Mau Apa China di Timur Tengah?
China belum terlihat berperan dalam meredakan ketegangan geopolitik di Timur Tengah selain mengamankan kepentingan ekonomi. Terkesan absurd jika Beijing berambisi menggantikan peran AS di kawasan itu dalam waktu dekat.
Berbeda dengan 2016, kunjungan ”karpet ungu” Presiden China Xi Jinping ke Riyadh, Arab Saudi, 7 Desember 2022, dibayangi sejumlah tanya bahkan kecurigaan, khususnya oleh pihak Barat.
Pada 2016, kunjungan Xi dilakukan, antara lain, untuk menenangkan hubungan Arab Saudi dan Iran yang memanas akibat dilaksanakannya hukuman mati terhadap ulama Syiah, Sheikh Nimr al-Nimr, yang dibalas dengan pembakaran Kedutaan Besar Saudi di Teheran. Selain itu, kunjungannya jelas bermotifkan kepentingan ekonomi.
Sementara, kunjungan ”high profile” pada Desember lalu sarat bobot politik di tengah terjadinya krisis hubungan Saudi-AS belakangan ini. Bahkan kunjungan Xi Jinping juga dapat dikatakan bagai pedang Arab yang bercabang dua karena, selain dengan Saudi, ia juga menghadiri KTT China-Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).
Baca juga : China dan Timur Tengah yang Berubah
Baca juga : Masa Depan Relasi Timur Tengah-AS
Timur Tengah bagi China
Sebelum 1990-an, hubungan diplomatik bilateral antara Saudi dan China belum ada. Pada 1975, Saudi menolak mengakui China sebagai sebuah negara meskipun Beijing berkeinginan menjalin hubungan dan menerima kebijakan Riyadh.
Pertemuan resmi China-Saudi pertama berlangsung di Oman pada November 1985, setelah kontak yang terus meningkat antara kedua negara. Secara resmi pemerintah kedua negara meresmikan hubungan diplomatik pada 21 Juli 1990 dan ”minyak adalah tulang punggung hubungan” itu.
Dalam buku The Rise and Fall of the Powers (1989), Paul Kennedy menyatakan kelemahan China ketika itu sangat luas diketahui. Secara diplomatik dan strategik, Beijing menganggap dirinya diisolasi dan dikepung akibat kebijakan Mao Zedong terhadap negara-negara tetangganya.
Hal ini merupakan konsekuensi dari persaingan dan ambisi negara-negara besar di Asia dan Timur Tengah selama beberapa dekade sebelumnya. Sementara di kawasan strategis Timur Tengah, AS telah mengembangkan perjanjian khusus dengan Israel, Saudi, dan Jordania, baik karena ikatan Yahudi-Amerika yang erat maupun komitmen Doktrin Eisenhower 1957 yang menawarkan bantuan ke negara-negara Arab.
Namun, sejak dekade kedua abad ini, Saudi dan China telah menjadi sekutu dekat dan strategis, dengan hubungan yang semakin hangat dan meningkat secara signifikan. Menurut survei Jewishvirtuallibrary.org, pada 2015, sebanyak 61,3 persen orang Saudi berpandangan positif tentang China, dengan 34,2 persen sangat menyukai, sementara hanya 28,5 persen yang tak menyukai.
China dan Saudi telah meningkatkan kerja sama di sektor energi dan keuangan, dan menandatangani berbagai kesepakatan lainnya.
Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman juga mengisyaratkan, China dapat meningkatkan jejak diplomatiknya di Timur Tengah, dan menyatakan ”Saudi bersedia bekerja keras bersama China untuk mempromosikan perdamaian, keamanan, dan kemakmuran global dan regional”.
Saat ini China merupakan mitra dagang terbesar Saudi, dengan nilai ekspor kerajaan ke ”Negeri Tirai Bambu” melebihi 50 miliar dollar AS pada 2021. Angka ini lebih dari 18 persen dari total ekspornya. Sementara perdagangan bilateral mencapai 80 miliar dollar AS.
Saat ini China merupakan mitra dagang terbesar Saudi, dengan nilai ekspor kerajaan ke ’Negeri Tirai Bambu’ melebihi 50 miliar dollar AS pada 2021.
Secara tradisional Saudi menjadi pemasok minyak utama, sekitar 17 persen dari total impor minyak China. Pada 2015 China menjadi importir minyak mentah global terbesar, dengan hampir setengah pasokannya berasal dari Timur Tengah. Saudi melalui Aramco Saudi juga telah menggelontorkan 10 miliar dollar AS sebagai investasi ke dalam proyek kilang dan petrokimia di timur laut China (cnn.com, 7/12/2022).
Menurut Jonathan Fulton dkk dalam ECFR Policy Brief ”China’s great game in the Middle East”, (21/10/2019), sentralitas kerja sama ekonomi dan pembangunan China dengan negara-negara Timur Tengah tecermin dalam dua dokumen utama Pemerintah China: ”Vision and Actions on Jointly Building Silk Road Economic Belt and 21st-Century Maritime Silk Road” (2015) dan Arab Policy Paper (2016).
Kerangka kerja sama yang dituangkan dalam dokumen-dokumen tersebut berfokus pada energi, pembangunan infrastruktur, perdagangan, dan investasi di Timur Tengah.
Kecurigaan Barat
Kecuali keamanan energi dan pertumbuhan ekonomi, Timur Tengah sejak lama dianggap sebagai periferi dalam peta kepentingan China secara keseluruhan. Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, penekanan yang lebih besar telah ditempatkan pada kawasan tersebut, yang melampaui kepentingan ekonomi murni.
Dalam policy paper itu, Xi menekankan, selain perdagangan dan investasi, terdapat kebutuhan untuk memperkuat aspek budaya, politik, dan keamanan dalam hubungannya dengan negara-negara Arab.
Saat ini Beijing telah memiliki perjanjian kemitraan dengan 15 negara Timur Tengah. China telah berpartisipasi dalam misi anti-pembajakan dan keamanan maritim di Laut Arab dan Teluk Aden, dan melakukan operasi skala besar untuk menyelamatkan warga negaranya dari Libya (2011) dan Yaman (2015).
China juga telah meningkatkan upaya mediasi dalam krisis di Suriah dan Yaman, berperan dalam membujuk Teheran untuk menandatangani kesepakatan nuklir (JCPOA), dan mengangkat utusan khusus untuk negara-negara Timur Tengah yang berkonflik.
Selain itu, China telah mendirikan pangkalan militer luar negeri pertama di Djibouti dan mengadakan fasilitas militer Pelabuhan Gwadar di Pakistan, yang berkontribusi pada peningkatan kehadiran militer di dekat choke point penting Selat Hormuz dan Bab el-Mandeb. Terakhir, China telah memasok senjata ke beberapa negara Timur Tengah, meski belum dalam skala besar.
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, penekanan yang lebih besar telah ditempatkan pada kawasan tersebut, yang melampaui kepentingan ekonomi murni.
China dan mitra Timur Tengah-nya memang tidak spesifik menyebut kerja sama keamanan, sejalan dengan narasi Beijing bahwa keterlibatannya di kawasan itu tidak memajukan tujuan geopolitiknya.
Beijing berhati-hati untuk menghindari terulangnya intervensi Barat dan mengedepankan narasi keterlibatan netral dengan semua negara—termasuk yang berselisih satu sama lain—berdasarkan kesepakatan yang saling menguntungkan.
Oleh karena itu, menurut Fulton pula, China kerap menekankan visi tatanan multipolar di Timur Tengah berdasarkan non-intervensi dan kemitraan, dengan mempromosikan stabilitas melalui ”perdamaian pembangunan” daripada gagasan Barat tentang ”perdamaian demokratis”.
Menurut Yoel Guzansky and Galia Lavi dalam Strategic Assessment ”Saudi Arabia-China Relations: A Brave Friendship or Useful Leverage?” (Vol 23, No 2, April 2020), menyadari akan kepekaan Washington, Riyadh, dan Beijing tidak ingin mengundang reaksi berlebihan (pressure) dari AS.
Saudi memahami bahwa tidak ada alternatif lain dari jaminan keamanan AS saat ini, tetapi meragukan kredibilitas komitmen politik Washington akan bertahan dalam jangka panjang. Apalagi, dalam pandangan Riyadh, hubungan dengan Beijing dapat melengkapi hubungannya dengan Washington dalam beberapa hal, dan bahkan dapat berfungsi sebagai potensi tawar (leverage).
Beijing diperkirakan akan mempertahankan narasi netralnya seiring peningkatan kepentingannya di kawasan yang bergejolak itu. China mungkin tidak ingin memperkuat kehadiran politik dan keamanannya di wilayah tersebut, tetapi mungkin merasa tidak punya pilihan dalam masalah ini.
Sementara hubungan China dengan negara-negara yang berseteru dapat menyeretnya ke dalam perselisihan yang tak terkait dengan tujuan intinya. Meskipun tampaknya senang dengan perannya saat ini, tak dimungkiri keterlibatan politik dan keamanan China di Timur Tengah sudah semakin kuat.
Berpikir ulang
Peningkatan hubungan China dan negara-negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, tidak serta-merta terjadi mendadak karena memburuknya hubungan AS-Saudi. Seperti halnya negara adidaya lain, masuknya China ke Timur Tengah dilakukan melalui kebijakan yang hati-hati dan perjalanan yang panjang, terutama di bawah Xi Jinping yang tertuang dalam kedua dokumen itu.
Menyeimbangkan (balancing) sikap terhadap dua negara utama kawasan (Iran dan Saudi), serta krisis hubungan ”Negeri Kabah” itu dengan AS saat ini, hanya semakin menegaskan kehadiran Beijing.
China masih memiliki kemampuan yang terbatas untuk menantang arsitektur keamanan yang dipimpin AS di Timur Tengah atau memainkan peran penting dalam politik regional.
Namun, Beijing akan tetap berhati-hati untuk tidak terlibat terlalu dalam dan masih percaya bahwa AS dapat meneruskan perannya untuk mengelola keamanan di kawasan tersebut. Sejauh ini China belum terlihat berperan dalam meredakan ketegangan geopolitik di Timur Tengah selain mengamankan kepentingan ekonomi akibat masih terbatasnya kehadiran perwakilan politiknya di wilayah konflik itu.
Masih diperlukan pemahaman tentang posisi dan tujuan China di Timur Tengah dan pengaruhnya terhadap stabilitas regional dan dinamika politik dalam jangka menengah dan panjang. China masih memiliki kemampuan terbatas untuk menantang arsitektur keamanan yang dipimpin AS di Timur Tengah atau memainkan peran penting dalam politik regional.
Yang pasti, akan absurd jika Beijing memiliki ambisi menggantikan peran AS di kawasan itu dalam waktu dekat; dan ini mungkin dapat meredam kekhawatiran dan kecurigaan AS, dan juga Eropa. Tetapi, hal ini akan memaksa pihak Barat berpikir ulang tentang kebijakan dan ambisinya di kawasan yang strategis dan kaya minyak itu.
Dian Wirengjurit, Analis Geopolitik dan Hubungan Internasional