Program Kampus Merdeka perlu dievaluasi secara menyeluruh. Berbagai persoalan yang dihadapi perguruan tinggi menunjukkan guncangan Kampus Merdeka menciptakan kehancuran pada praktik pendidikan nasional.
Oleh
AGUS SUWIGNYO
·4 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Sejak diberlakukan tahun 2020, kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka telah mengguncang praktik pendidikan formal, khususnya di perguruan tinggi. Program itu merombak makna konvensional belajar dan sumber belajar, dan mengubah arah akademik pengajaran.
Mahasiswa dan dosen didorong keluar dari ”kandang” program studi dan kampus. Pedepokan belajar setelah tamat sekolah menengah tidak lagi hanya institusi perguruan tinggi, tetapi juga kantor kementerian/lembaga negara dan dinas pemerintah daerah. Selain itu juga kantor desa/kelurahan, kantor penerbitan-percetakan, kantor surat kabar, perusahaan, pabrik, lembaga perbankan, perhotelan, perusahaan rintisan, dunia usaha kecil dan menengah, organisasi nonpemerintah, dan bahkan lembaga sosial keagamaan.
Dengan jaringan tempat-tempat magang itu, program Kampus Merdeka diharapkan mendorong perbaikan kurikulum perguruan tinggi. Program bertujuan membongkar model lama perkuliahan, yang sering dikritik sangat teoretis, bertumpu pada buku teks dan kurang memberikan pengalaman lapangan.
Meskipun demikian, pada praktiknya program Kampus Merdeka justru menciptakan kebingungan dan ambivalensi.
Guncangan paradigma
Meskipun demikian, pada praktiknya program Kampus Merdeka justru menciptakan kebingungan dan ambivalensi.
Alih-alih mendorong inovasi pembelajaran melalui ”ruang merdeka” yang ditekankannya, kebijakan tersebut telah membuyarkan paradigma pendidikan. Ia mencerabut karakteristik berbasis misi yang menjadi kekhasan suatu perguruan tinggi, dan mengganti orientasi pendidikan akademik dengan muatan vokasional yang kuat. Dalam skema Kampus Merdeka, makna ”belajar” dibatasi secara pragmatis menjadi ”berlatih bekerja” pada lingkungan kerja yang senyatanya.
Program seperti Bangun Kualitas Manusia Indonesia (Bangkit) serta Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kompas, 7/1/2023) sangat jelas berorientasi pada pemerolehan keterampilan terapan, alih-alih penguatan pemahaman keilmuan mahasiswa.
Program-program itu telah mengubah makna ”pendidikan tinggi” menjadi ”pelatihan kerja” dan ”nyantrik” semata.
ilustrasi
Skema Kampus Merdeka memungkinkan mahasiswa menempuh mata kuliah pada program studi (prodi) lain agar memiliki wawasan interdisiplin.
Kebijakan ini telah mengacaukan batas ontologis yang menjadi pembeda keahlian pada suatu bidang ilmu. Bisa dibayangkan kekacauan keilmuan yang tercipta, misalnya ketika mahasiswa bidang sastra diperbolehkan mengambil mata kuliah kedokteran atau teknik mesin. Ketiadaan rambu-rambu transfer antarprodi membuat skema interdisiplin ini absurd.
Para pengelola perguruan tinggi saat ini terjerat keharusan mencapai Indikator Kinerja Utama (IKU), yang ditetapkan secara terpusat oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti). Pola seragam dan terpusat penetapan IKU kontradiktif dengan semangat otonomi perguruan tinggi. IKU mengukur suatu kinerja akademik berdasarkan capaian jumlah suatu pekerjaan yang telah dirumuskan oleh Dikti. Misalnya, jumlah publikasi terindeks, mahasiswa dan dosen asing, dan lulusan baru yang sudah bekerja.
Upaya mencapai IKU telah mengambil semua sumber daya manajerial perguruan tinggi. Akibatnya, para pengelola kehabisan kapasitas untuk membuat inovasi akademik berdasarkan misi dan kebutuhan spesifik perguruan tinggi sesuai mandat statuta dan rencana strategis masing-masing. IKU yang isinya seragam mengabaikan misi dan kebutuhan unik setiap perguruan tinggi. Penyeragaman isi IKU melenyapkan konsepsi pendidikan tinggi sebagai proses mengasah nalar dan kepekaan sosial.
Masa depan LPTK dan universitas riset
Secara institusional, guncangan terdahsyat kebijakan Kampus Merdeka dialami ”universitas riset” dan perguruan tinggi yang berkategori lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).
Desakan pragmatisme Kampus Merdeka telah memaksa universitas riset mengadopsi pola kerja yang bersifat sangat vokasional. Terminologi ”hilirisasi” dan ”tingkat kesiapterapan teknologi (TKT)” sering dipakai sebagai tolok untuk mengukur potensi keberhasilan suatu rencana riset, dan layak atau tidaknya rencana riset itu didanai. Contoh skema ini adalah program dana padanan ”Kedaireka” (Kompas, 6/1/2023).
Perspektif pragmatis dan vokasional Kampus Merdeka secara fundamental menyingkirkan penelitian ilmu-ilmu dasar dan penelitian bidang-bidang klasik sosial humaniora. Di antaranya linguistik, sejarah, filsafat, arkeologi, dan kajian-kajian budaya Nusantara, misalnya sastra Jawa. Secara tematik, pendanaan pemerintah dalam lima tahun terakhir diprioritaskan untuk bidang energi hijau, energi biru, dan perubahan iklim.
Tetapan prioritas tema semakin menjauhkan roh universitas riset dari ilmu-ilmu dasar dan sosial humaniora.
Sementara itu, perguruan tinggi LPTK dihadapkan pada dilema tentang batasan pendidik dan kompetensinya. Hakikatnya, LPTK didirikan untuk mendidik calon-calon guru. Namun, Skema Praktisi Mengajar pada program Kampus Merdeka memungkinkan siapa pun dengan pengalaman pekerjaan tertentu menjadi guru atau dosen. Pemerintah bahkan juga mengizinkan jabatan profesor kehormatan bagi orang-orang di luar profesi akademik.
Dengan program Praktisi Mengajar, LPTK dihadapkan pada dilema apakah pendidikan khusus untuk calon guru masih diperlukan. Jika siapa pun dapat memiliki wewenang mengajar hanya berdasarkan pengalaman kerja tanpa perlu memiliki lisensi sertifikasi, bukankah Dikti sendiri melalui program Praktisi Mengajar telah melanggar Undang-Undang Guru dan Dosen?
Kompleksitas semua persoalan itu menunjukkan bahwa guncangan Kampus Merdeka menciptakan kehancuran pada praktik pendidikan nasional.
Kompleksitas semua persoalan itu menunjukkan bahwa guncangan Kampus Merdeka menciptakan kehancuran pada praktik pendidikan nasional. Karena itu, program ini harus dievaluasi secara menyeluruh. Kemerdekaan belajar harus dikembalikan kepada hakikatnya, yaitu semangat dalam berkreasi dan mempelajari hal-hal baru, bukan justru memperkuat birokratisasi melalui vokasionalisasi pendidikan tinggi.
Rasanya para pembuat kebijakan perlu mempelajari lagi filsafat pendidikan dan misi sosial perguruan tinggi Indonesia, yaitu pengabdian kepada masyarakat.
Agus Suwignyo,Pedagog cum Sejarawan, Universitas Gadjah Mada