanekaragaman masyarakat Indonesia dan mencerminkan pola kehidupan yang harmonis, moderat, dan elegan yang menampilkan konstruksi sosial-budaya sehingga dapat berdampingan dan tidak berbenturan.
Merawat harmoni
Tak berhenti di situ, pada zaman kemerdekaan, peran NU sangat intensif-aktif dalam mengisi dan mempertahankan NKRI. Hubungan pesantren vis a vis negara bukan dalam pengertian oposisi loyal, melainkan selalu bersikap kritis dan amar ma’ruf nahi munkar. ormas NU bukanlah ormas apatis dan tak bersentuhan dengan perkembangan yang terjadi.
Pada saat Indonesia berada di bawah kekuasaan Orde Baru, yang terkenal sebagai orde single majority yang manipulatif dan dominan, ormas NU (tempat para kiai pesantren berkumpul dan berorganisasi), sering melakukan upaya akomodasi terhadap kepentingan negara pada dimensi-dimensi politik, ekonomi, dan ideologi.
NU menyatakan tidak akan berkecimpung dalam arena politik praktis. NU hanya bergerak dalam dakwah dan pemberdayaan masyarakat serta tidak menutup mata dari perkembangan politik.
Menariknya, pada sisi lain, NU pun sebetulnya melakukan semacam upaya counter-hegemony dan counter-discourse terhadap monopoli negara secara tidak langsung (Hikam, 1994). Begitu juga para santri melalui saluran-saluran politik, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), senantiasa tetap memperjuangkan akidah, kejujuran, keadilan, dan tegaknya demokrasi (Siddiq, 2003: 146).
Karena itu, pada pertemuan ulama NU di Situbondo, 13-16 Desember 1983, selain mendiskusikan rencana kebijakan asas tunggal yang hendak diberlakukan pemerintah, NU juga membahas perlunya kembali ke khitah 1926.
NU menyatakan tidak akan berkecimpung dalam arena politik praktis. NU hanya bergerak dalam dakwah dan pemberdayaan masyarakat serta tidak menutup mata dari perkembangan politik. Sementara pada tahun 1998 NU mendirikan PKB untuk partai warga NU.
Setelah memasuki transisi demokrasi, NU juga senantiasa berkiprah melakukan dialektika dengan isu-isu kontemporer.
Salah satu hal yang dilakukan NU ialah selalu memberikan alternatif pemikiran kepada santri melalui pendidikan agar bisa berpikir lentur dan akomodatif terhadap setiap bentuk perubahan. Hal ini karena perubahan yang sedang terjadi akibat globalisasi merupakan sebuah keniscayaan dan harus direspons secara bijak agar tak menjadi warga negara yang teralienasi dari perkembangan global.
Seiring perkembangan zaman, santri pun mengalami berbagai perubahan cara pandang. Kalau di awal berdirinya negara ini, gema pendirian Negara Islam Indonesia masih kental. Lambat laun isu itu mulai luntur, terserap dalam operasionalisasi ide dan gagasan yang lebih modern dan kontemporer.
NU, sebagai organisasi yang didirikan para santri dan dicap para ahli sebagai ormas tradisional, dalam perkembangannya mampu menampilkan dirinya sebagai organisasi yang tanggap terhadap perubahan sosial budaya (Mulkhan, 1992: 2).
Bahkan, sekarang ini, letak ketradisionalan NU sudah susah dibedakan dengan kemodernan ormas lain yang dicap modern (Mufid, 2006: 61). Seiring berbagai problematika yang dihadapi NU, perubahan-perubahan cara pandang santri dan kiai sudah menyentuh di berbagai bidang; ekonomi, politik, dan pendidikan.
Semua ini mengakibatkan perubahan gerak perjuangan berbagai organisasi Islam di Indonesia. Mendorong tumbuhnya sikap terbuka dan realistis.
Perubahan pola perjuangan dari individu ke jemaah dan selalu dikaitkan dengan perkembangan masyarakat agar perjuangannya lebih transformatif, bersifat empiris-realistis (Mulkhan, 1992, Abdullah, 2000).
Tema yang diusung juga sudah menyentuh persoalan kekinian yang dibutuhkan masyarakat, lebih bersifat budaya dan ekonomi, seperti resonansi nasionalisme, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, dan membangun kesejahteraan hidup bersama semua warga negara dan umat beragama.
Dialektika warga NU dengan perkembangan yang sedang terjadi, terutama di era disrupsi, metaverse, dan transformasi digital, perlu selalu ditekankan pada pembentukan karakter santri ber-akhlakul karimah dan bisa berpikir kritis-akomodatif.
Pada saat kelompok Muslim di luar pesantren berusaha menampakkan hubungan yang antagonis, kurang bersahabat antara Islam dan Barat, dan tumbuh suburnya ekstremisme agama, dengan pemikiran dialektis, NU menginisiasi forum agama G20 atau Religion of Twenty (R20) di Bali pada 2022.
Salah satu tujuannya berusaha mempromosikan moderatisme dan memberikan angin segar dengan usaha-usaha konkret yang bisa merekatkan kembali hubungan dan komunikasi yang sama-sama dibutuhkan umat manusia dan saling membangun peradaban baru. Sebuah peradaban yang dibangun di atas sebuah kehidupan demokratis, menghormati nilai-nilai kemanusiaan, dan menghormati setiap bentuk perbedaan.
Peran NU dalam masyarakat sampai saat ini, lebih-lebih setelah Peringatan Harlah Satu Abad NU, diharapkan senantiasa memiliki semangat baru sebagai penjaga moral.
Semangat dan harapan baru
Peran NU dalam masyarakat sampai saat ini, lebih-lebih setelah Peringatan Harlah Satu Abad NU, diharapkan senantiasa memiliki semangat baru sebagai penjaga moral. Khususnya berkenaan dengan terjaganya tradisi kepesantrenan yang luhur dengan nilai-nilai keteladanan. Sebab, dengan penekanan pada akhlakul karimah atau sisi moralitas, keanekaragaman yang berupa perbedaan agama, etnik, budaya, suku, dan lain-lain tidaklah menjadi sebuah ancaman.
Selain itu, NU perlu menjaga epistemologi bayani, irfani, dan burhani—sebagai ciri khas pemikiran Al-Jabiri dan perlu dikembangkan di pesantren. Supaya mampu menyeimbangkan pemikiran yang dialektis, kritis, dan proporsional. Kemudian, NU bisa melakukan respons dan mengakomodasi setiap hal yang baru tanpa harus menghilangkan karakter lokalnya.
Dengan melihat kenyataan globalisasi dengan isu-isu kontemporer yang senantiasa membawa dua sisi, positif dan negatif, NU perlu menerima sisi-sisi positif yang harus diselaraskan dengan orientasi membentuk jemaah berwawasan global, kaya intelektual, dan unggul di penguasaan teknologi, sekaligus tetap mewaspadai akibat negatif yang dibawanya.
Maka, NU perlu melakukan transmisi dan internalisasi nilai pesantren pada masyarakat. Harapannya, warga NU bisa menjadi generasi yang cerdas/intelek, tangguh dalam keimanan, kokoh dalam kepribadian, sekaligus mampu membentuk masyarakat religius, demokratis, dan ramah lingkungan.
Syamsul Ma’arif, Guru Besar UIN Walisongo dan Ketua ISNU Kota Semarang.