Tes Skolastik untuk Masuk PTN
Ada sejumlah alasan mengapa tes mata pelajaran dihapus dalam SBMPTN 2023. Yang ada hanya tes potensi skolastik, untuk mengukur potensi kognitif atau kemampuan bernalar dan problem solving, bukan kemampuan penghafalan.

Ilustrasi
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengubah sistem seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) 2023. Pada SBMPTN 2023 tak ada lagi tes mata pelajaran/tes kemampuan akademik seperti selama ini. Yang ada hanya tes potensi skolastik.
Dihapusnya tes mata pelajaran (mapel), menurut Mendikbudristek Nadiem Makarim, karena ujian SBMPTN selama ini telah menyebabkan proses pembelajaran lebih terfokus pada mapel tertentu, yaitu yang diujikan. Sementara, mapel lain sepertinya dianggap tidak penting. Pembelajaran pun cenderung sekadar pelatihan (drills) soal-soal dan teknik menyiasatinya. Alhasil, kualitas pembelajaran menurun.
Selain itu, orangtua terbebani dengan biaya yang tak sedikit untuk bimbingan belajar (bimbel) sehingga siswa dari keluarga kurang mampu lebih sulit bersaing untuk masuk PTN. Dengan tiadanya tes mapel, mereka yang dari keluarga kurang mampu secara ekonomi memiliki kesempatan sama dibandingkan anak dengan latar ekonomi lebih baik.
Baca juga : Seleksi Nasional PTN Menjadi Lebih Efisien
Baca juga : Guncangan Kampus Merdeka
Baca juga : Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri Diperbarui, Jalur Mandiri Tetap Ada
Tes skolastik dimaksudkan untuk mengukur potensi kognitif, yaitu model dan kemampuan berpikir/penalaran matematika, literasi bahasa Indonesia, dan literasi bahasa Inggris yang disusun dalam satu kemasan tes. ”Hanya ada satu tes yang tidak berhubungan dengan penghafalan, tapi lebih ke kemampuan bernalar, problem solving, potensi kognitif melalui tes skolastik,” kata Nadiem Makarim dalam Peluncuran Merdeka Belajar Episode 22: Transformasi Seleksi Masuk PTN (Kompas, 7/9/2022).
Model berpikir dan konten pikiran
Bernalar atau berpikir logis secara umum diasumsikan sebagai proses kognitif yang memerlukan bahan pengetahuan. Dalam filsafat ilmu secara sederhana dikenal dua model utama penalaran ilmiah, yaitu cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif.
Model penalaran deduktif bertolak dari ide-ide general (umum) yang diderivasi kepada kesimpulan yang partikular (spesifik). Sementara induktif, merupakan pemikiran yang bergerak dari observasi partikular menuju kepada kesimpulan yang bersifat general. Matematika dan bahasa di dalam kategori ilmiah biasanya dimasukkan dalam rumpun pengetahuan deduktif, sedangkan sains merupakan pengetahuan induktif.
Dalam proses pembelajaran terdapat perbedaan dalam pendekatan dan didaktik-metodik antara mengajarkan berpikir/menalar dan mengisi pikiran. Mengisi pikiran utamanya menyampaikan sejumlah data pengetahuan yang tersusun dan dikomunikasikan melalui mapel. Konten pengetahuan itu akan menjadi dan digunakan sebagai bahan untuk berpikir. Dalam pengertian ini, otak dianggap dan merupakan kontainer tempat penyimpanan bahan-bahan yang setiap saat akan dikeluarkan kembali.

Sejumlah perubahan di tiga jalur masuk perguruan tinggi negeri sebagai kebijakan Merdeka Belajar Epidose ke-22 oleh Kemendikbudristek.
Pendidikan seperti ini dinamakan Banking Model of Education (Freire, Paulo: 1970). Kegiatan pembelajarannya, menurut taksonomi Bloom (1956), meliputi mengenal, mengingat, mendefinisikan, dan mengerti dan hanya menghasilkan kemampuan berpikir tingkat rendah (lower order thinking skills), linier, dan sulit ditransformasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Nadiem Makarim, kegiatan sekolah seperti ini sebagai ”pembelajaran yang menghafal”. Sekolah di Indonesia hingga dewasa ini kebanyakan mengutamakan model pembelajaran ini dan sangat kurang mengajarkan/mengembangkan kemampuan serta keterampilan berpikir.
Mengajarkan berpikir atau bernalar ialah dengan berpikir. Seperti berenang, murid tak hanya mendengarkan pikiran guru, tetapi mencebur, terlibat aktif melahirkan ide-idenya. Peran guru dan dukungan lingkungan belajar yang kondusif adalah inti pengajaran berpikir.
UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No 20/2003 sesungguhnya telah mencantumkan frase, Pasal 1 Ayat (1), yang mengutamakan proses pembelajaran berpikir: ”…untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk…”.
Selain dari bakat dan pembawaan, kemampuan skolastik pertama dan utamanya diperoleh murid melalui pendekatan dan metode yang digunakan para guru dalam pembelajaran.
Para guru seyogianya dituntut kecakapan menyelenggarakan pembelajaran yang dialogis sebagai kondisi yang memungkinkan para murid mengungkapkan pemikirannya. Sayangnya, para guru kita hingga dewasa ini kurang dipersiapkan untuk menyelenggarakan pembela- jaran yang mengembangkan pemikiran.
Tidak ada mapel khusus untuk pelajaran berpikir atau bernalar (skolastik)—seperti ilmu logika/ilmu mantik— di pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Bahkan, Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris yang hendak diujikan sebagai tes potensi skolastik (TPS) mulai SBMPTN 2023 pun diajarkan sebagai materi atau data pengetahuan yang disimpan, bukan secara khusus sebagai pengajaran menalar/berpikir.
Selain dari bakat dan pembawaan, kemampuan skolastik pertama dan utamanya diperoleh murid melalui pendekatan dan metode yang digunakan para guru dalam pembelajaran. Kemampuan guru, terutama dalam menciptakan iklim kelas yang dialogis, memungkinkan murid secara aktif belajar mengungkapkan pemikirannya dan menguatkan kepercayaan dirinya. Guru memberi stimulus dan waktu untuk berpikir melalui kerelaan mendengarkan dan menghargai berbagai gagasan murid.

Meski pembelajaran kadang bertele-tele dan sedikit berisik, murid harus dilibatkan dalam melakukan (mengalami), mengartikulasikan, menganalisis, dan menyimpulkan. Daur ini akan jadi medan inquiry yang melahirkan aneka pertanyaan yang harus direspons positif oleh guru sehingga menghidupkan daya diskoveri, kreasi, dan inovasi.
Para guru harus waspada terhadap respons yang menghambat dan membatasi kemampuan berpikir. Memotong pembicaraan; langsung menyetujui/menolak pendapat murid; atau langsung menunjukkan apa yang harus dilakukan merupakan penghambat yang dapat menutup proses berpikir. Sementara reaksi guru yang menyakitkan dengan menertawakan, mengejek, mengolok-olok atau sarkasme akan membatasi proses berpikir karena melemahkan rasa percaya diri, menumbuhkan rasa kelu dan malu berpendapat.
Kedua, kemampuan bernalar murid terbentuk secara implisit, terbawa oleh model logika disiplin ilmu yang dipelajarinya. Mapel Matematika, Bahasa (Indonesia, Inggris), misalnya, akan membawa pada pengembangan potensi berpikir deduktif. Sementara, sains (ilmu kealaman dan ilmu kemanusiaan) akan mengimplisitkan ke dalam kecakapan berpikir induktif. Dengan menekuni bidang-bidang ilmu, penalaran murid dituntun ke arah pemikiran ilmiah.
Pendidikan kita tentunya tidaklah dimaksudkan menyiapkan generasi ”pandir” yang hanya memiliki kemampuan berpikir/bernalar lurus, tetapi beretorika tanpa data pengetahuan valid.
Ketiga, pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, kemampuan skolastik dapat diperoleh dan dikembangkan dengan mengajarkan teori dan latihan dalam mapel tertentu seperti ilmu logika dan ilmu mantik. Menalar dan berpikir memerlukan bahan berupa isi pikiran, yaitu data pengetahuan yang akademis (saintifik) maupun nonakademis.
Dengan demikian, meskipun tidak mesti dihafal, data pengetahuan sangat penting karena menjadi dasar dan konten wacana yang akan mengukuhkan pemikiran. Pendidikan kita tentunya tidaklah dimaksudkan menyiapkan generasi ”pandir” yang hanya memiliki kemampuan berpikir/bernalar lurus, tetapi beretorika tanpa data pengetahuan valid. Pendidikan kita tidak boleh dengan alasan ”anti-menghafal” dan demi zaman kekinian yang menganggap penguasaan materi/konten pelajaran tak penting, lalu menyerahkan para murid pada halaman Google dan media.
Tes skolastik plus
TPS yang direncanakan Kemendikbudristek dengan satu kemasan, yang terdiri dari Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris, perlu didukung karena sangat terkait dengan pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS) yang memang diperlukan dalam pendidikan kita.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F04%2F30%2F96c70f4a-6118-416b-b75f-c625ea45a97c_jpeg.jpg)
Proses pembelajaran di SMA Kolese Kanisius Jakarta, Senin (29/4/2019). Sekolah ini menggunakan sistem pembelajaran dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi atau High Order Thinking Skills (HOTS). Guru tidak hanya mengajarkan hafalan tetapi mengajak untuk menganalisa suatu persoalan.
Hanya saja program TPS sejauh yang saya pahami baru sebatas menguji model penalaran yang deduktif. Sementara potensi penalaran saintifik-induktif yang justru dominan dan sangat diperlukan dalam pembelajaran ilmiah malah tidak dideteksi. Untuk kesempurnaannya, TPS perlu dilengkapi dengan tes saintifik (akademik) dari rumpun ilmu kealaman maupun ilmu sosial/kemanusiaan sesuai dengan pilihan studi. Penyertaan uji konten akademik dalam TPS sangat penting mengingat perguruan tinggi bukanlah pendidikan dasar yang cukup berbekal potensi skolastik.
Pemilihan program studi (prodi)/jurusan sedikit banyak memerlukan basis pengetahuan sebagai modal yang memudahkan proses pembelajaran berikutnya. Sejak awal para calon mahasiswa ditawari berbagai pilihan dan tentunya mereka akan memilih secara subyektif bidang ilmu yang diminati dan dirasa ada pengetahuan di bidang itu. PTN perlu memastikan keberadaan dasar pengetahuan terkait pilihan prodi/jurusan.
Ketiadaan basis pengetahuan akan menyebabkan mahasiswa mengalami apa yang dalam teori skemata disebut ”disonansi kognitif” karena informasi ilmiah yang baru tak (mudah) dipahami dan diintegrasikan, tersebab ketiadaan (relevansi dengan) pengetahuan sebelumnya. Keadaan ini akan mempersulit mahasiswa dalam belajar dan berpotensi menyebabkan kegagalan dalam studi.
Mohammad Abduhzen Advisor Paramadina Institute for Education Reform (PIER) Universitas Paramadina Jakarta