Sesuatu hal yang sangat alamiah di masa lalu, yakni bertemu tatap muka dengan orang lain, menjadi sesuatu yang amat langka dan harus diperjuangkan untuk ada di masa kini.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Setelah internet mengendalikan hidup kita, saya khawatir, bahwa anak muda jadi jauh lebih sulit membina dan mempertahankan pertemanan dibanding generasi sebelumnya. Saya sempat bertanya-tanya sendiri: perlukah saya sedemikian cemasnya? Apakah yang saya pikirkan benar? Siapa tahu saya terlalu negatif dalam melihat dampak internet dan kurang melihat sisi-sisi positifnya?
Benarkah demikian? Saya ingin berbagi tema-tema dan temuan penelitian mahasiswa kami. Singkat kata, untuk mata kuliah Penelitian Kualitatif yang lalu, kami meminta mahasiswa berkelompok 5-7 orang melakukan penelitian kecil dengan payung tema ”aspek psikologi dari kehidupan anak muda (pasca) pandemi”. Mereka harus menetapkan tema yang lebih spesifik, dan mengambil data melalui wawancara.
Di kelas yang saya ampu ada delapan kelompok. Dari delapan kelompok itu ada enam kelompok yang mengambil topik seputar kesepian, pertemanan, dan adaptasi untuk memperoleh hubungan yang bermakna. Satu kelompok mengaitkan hal di atas dengan perilaku menggunakan aplikasi kencan. Kelompok lain mengambil topik perilaku berbelanja dan pemasaran dari mulut ke mulut lewat media sosial, serta perilaku bermain gim yang eksesif. Dua topik yang tidak terkait pertemanan, tetapi juga sarat dengan konteks kehidupan di era digital.
Pertemanan
Sebelum adanya internet, kita banyak bergaul dengan orang lain secara tatap muka langsung. Yang introver mungkin tidak demikian banyak berinisiatif membuka pertemanan dan jarang ikut dalam kumpul-kumpul kelompok besar. Tetapi, mereka tetap menjalin pertemanan (yang mereka anggap lebih dalam dan bermakna) dengan sekelompok kecil orang.
Sesuatu hal yang sangat alamiah di masa lalu, yakni bertemu tatap muka dengan orang lain, menjadi sesuatu yang amat langka dan harus diperjuangkan untuk ada di masa kini.
Yang ekstraver dan senang bersosialisasi akan banyak menghabiskan waktu berkumpul dengan teman, menjalin perkenalan baru, ikut organisasi, dan menyemangati diri sendiri dengan bertemu banyak orang lain.
Bersosialisasi dengan teman itu adalah kebutuhan, meski kita memiliki karakteristik kepribadian yang berbeda, dengan latar belakang berbeda-beda. Dan menjalin pertemanan, di masa sebelum hadirnya internet, menjadi aktivitas yang alamiah saja, dengan sendirinya terjadi. Secara alamiah pula kita belajar keterampilan sosial dan kepedulian sosial.
Generasi sebelumnya bertemu langsung di satu tempat yang sama, saat menunggu bareng saling membuka percakapan, bercerita mengenai minat, dan seterusnya sehingga dapat menjalin hubungan akrab lebih lanjut yang sifatnya langsung. Maksudnya, tidak diperantarai internet.
Di masa kini situasinya sangat berbeda. Meski telah menyangka bahwa mahasiswa ada yang akan mengambil topik tentang kesepian, pertemanan, dan hubungan bermakna, saya tidak menduga bahwa tema itu diambil oleh enam dari delapan kelompok yang ada.
Satu kelompok mahasiswa bahkan memilih meneliti ”kesepian eksistensial”. Kesepian dapat dibedakan pada kesepian sosial dan kesepian emosional. Kesepian sosial dapat muncul ketika kita tidak memiliki kelompok yang lebih luas atau jaringan sosial. Kesepian emosional menunjuk pada situasi ketika kita tidak memiliki sosok khusus dengan siapa kita punya hubungan yang lebih mendalam. Kesepian eksistensial lebih mendalam daripada dua kesepian di atas. Selain dua kesepian di atas, juga ada rasa bingung dan tidak berdaya dalam menjalani hidup.
Berkoneksi
Dalam diskusi kami menyiapkan penelitian, mahasiswa bercerita tentang tidak memiliki teman dan harus mencari cara untuk mendapat dan mempertahankan teman. Saya bertanya, ”Memang kalau tidak melakukan sesuatu, kalian tidak akan punya teman?” Mereka menjawab, ”Tidak Mbak, karena, kan, semua sibuk dengan urusan masing-masing. Kuliah, ya, kuliah saja, setelah selesai tidak ada ngobrol-ngobrol di luar topik kuliah. Apalagi, kalau kuliahnya daring.”
Mereka bercerita, harus berpikir bagaimana caranya berkenalan. Dan kalau sudah berkenalan, bagaimana berupaya agar hubungan dapat dipertahankan, syukur-syukur dapat berteman dengan lebih dekat.
Tugas kelompok, meski kadang membuat mereka sangat tertekan, menjadi cara untuk dapat menjalin pertemanan lebih lanjut. Ini karena saat menyelesaikan tugas kelompok, mereka harus saling berkomunikasi di luar kelas, yang dapat memberi kesempatan untuk mengobrol hal yang sifatnya lebih personal juga.
Bagaimana cara mereka mendapat dan mempertahankan teman? Dengan berbagai cara berbeda. Untuk yang ekstraver dan senang bergaul, mungkin lebih mudah. Mereka memang senang bersosialisasi sehingga dapat memiliki berbagai ide dan alasan untuk membuka hubungan.
Untuk yang kikuk dan kurang percaya diri diperlukan upaya ekstra. Mereka harus melawan kekikukan dan rasa cemasnya dengan menyapa duluan, mencari-cari alasan untuk dapat ngobrol hal-hal yang lebih informal di luar materi kuliah, mengajak bertemu langsung, dan seterusnya.
Singkat kata, sesuatu hal yang sangat alamiah di masa lalu, yakni bertemu tatap muka dengan orang lain, menjadi sesuatu yang amat langka dan harus diperjuangkan untuk ada di masa kini. Ini bukan hal mudah karena kelangkaan bertatap muka sekaligus membuat kita lebih sulit mengambil perspektif orang lain, berempati, memiliki kepedulian, dan mengembangkan keterampilan sosial.
Tambahan lagi, dunia yang diperantarai internet menghadirkan dirinya lewat media sosial, yang menampilkan representasi manusia secara visual yang seolah amat sempurna. Orang lain terlihat lebih cantik, lebih kaya, lebih hebat, lebih populer, lebih bahagia. Meski tidak sedikit yang dipoles dan palsu, tampilan kesempurnaan di media sosial dapat membuat kepercayaan diri anak muda rontok, yang mempersulitnya membangun hubungan sosial.
Maka, dalam dunia yang diperantarai internet ini, kita tetap perlu memastikan bahwa kesempatan-kesempatan untuk bertemu tatap muka tetap ada dan mencukupi. Agar manusia tetap dapat terkoneksi dengan orang lain dan dirinya sendiri, serta menemukan makna dari keberadaannya di dunia.