Menghentikan kompetisi Liga 2 dan Liga 3 menimbulkan sejumlah masalah baru. Semua pihak terkait harus duduk bersama untuk mencari jalan keluar terbaik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali bersama sejumlah perwakilan klub Liga 2 Indonesia di Gedung Kemenpora, Senayan, Jakarta, Senin (16/1/2023). Perwakilan klub Liga 2 mengadukan penghentian kompetisi Liga 2 setelah tragedi Kanjuruhan.
Keputusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia dan PT Liga Indonesia Baru untuk menghentikan kompetisi sepak bola Liga 2 dan Liga 3 musim 2022-2023 menyisakan setumpuk masalah baru, seperti kondisi ekonomi pemain dan dan kerugian material yang dialami klub. Hal ini mendesak untuk segera diselesaikan.
Keputusan menghentikan kompetisi Liga 2 dan Liga 3 diputuskan dalam rapat Komite Eksekutif PSSI dan PT LIB pada 12 Januari 2023. Pengetatan izin penyelenggaraan pertandingan serta penilaian ulang pada standar keamanan dan kelayakan stadion menjadi faktor pendorong untuk menghentikan kompetisi di dua jenjang tersebut.
Ini bukan pertama kalinya kompetisi sepak bola di Indonesia terhenti di tengah jalan, termasuk saat terjadi pandemi Covid-19 pada Maret 2020. Namun, kali ini terasa lebih berat untuk klub dan pemain karena kompetisi sudah telanjur dihentikan sementara setelah terjadi Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali (tengah) menerima perwakilan klub Liga 2 serta pemain di Kantor Kemenpora, Jakarta, Senin (16/1/2023). Menpora berjanji akan mencari jalan keluar agar Liga 2 dan Liga 3 yang dihentikan oleh PSSI bisa dilanjutkan.
Sejak insiden itu, klub tetap menggaji pemain, pelatih, dan tenaga pendukung karena masih berpikir kompetisi akan dilanjutkan. Ketika akhirnya kompetisi dihentikan, kerugian klub semakin bertumpuk. Jika klub tak mampu membayar gaji, kehidupan 817 pemain di 28 klub Liga 2, serta ratusan pemain lain di 64 klub Liga 3 pasti terdampak.
Menpora diharapkan bisa menjembatani kepentingan klub, pemain, PSSI, dan PT LIB. Untuk itu, semua pihak harus duduk bersama untuk mencari jalan keluar terbaik.
Sebagian pemain mulai menyambung hidup dengan bermain pada kompetisi ”tarkam” tanpa kepastian. Sebagian pemain lain menjalankan usaha sampingan. Kesulitan ini membuat klub berharap liga bisa dilanjutkan dengan sistem gelembung karena tidak sanggup menjalani kompetisi dengan sistem laga kandang-tandang.
Namun, permintaan ini tidak bisa dipenuhi PT LIB. Sistem gelembung membuat semua biaya operasional menjadi tanggungan LIB sebagai operator kompetisi. LIB juga beralasan penilaian kelayakan mayoritas stadion yang digunakan klub Liga 2 belum selesai dilakukan pemerintah, dan sebagian besar stadion tak layak menggelar pertandingan pada malam hari.
Tak heran, perwakilan pemain dan klub mengadukan kondisi ini kepada Menteri Pemuda dan Olahraga. Menpora diharapkan bisa menjembatani kepentingan klub, pemain, PSSI, dan PT LIB. Untuk itu, semua pihak harus duduk bersama untuk mencari jalan keluar terbaik.
Hal ini tak akan mudah diselesaikan karena perhatian PSSI sebulan ke depan penuh dengan ingar-bingar Kongres Luar Biasa untuk memilih ketua umum dan komite eksekutif. Pengurus baru PSSI kemudian disibukkan dengan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 pada 20 Mei-11 Juni. Dampaknya, kompetisi sudah harus selesai sebelum Mei agar tidak kembali tertunda. Tantangan berat yang harus diatasi tanpa mengorbankan klub, pemain, dan sepak bola Indonesia secara keseluruhan.