Judul-judul Teater Koma selalu mengundang hasrat. Terlebih ketika tampil dengan berbagai parodi yang menggugat.
Oleh
HANDRY TM
·5 menit baca
Kepergian Norbertus Riantiarno ke alam keabadian, Jumat, 20 Januari 2023, meninggalkan rasa kehilangan yang sangat dalam bagi masyarakat teater Indonesia. Ia yang disebut-sebut titisan bakat Willy Klimanoff (A. Piedro), pendiri Dardanella, adalah sosok yang berhasil membesarkan Teater Koma sepopuler The Malay Opera Dardanella pada 1926-1935.
Teater Koma merupakan satu-satunya kelompok panggung yang berhasil mementaskan lakon lebih dari dua pekan setiap kali pentas. Sejak tahun 1988, lakon Sampek Engtay bahkan dipertontonkan secara berulang. Setahun kemudian, Sampek Engtay digelar di Gedung Kesenian Jakarta sekitar tiga pekan. Ini merupakan lakon tersering dimainkan hingga tahun 2022, karena permintaan penonton
Judul-judul Teater Koma selalu mengundang hasrat. Terlebih ketika tampil dengan berbagai parodi yang menggugat. Sejak menampilkan karya mainstream seperti Kopral Doel Kocek/Woyzeck (George Buchner tahun 1981), Opera Ikan Asin/The Threepenny Opera (Bertolt Brech tahun 1983), dan Pemburu Perkasa (Wolf Mankiewitz saduran WS Rendra tahun 1983), Teater Koma mentransformasi diri dengan format opera.
Trilogi opera
Tonggak opera parodi yang berproses di Teater Koma terjadi sejak menggulirkan trilogi Bom Waktu, Opera Kecoa, dan Opera Julini. Lakon ini digelar pertama di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki tahun 1985.
Naskah karya N Riantiarno yang sekaligus sutradara, mulai menyentuh tema sosial di kiri-kanan kita. Lakon-lakon tersebut mengetengahkan tiga tokoh sentral, masing-masing Roima, bandit kelas teri yang berusaha mengambil hati Tuminah. Padahal ia sudah memiliki pacar seorang waria bernama Julini.
Hidup di persimpangan jalan yang berkelok, Roima berusaha survive. Jakarta digambarkan sebagai lorong got yang panjang. Hidup di Ibu Kota tidaklah mudah. Siapakah yang dipersalahkan dalam situasi ini? Kebodohan warga kota kah atau ketidakpedulian pemerintah? Pertanyaan ini tak pernah terjawab, kecuali dijelaskan melalui tingkah-polah para pelakonnya.
N Riantiarno sendiri seorang penulis cerita yang pintar meracik konflik. Ia tak pernah menggiring penonton pada kesimpulan akhir. Kecuali mengalihkan problema cerita dengan kelucuan getir (bitter parody) sekaligus memperolok diri sendiri.
Pada setiap judul, kelompok ini selalu menawarkan clue melalui tokoh-tokohnya. Trilogi opera Bom Waktu, Opera Kecoa, dan Opera Julini, menempelkan clue pada sosok Julini (diperankan sangat impresif oleh Salim Bungsu). Julini adalah waria naif yang punya hati nurani setinggi langit. Julini hidup dalam keterjepitan saat menghadapi kejamnya Jakarta. ”Ngumpet di gorong-gorong. Makan tidur di dalam got ….” demikian cuplikan lagu yang didendangkan pada salah satu babak.
Demikian pula Sampek Engtay. Sutradara memasang dialog ”Haiyaa…makan lagi, makan lagi…” yang diucap papah Engtay berulang-ulang agar memancing tawa. Pada pementasan tahun 1989 di Gedung Kesenian Jakarta, penonton masih bisa menikmati kepiawaian akting Ratna Madjid, Didi Petet, Joshua Pandelaki, dan Salim Bungsu.
Sejak opera trilogi mencapai sukses, Teater Koma kembali meracik lakon parodi sosial yang kian tajam. Beberapa lakon satire dipergelarkan, di antaranya, Banci Gugat (1989), Konglomerat Burisrawa (1990), Suksesi (1990), RSJ/ Rumah Sakit Jiwa (1991), Semar Gugat (1995), Opera Sembelit (1998), Republik Bagong (2001) serta sejumlah lakon lain.
Tokoh-tokoh dalam opera Teater Koma selalu mengembangkan karakter secara mandiri. Tidak heran jika para pemainnya senantiasa tak kurang akal dalam memainkan naskah. Penonton seolah diajak terlibat di dalamnya. Sehingga suara gemuruh tawa kerap tercipta di tengah-tengah pertunjukan.
“Saya tak pernah mengarang cerita. Lakon-lakon yang saya tulis merupakan realita di kiri-kanan kita. Saya juga menyadur buku Animal Farm karya George Orwell. Kisah yang bisa diaktualisasi dengan situasi kini,” kata N Riantiarno dalam sebuah obrolan di kantor majalah Matra.
Animal Farm pun dipentaskan menjadi lakon Opera Para Binatang (1987) yang merangkul Harry Roesli menggarap musiknya. Ia juga mementaskan lakon-lakon saduran semacam Opera Ikan Asin (The Threepenny Opera karya Bertolt Brecht, 1983), Opera Salah Kaprah(The Comedy of Errors karya William Shakespeare, 1984), dan Wanita-wanita Parlemen (Women in Parliament karya Aristophanes, 1986). Lakon-lakon itu musiknya digarap oleh Harry Roesli.
Opera Salah Kaprah(The Comedy of Errors) karya William Shakespeare termasuk karya paling menonjol bagi Teater Koma. Sang sutradara meracik lakon klasik ini menjadi pergelaran yang gila-gilaan. Lakon ini terhitung pendek, beraroma slapstick dan penuh kelucuan. Pernah dipentaskan di Broadway tahun 1879 dengan menampilkan aktor-aktor panggung sekelas Stuart Robson dan William H Crane.
Teater Koma menggelar lakon ini pada Agustus dan Oktober 1984 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki. Para pemain kampiun yang terlibat di antaranya Tuti Indra Malaon, Didi Petet, Idris Pulungan, Cini Goenarwan serta Salim Bungsu. Tidak ketinggalan N Riantiarno dan Ratna Madjid, istri N Riantiarno, turut bermain.
Boleh dibilang Opera Salah Kaprah merupakan repertoar paling lengkap Teater Koma. Musik masih ditangani Harry Roesli dan penata artistik dikerjakan Roedjito. Kini banyak di antara awak produksi lakon tersebut telah berpulang.
Naskah aslinya terdiri atas lima babak. Berkisah tentang saudara kembar identik yang lama terpisah. Antipholus dari Syracuse bertemu Antipholus dari Efesus. Pertemuan menjadi liar, karena banyak kejadian salah paham.
Sebagaimana lakon-lakon lainnya, sutradara membiarkan para tokoh mengembangkan sendiri karakternya. Salim Bungsu menjadi harapan atas kekonyolan kisah tersebut.
The Comedy of Errors menjadi tonggak karya saduran Teater Koma. Hal itu terjadi pula pada lakon-lakon asli yang ditulis sang sutradara. Lakon Suksesi mengangkat isu yang sedang ramai digunjing kalangan ramai saat itu. Dipentaskan selama 14 hari di Graha Bhakti Budaya TIM tahun 1990. Delapan tahun sebelum suksesi kepemimpinan nasional yang sesungguhnya tahun 1998.
Pengalihan tokoh Raja Bukbungkalan yang ingin segera mencari pengganti takhtanya. Keempat putra-putrinya tak satu pun yang memenuhi syarat sebagai raja pengganti. Sementara di sekelilingnya banyak pembantu munafik yang berhasrat menggantikannya. Raja Bukbungkalan pun memainkan jeratan yang justru menjatuhkan diri sendiri.
Sejak berdiri hingga sang pendiri wafat, Teater Koma telah mementaskan 225 produksi. Terakhir menggelar lakon Roro Jonggrang pada 14-16 Oktober 2022 di Graha Bhakti Budaya TIM. Tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 6 Juni 2021, N Riantiarno bermain monolog berdurasi 40 menit berjudul Pulang. Monolog itu ditayang di kanal YouTube Teater Koma, bertepatan dengan hari jadinya ke-72.
Kita berharap, Teater Koma masih akan mementaskan lakon-lakon warisan sang pendiri sesudah ini.