Nano Riantiarno (70) saat diwawancara pada Minggu, 1 September 2019, di Cirebon, Jawa Barat.
Jakarta, Kompas — Norbertus Riantiarno alias Nano Riantiarno, pendiri dan pemimpin Teater Koma, tutup usia pada Jumat (20/1/2023). Selama lebih dari 50 tahun berkarya, Nano dikenang sebagai seniman teater yang tidak mau menyerah pada tekanan politik, ekonomi, dan kesehatan.
Nano meninggal di rumahnya yang juga jadi sanggar Teater Koma di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, pada usia 73 tahun. Nano akan dimakamkan di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor, Sabtu (21/1/2023) ini.
Rangga Riantiarno, anak pertama Nano, yang juga seniman teater, menceritakan, sebelum tutup usia, Nano dirawat di Rumah Sakit Kanker Dharmais sejak 27 Desember 2022. Ayahnya boleh dibawa pulang ke rumah pada Senin (16/1/2023). Namun, secara perlahan kondisinya menurun hingga akhirnya meninggal pada Jumat sekitar pukul 06.58 WIB.
Rangga menambahkan, ayahnya meninggalkan warisan naskah teater terakhir berjudul Matahari Papua yang menjadi satu dari sembilan pemenang Sayembara Naskah Teater Dewan Kesenian Jakarta 2022.
Naskah yang berkisah tentang tanah Papua yang dikuasai ”naga” itu, menurut rencana, dipentaskan pada November 2023. ”Rapat-rapat produksi sudah dijalankan, tetapi belum sampai pada latihan,” ujar Rangga.
HIDAYAT SALAM
Pendiri Teater Koma, Nano Riantiarno, meninggal pada Jumat (20/1/2023). Suasana di rumah duka Sanggar Teater Koma, Jakarta Selatan.
Berbagai tekanan
Jejak Nano di dunia teater modern Indonesia terbentang lebih dari 50 tahun. Ia pernah bergabung dengan Teater Populer yang didirikan mendiang Teguh Karya selama beberapa tahun sejak 1968. Ketika Teguh Karya semakin fokus membuat film, Nano justru merasa film bukan dunianya.
Ia memilih berkeliling Indonesia untuk menelusuri berbagai kesenian dan teater rakyat. Hasil penelusurannya ia padukan dengan gaya teater modern dan kemudian menjadi ciri Teater Koma.
Nano mendirikan Teater Koma bersama 12 pekerja seni, termasuk Ratna Karya Madjid, pada 1 Maret 1977. Ratna dan Nano lalu menikah pada 1978. Tak hanya berbagi peran dalam biduk rumah tangga, mereka juga berbagi peran di ”kapal besar” bernama Teater Koma hingga Nano menutup mata.
”Nano sangat beruntung beristrikan Ratna yang saling mendukung. Pasangan luar biasa karena Nano enggak seintens Ratna mencari biaya (untuk pertunjukan),” tutur seniman teater Gandung Bondowoso.
Bersama Teater Koma, Nano mementaskan banyak sekali karya. Karya-karyanya yang mengangkat isu-isu dari kehidupan sehari-hari ke atas panggung kerap disisipi kritik kepada penguasa dan kelas menengah atas. Sejumlah karya Nano, misalnya, mengkritik perilaku penguasa yang culas dan tamak. Ada pula yang mengkritik perilaku orang-orang kaya baru. Akibatnya, selama era Orde Baru, Teater Koma beberapa kali mendapat tekanan berupa pelarangan dan penghentian pentas serta interogasi.
Beberapa pementasan yang pernah dilarang antara lain Maaf. Maaf. Maaf tahun 1978, Sampek Engtay tahun 1989, Suksesi tahun 1990, dan pementasan ulang Opera Kecoa tahun 1990. Represi yang dialami Teater Koma justru mencuatkan kegelisahan banyak orang tentang kebebasan berekspresi warga yang direnggut Orde Baru.
Di tengah berbagai tekanan politik, Teater Koma terus konsisten berkarya. Mereka membangun basis penonton setia lewat pementasan yang rutin digelar setiap tahun. Satu karya bisa dipentaskan Teater Koma selama berhari-hari dan selalu menyedot penonton.
Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, Teater Koma menghadapi dua tekanan berat sekaligus, yakni tekanan ekonomi dan kesehatan. Teater Koma tak bisa pentas seiring pembatasan jarak fisik. Dengan begitu, tidak ada uang yang masuk untuk menjalankan roda Teater Koma. Selain itu, sejumlah anggotanya, termasuk pelakon, meninggal akibat Covid-19.
KOMPAS/BUDIARTO DANUJAYA (BUD)
Pentas Teater Koma, Sandiwara Para Binatang, pada Oktober 1987. Pentas berkisah tentang revolusi para binatang. Mereka mengambil alih kekuasaan di peternakan Manor dari manusia bernama Yonas, lalu membangun sebuah republik baru: peternakan para binatang.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Adegan dalam geladi bersih pementasan teater Sampek Engtay karya Nano Riantiarno di Ciputra Artpreneur Theatre, Jakarta, Jumat (4/3/2022). Teater Koma akhirnya memenuhi janji untuk menggelar lakon Sampek Engtay setelah tertunda hampir dua tahun karena pandemi. Pertunjukan Sampek Engtay pada 5-6 Maret 2022 berlangsung dengan protokol kesehatan yang ketat. Teater Koma menyatakan masih ada 1.200 tiket yang belum dikembalikan dan masih disimpan oleh calon penontonnya.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Teater Koma mementaskan lakon Roro Jonggrang yang digelar di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (13/10/2022). Roro Jonggrang yang disutradarai Nano Riantiarno merupakan produksi ke-225 Teater Koma.
Namun, mereka berusaha keras untuk bertahan, antara lain dengan membuat program Digitalisasi Koma. Dari situ, Teater Koma menghasilkan beberapa pentas dalam jaringan (daring), baik berupa penayangan dokumentasi pentas-pentas Koma maupun pentas-pentas dengan naskah, aktor, sutradara, dan desain produksi baru. Meski, untuk itu, Nano mempertaruhkan reputasi puluhan tahun sebagai sutradara seni pertunjukan dan luluh memasuki dunia digital; dunia yang ia akui jauh dari imajinasinya.
Pada awal Maret 2022 ketika pandemi mereda, Teater Koma akhirnya bisa pentas lagi. Mereka tampil dengan lakon Sampek Engtay yang, menurut Nano, sudah 120 kali dipentaskan. ”Kami kemarin tampak luar biasa bahagia. Saya bahagia, mereka bahagia, dan kami semua bahagia,” kata Nano ketika itu (Kompas, 13/3/2022).
Contoh terbaik
Melihat kiprah Nano yang panjang, sutradara film Garin Nugroho berpendapat, Nano bukan saja seorang pegiat teater. Ia juga membangun sejarah, penonton, dan sistem organisasi teater. Totalitas langka yang ditemukan lewat konsistensi, dedikasi, dan kreativitas tanpa henti.
”Terbukti dengan sejarah panjang Teater Koma. Tak pernah titik karena kerja budayanya akan menjadi pustaka besar teater,” ujar Garin.
Seno Gumira Ajidarma menyebut Nano adalah contoh terbaik saat ini sebagai orang yang hidup dan menghidupi kelompok teater. Teater Koma yang bertahan sejak 1977 juga mewariskan manajemen teater terbaik saat ini.
”Teater Koma menunjukkan bagaimana hidup, bukan bagaimana pentas. Selain itu, Teater Koma paling berhasil menjaga penonton untuk tetap mengikuti setiap pementasannya,” ujar Seno, yang belum lama ini bertemu Nano dan diberi buku novel berjudul Perang Jin yang ditulis Nano.