Dalam demokrasi dan politik yang sehat, haruslah ada keseimbangan antara dua sikap berikut ini, yakni loyal kepada penguasa yang memenangi pertarungan dalam sebuah pemilu yang terbuka; tetapi juga sekaligus ”skeptis”.
Oleh
ULIL ABSHAR ABDALLA
·3 menit baca
Demokrasi tidak akan sehat walafiat tanpa sikap skeptis dalam dosis yang wajar. Sikap-sikap skeptis ini biasanya datang dari pihak-pihak yang berada di luar lingkaran kekuasaan. Biasanya sikap semacam ini akan membikin kurang nyaman status quo politik. Walakin, skeptisisme ini akan menyuburkan demokrasi; kita pun amat membutuhkannya untuk mengembangkan iklim politik yang sehat dalam jangka panjang.
Demokrasi butuh skeptisisme—inilah ”tesis kecil” yang mau saya kembangkan dalam analisis pendek ini. Untuk menutup tahun 2022, ada baiknya tesis kecil ini diuraikan kembali. Yang saya maksudkan skeptisisme di sini ialah sikap tidak seluruhnya ”mengamini” begitu saja apa pun yang diketengahkan oleh pihak yang berkuasa.
Dalam demokrasi dan politik yang sehat, haruslah ada keseimbangan antara dua sikap berikut ini, yakni loyal kepada penguasa yang memenangi pertarungan dalam sebuah pemilu yang terbuka; tetapi juga sekaligus ”skeptis” dan tidak sepenuhnya tawakal alias berserah diri kepada penguasa tersebut. Jika mau memakai nomenklatur teologi Islam, harus ada dua sikap ini sekaligus: jabariyah (berserah diri; dalam pengertian loyal kepada penguasa) dan qadariyah (bersikap kritis/skeptis). Inilah sikap yang kerap disebut ”loyalitas kritis”.
Apa yang saya tulis ini bukanlah barang baru. Bahwa demokrasi dan politik yang sehat membutuhkan sejumput skeptisisme sudah diketahui oleh banyak pihak. Hanya saja, ”kebenaran sederhana” ini, dalam beberapa tahun terakhir, tenggelam dan nyaris diabaikan karena adanya polarisasi politik yang begitu hebat di tengah-tengah masyarakat.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Contoh surat suara dengan desain yang disederhanakan saat simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Saat ini kita sedang melewati masa-masa yang agak menjengkelkan dalam perkembangan demokrasi di negeri ini; situasi either/or (atau ini, atau itu): you ikut kami atau di seberang kami. Jika bersama kami, you kawan. Jika di seberang, you lawan. Kita tidak pernah mengira bahwa kira-kira dua puluh tahun setelah reformasi, perkembangan demokrasi kita sampai kepada ”muara politik” seperti ini.
Dalam situasi yang terkutub-kutub ini, sikap skeptisisme yang dibutuhkan untuk menyehatkan demokrasi kerap dianggap sebagai ”ancaman” oleh mereka yang kebetulan sedang menikmati kekuasaan. Dalam situasi ”atau ini, atau itu” seperti ini, loyalitas kritis seperti dimustahilkan. Yang ada ialah pilihan hitam-putih: jika mendukung ”kami”, loyalitas Anda harus penuh, tidak boleh lonjong, apalagi persegi panjang.
Dalam satu segi, kita menyaksikan suatu ”versi baru” dari keadaan di era Orba dulu. Dengan mengatakan ini, tentu saya tidak menyangkal adanya sejumlah perubahan positif yang fundamental dalam susunan politik kita. Secara kategoris kita, bagaimanapun, telah meninggalkan Orba. ”But its vestiges still linger with us”.
Kaum terdidik dan intelektual memiliki tugas moral yang berat untuk merawat ”kewarasan politik” dengan tetap mempertahankan sikap skeptis ini. Kekuatan-kekuatan skeptis juga perlu dikembangkan di tengah-tengah masyarakat, terutama di dunia akademik. Tetapi, skeptisisme tidaklah berarti sikap ”anti-pemerintah” secara serampangan—sikap yang akhir-akhir ini sering kita lihat pada pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
Status quo politik tidak perlu cemas pada suara-suara skeptis yang loyal seperti ini. Hanya sikap seperti inilah yang pelan-pelan bisa mengatasi polarisasi politik saat ini.