Mereka tidak lagi mendapat panduan yang memadai untuk mengonsumsi makanan dengan berbagai variasi sumber gizi. Mereka terpapar dengan pesan yang lebih mendorong mereka untuk makanan dengan gizi tidak seimbang.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Proporsi warga yang tidak mampu mengakses makanan bergizi seimbang cukup besar. Ada sejumlah akar masalah pangan ini yang perlu dibenahi.
Tim jurnalisme data harian Kompas menghitung biaya yang perlu dikeluarkan orang Indonesia untuk membeli makan bergizi seimbang atau sehat sebesar Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan. Harga tersebut berdasar standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB) yang juga digunakan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO). Dengan biaya sebesar itu, ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut. Hitungan lain yang digunakan dalam analisis ini adalah standar Bank Dunia yang menetapkan pengeluaran untuk bahan pangan maksimal 52 persen dari pengeluaran total keluarga (Kompas, 9/10/2022).
Perbincangan tentang kualitas gizi warga sebenarnya telah menjadi obrolan sehari-hari. Akan tetapi, sangat disayangkan obrolan itu malah merelatifkan masalah yang tersembunyi. Konsumsi makanan tak bergizi seimbang menjadi materi lucu-lucuan yang kadang malah menghilangkan masalah sebenarnya, seperti sebutan generasi micin (MSG), generasi cilok, dan generasi makanan instan. Belum lagi pemengaruh (influencer) yang mungkin didanai oleh merek tertentu lebih banyak memamerkan konsumsi makanan tidak sehat dan tak seimbang.
Tingginya persentase warga yang mengonsumsi makanan tak seimbang sebagian besar karena akses. Mereka secara perhitungan sangat jelas tak mungkin mampu membeli makanan bergizi dengan uang yang dimiliki. Persoalan pendapatan menjadi masalah pokok.
Bila saja pendapatan memadai, akses makanan seimbang ternyata makin tak mudah. Di berbagai kantor dan pabrik di kota besar kita bisa melihat kenyataan karyawan yang mengonsumsi makanan siang dengan menuh yang jauh dari kandungan gizi yang memadai. Apalagi menu malam hari, komposisi gizi makin tidak ideal.
Akan tetapi, apakah dengan kenaikan pendapatan dan akses yang mudah akan menyelesaikan masalah? Sepertinya tidak. Soal komunikasi makanan seimbang yang makin minim menjadikan wawasan masyarakat tentang menu-menu berimbang tidak melekat di pikiran sebagian besar orang. Mereka tidak lagi mendapat panduan yang memadai untuk mengonsumsi makanan dengan berbagai variasi sumber gizi. Hari-hari mereka terpapar dengan pesan-pesan yang lebih mendorong mereka untuk makanan dengan gizi tidak seimbang.
Kita masih ingat kampanye pada masa lalu tentang 4 Sehat 5 Sempurna dan kampanye minum susu yang masif yang ternyata mampu menyadarkan warga untuk menyiapkan menu seimbang. Kita membutuhkan pendekatan baru agar dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah, perusahaan, dan warga bisa bersiasat untuk menghadirkan menu seimbang. Kita berharap masalah ini terselesaikan sehingga problem tengkes dan rata-rata kecerdasan yang rendah terselesaikan.