Bonus Demografi Minus Gizi
Bonus demografi berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi karena penduduk didominasi usia produktif. Masalah-nya kita masih menghadapi tantangan gizi penduduk yang berpotensi mempengaruhi tingkat produktivitas.
Hari Gizi Nasional yang diperingati setiap 25 Januari menjadi momentum membangkitkan kesadaran dan kepedulian penduduk Indonesia tentang pentingnya gizi seimbang untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
Liputan Kompas (9/12/ 2022) memperkirakan sekitar 68 persen penduduk Indonesia tak mampu memenuhi kebutuhan gizi seimbang sehingga perlu respons kebijakan yang tepat.
Berdasarkan pengolahan data Susenas BPS 2019 (sebelum pandemi) dan 2022 (saat pandemi), rata-rata pengeluaran makanan per kapita naik hingga 16,9 persen, dari sekitar Rp 618.000 per bulan menjadi Rp 722.000 per bulan. Namun, rata-rata asupan kalori yang berasal dari makronutrien (karbohidrat, protein, dan lemak) penduduk justru turun 1,7 persen.
Artinya, biaya pemenuhan kecukupan energi dan gizi semakin mahal. Hanya 20 persen rumah tangga dengan pengeluaran tertinggi yang mengalami kenaikan asupan kalori. Data itu belum memperhitungkan asupan mikronutrien (vitamin dan mineral) yang juga penting bagi tubuh manusia.
Baca juga : Akar Masalah Gizi Warga Tak Seimbang
Baca juga : Senang karena Anak Tergolong Gizi Buruk
Selama periode bonus demografi yang berlangsung sejak 2012, kita masih menghadapi tantangan gizi penduduk. Bonus demografi berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi karena penduduk didominasi usia produktif (70,72 persen, Sensus Penduduk 2020).
Namun, bonus demografi barulah sebatas potensi. Menjadi bermanfaat jika kita mampu mentransformasi besarnya penduduk usia produktif menjadi produktivitas ekonomi sesungguhnya sehingga mempercepat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan.
Manfaat bonus demografi tak akan optimal jika produktivitas penduduk rendah. Rendahnya produktivitas bisa diakibatkan malanutrisi penduduk. Malanutrisi (salah gizi) adalah kondisi masalah kecukupan energi dan gizi seseorang akibat pola makan yang kurang tepat.
Malanutrisi mencakup kekurangan gizi (undernutrition) ataupun kelebihan gizi (overnutrition). Kondisi malanutrisi berdampak buruk pada kualitas hidup manusia, meningkatkan risiko penyakit dan komplikasi, serta menurunkan produktivitas.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengingatkan, kurang gizi menghambat seseorang mencapai potensi produktivitas terbaiknya. Siswa dengan gizi buruk cenderung berprestasi rendah di sekolah dan memengaruhi produktivitasnya di masa depan.
Bagi penduduk usia produktif, kurang gizi menyebabkan rendahnya produktivitas kerja. Semakin rendah produktivitas, semakin rendah pendapatannya, semakin rendah pula kemampuan memenuhi kebutuhan gizi seimbang. Ibu hamil kurang gizi cenderung melahirkan bayi tengkes (stunting) dengan risiko kesehatan dan kemampuan kognitif buruk dalam jangka panjang.
Tantangan saat ini
Pemerintah sedang berupaya keras menurunkan angka tengkes pada anak balita. Tengkes merupakan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang.
Untuk Hari Gizi Nasional 2023, pemerintah menetapkan tema ”Cegah Stunting dengan Protein Hewani”. Mengingatkan masyarakat tentang pentingnya asupan protein yang berasal dari konsumsi bahan pangan hewani untuk mencegah tengkes.
Studi menunjukkan, tengkes tak melulu karena masalah gizi, tetapi juga bisa karena infeksi berulang (recurrent infection) yang dialami anak balita. Oleh karena itu, penanganan tengkes menggunakan dua jenis intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik (menyangkut pemenuhan gizi seimbang) dan intervensi gizi sensitif (menyangkut perbaikan sumber masalah infeksi berulang pada anak balita).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan sekitar 37,2 persen anak balita mengalami tengkes di Indonesia, jumlah yang sangat besar.
Prevalensi tengkes terus turun, mencapai 24,4 persen anak balita (SSGI, 2021) dan ditargetkan 14 persen di 2024. Meski secara nasional capaiannya membaik, masih ada provinsi dengan prevalensi tengkes yang tinggi, di atas 30 persen, yaitu Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB, Aceh, Sulawesi Barat, dan NTT. Perlu pemerataan capaian penurunan tengkes di semua daerah.
Berbagai studi menunjukkan bahwa investasi perbaikan gizi masyarakat terbukti berpengaruh positif terhadap produktivitas ekonomi suatu negara dalam jangka panjang.
Tantangan gizi juga dialami kelompok remaja. Hasil global school-based student health survey (GSHS) untuk Indonesia pada 2015 (kerja sama WHO dan Kementerian Kesehatan) menunjukkan perilaku berisiko pelajar SMP dan SMA terkait gizi.
Diketahui 9,12 persen pelajar SMP dan SMA tak pernah makan buah dalam 30 hari terakhir. Ada 44,6 persen siswa yang tak pernah atau jarang sarapan.
Padahal, sarapan sangat penting sebagai sumber energi utama sepanjang hari dan mendukung prestasi belajar. Selain itu, 68,3 persen pelajar SMP dan SMA hampir tak pernah membawa bekal makan siang ke sekolah meski pelajaran selesai setelah lewat jam makan siang.
Berdasarkan data Riskesdas 2018 diketahui, 8,7 persen remaja usia 13-15 tahun terkategori kurus dan sangat kurus yang mencerminkan kurang gizi. Sebaliknya, ada 16 persen remaja di usia yang sama mengalami obesitas dan kegemukan (kelebihan gizi). Artinya, hampir 25 persen remaja usia SMP mengalami masalah malanutrisi.
Upaya yang diperlukan
Berbagai studi menunjukkan bahwa investasi perbaikan gizi masyarakat terbukti berpengaruh positif terhadap produktivitas ekonomi suatu negara dalam jangka panjang. FAO bahkan mengestimasi bahwa manfaat intervensi gizi mencapai 13 kali lipat lebih besar ketimbang biaya yang dikeluarkan.
Upaya pemerintah untuk mengatasi tengkes patut diapresiasi. Pemenuhan gizi seribu hari pertama kehidupan sejak dalam kandungan hingga usia dua tahun sangat penting dalam membentuk manusia berkualitas. Namun, pemenuhan gizi seimbang juga dibutuhkan seluruh kelompok usia.
Berdasarkan kesepakatan World Food Summit 1996, keamanan pangan (food security) terwujud ketika semua penduduk, di seluruh waktu, memiliki akses, baik secara fisik maupun ekonomi, untuk mengonsumsi pangan aman dan bergizi yang memenuhi kebutuhan makan sesuai preferensinya demi mencapai hidup aktif dan sehat.
Pemerintah perlu mengatasi tantangan malanutrisi yang dihadapi seluruh kelompok sosial-ekonomi penduduk. Kebijakan untuk memastikan ketersediaan pangan yang beragam, sesuai kebutuhan dan preferensi masyarakat dengan harga terjangkau, tentu menjadi prasyarat utama pemenuhan gizi seimbang penduduk.
Selain itu, ada dua upaya kebijakan yang dapat dipertimbangkan pemerintah.
Pertama, untuk mengatasi masalah gizi anak dan remaja, pemerintah dapat mengembangkan program ”makan bergizi seimbang di sekolah”.
Program ini juga membentuk perilaku konsumsi pangan sehat sejak usia muda. Pemerintah daerah didukung pemerintah melakukan intervensi pemberian sarapan atau makan siang di tingkat sekolah dasar.
Pemenuhan gizi seimbang juga harus mengedepankan pemanfaatan bahan pangan lokal, yang cenderung lebih murah, mudah diakses, dan sesuai preferensi.
Makanan yang disiapkan harus memenuhi kriteria gizi seimbang, memanfaatkan bahan pangan produksi petani lokal.
Selain memperbaiki gizi anak, juga menggerakkan ekonomi lokal. Setidaknya 28,2 juta siswa SD sederajat dapat menjadi sasaran program ini. Hal serupa dapat diterapkan untuk tingkat SMP dan SMA sederajat dengan sasaran masing-masing sekitar 13 juta siswa.
Kedua, meningkatkan literasi dan mendorong perubahan perilaku penduduk dalam pemenuhan gizi seimbang di tingkat keluarga dan komunitas.
Pemerintah melalui Permenkes No 28/2019 tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk masyarakat Indonesia, sudah menyediakan acuan penerapan gizi seimbang. Namun, pengetahuan tentang gizi harus didiseminasikan ke masyarakat dengan cara yang menarik, mudah dipahami, dan disampaikan secara berulang-ulang.
Perhatikan pembawa dan bentuk pesan yang disampaikan untuk masing-masing kelompok umur, wilayah, dan budaya. Pemenuhan gizi seimbang juga harus mengedepankan pemanfaatan bahan pangan lokal, yang cenderung lebih murah, mudah diakses, dan sesuai preferensi.
Pemenuhan gizi seimbang penduduk adalah salah satu investasi terbaik dalam pembangunan Indonesia, terlebih di era bonus demografi.
Sonny Harry B HarmadiKetua Umum Koalisi Kependudukan Indonesia; Pengajar Departemen Studi Pembangunan FDKBD ITS