Harus ada semacam rekayasa sosial-politik tertentu untuk menghindarkan antagonisme sosial agar tidak lepas kendali. Salah satu langkah sederhana ialah mengembangkan etik mengendalikan diri.
Oleh
ULIL ABSHAR-ABDALLA
Ā·3 menit baca
PANDU LAZUARDY PATRIARI
Ulil Abshar-Abdalla
Ada dua pokok soal yang akan dibahas di sini. Pertama, tentang gejala pengutuban atau polarisasi politik yang marak dalam 10 hingga 15 tahun terakhir di negeri ini. Kedua, bagaimana langkah yang harus diambil untuk menghadapi pengutuban itu.
Dalam politik yang terbuka, gejala pengutuban politik mungkin lumrah. Pengutuban adalah akibat alamiah dari persaingan antarkelompok/golongan politik yang berbagai-bagai.
Dalam politik yang tertutup, persaingan semacam itu tentu tidak dimungkinkan. Di sana, keberagaman golongan dalam masyarakat (apa yang dalam ilmu politik disebut political cleavages) tak tecermin di permukaan. Ia ditekan jauh ke bawah karpet melalui ātangan besiā represi politik. Dari sana lahir ketenangan dan harmoni, tetapi semu. Kita pernah mengalami hal ini dalam rezim Orde Baru dulu.
Sekarang kita memasuki era politik terbuka. Namun, setiap era politik menciptakan komplikasi dan masalahnya sendiri. Tidak ada āfirdaus politikā di muka bumi ini. Setiap sistem dan jalan politik yang diambil akan menimbulkan risiko masing-masing. Selalu ada āharga sosialā yang harus dibayar. Kita, sebagai bangsa, sudah memilih jalan demokrasi dan politik terbuka. Inilah ijmak atau konsensus politik bangsa ini. Tidak ada lagi political U-turn atau putar balik dari jalan itu, saya kira.
Harga yang harus dibayar ialah pengutuban sosial-politik. Tampaknya pengutuban memang tak terhindarkan dalam politik yang terbuka. Jika kita ingin kembali pada harmoni semu dalam rezim Orba dulu, berarti kita kembali pada politik otoritarianāsesuatu yang kudu kita hindari. Namun, hal ini tidak berarti kita berserah diri, ātawakalā, menerima keadaan. Ini tak berarti kita menerima pengutuban politik sebagai fakta yang sudah terberi begitu saja. Kita mesti berupaya menghindari dampak-dampak negatif dari pengutuban politik.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menyuarakan semangat nasionalisme terus digaungkan masyarakat melalui beragam cara. Salah satu bentuk ekspresi itu dituangkan melalui media mural seperti terlihat di kawasan Pisangan, Tangerang Selatan, Banten, Senin (21/2/2022). Semangat nasionalisme penting untuk menjaga keutuhan bangsa di tengah polarisasi akibat politik identitas saat pemilu lalu.
Ada dua jenis pengutuban politik. Pertama, pengutuban alamiah sebagai akibat wajar dari keberagaman aliran dan golongan politik yang de facto ada dalam masyarakat. Kedua, pengutuban politik yang terjadi karena dinamika sosio-politik tertentu yang menyebabkan keberagaman itu justru berujung pada antagonisme sosial. Antagonisme terjadi karena pelbagai sebab yang membutuhkan analisis terpisah di luar ruangan ini.
Salah satu sebab yang patut disebut ialah perilaku pragmatis-oportunistis sebagian aktor politik. Mereka hendak meraup dukungan suara secara gampangan, misalnya dengan memolitisasi keberagaman identitas-identitas sosial yang bersifat partikular. Inilah yang sering disebut politik identitas. Ikatan-ikatan emosional dalam masyarakat dieksploitasi untuk menciptakan ceruk suara bagi satu-dua partai atau tokoh politik tertentu. Dari sana lahirlah antagonisme sosial yang membahayakan. Kita mengalami hal ini sejak lebih kurang 15 tahun terakhir.
Gejala pengutuban politik yang berujung pada antagonisme bukan hal yang khas Indonesia. Ini gejala global. Dalam bentuknya yang lebih parah, hal serupa terjadi di Amerika Serikat sekarang. Berakhirnya Perang Dingin pada awal tahun 1990-an memang membawa era baru: maraknya politik berbasis identitas dan ikatan-ikatan emosional yang sempit.
Di era ini, kita menyaksikan apa yang oleh Thomas Meyer, sarjana ilmu politik asal Jerman, disebut identity mania. Gejala maniak identitas itu, pada perkembangan berikutnya, memicu lahirnya aktor-aktor politik yang secara oportunistis hendak āmenumpangā saja (free riding politician). Inilah yang kemudian melahirkan politik populisme.
Pengutuban politik jenis kedua itu jelas berbahaya. Sebab, keberagaman identitas tidak diolah untuk memperkokoh integrasi masyarakat melalui proses penyerbukan silang, tetapi dipolitisasi untuk menciptakan ceruk suara yang dapat dikeruk dengan gampang.
Akibatnya adalah ancaman disintegrasi sosial. Ancaman tersebut begitu nyata hari-hari ini karena perkembangan teknologi digital yang melahirkan apa yang disebut media sosial (medsos). Sifat komunikasi yang sangat terbuka dan tanpa proses editing dalam ruang medsos menyebabkan ancaman antagonisme begitu akut.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Sebanyak 352 warga bekerja sebagai tenaga pelipat surat suara di GOR Pangukan, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (20/3/2019). Surat suara tersebut akan mulai didistribusikan pada H-3 pemilu.
Menghadapi situasi semacam ini harus ada semacam rekayasa sosial-politik tertentu untuk menghindarkan antagonisme sosial agar tidak lepas kendali. Salah satu langkah sederhana ialah mengembangkan etik mengendalikan diri (the ethics of self-restrain), terutama di kalangan tokoh, cendekiawan, ulama/kiai, selebritas, dan kalangan lain yang secara umum bisa disebut pemengaruh (influencer). Untuk sementara waktu, kalangan pemengaruh ini, sebaiknya, tak terlibat dalam politik dukung-mendukung dalam pemilu mendatang.
Saya tidak menganjurkan sikap golput. Sama sekali tidak. Belajar dari pengalaman dua pemilu yang lalu, keterlibatan para pemengaruh dalam politik dukung-mendukung dan blok-blokan politik telah memperparah pengutuban di tengah masyarakat. Diperlukan etik āmengendalikan diriā guna menghambat agar pengutuban ini tak lepas kendali.