Resolusi BUMDes 2023
Gairah kemajuan BUMDes terkendala beberapa hambatan struktural dan psikokultural. Perlu langkah inovasi kebijakan dan penerbitan peraturan perundang-undangan yang mengayomi kelembagaan, pengelola, dan unit usaha BUMDes.
Badan usaha milik desa atau BUMDes menjadi tumpuan bagi pengembangan ekonomi perdesaan. BUMDes juga diletakkan sebagai pranata bisnis yang mengangkat potensi produk unggulan desa. Ikhtiar memajukan BUMDesa ditegaskan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dengan memberi ruang bagi BUMDes untuk berkolaborasi dengan kegiatan usaha BUMN dan korporasi.
Status badan hukum BUMDes yang difasilitasi oleh Kementerian Hukum dan HAM dengan berdasarkan regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 membuka peluang lebar bagi BUMDes untuk memperluas jenis usahanya. Jenis usaha yang tidak terpaku pada satu sektor usaha, tetapi merambah bisnis modern berbasis aplikasi teknologi.
Data dasar perkembangan BUMDes cukup menggembirakan dalam optik statistik. Hingga 1 Agustus 2022, dari 57.273 BUMDes, yang telah bersertifikat badan hukum usaha sebanyak 7.902 BUMDes. Dari 45.233 BUMDes yang aktif menjalankan usaha, membuka lapangan pekerjaan bagi 20.369.834 orang dengan omzet Rp 4,6 triliun.
Baca juga: Membangun Kembali Kerja Sama Desa
Kontribusi BUMDes juga signifikan dalam meningkatkan pendapatan asli desa (PADes) sebagai salah satu sumber pendapatan APBDesa sebesar Rp 1,1 triliun pada 2017-2021. BUMDes juga berhasil menggalang investasi masyarakat dalam pengembangan usaha wisata desa, usaha niaga desa, dan usaha produktif berbasis kemitraan UMKM desa.
Namun, gairah kemajuan BUMDes terkendala beberapa hambatan struktural dan psikokultural. Hambatan struktural antara lain, pertama, kendala birokratisme perizinan usaha. Perizinan usaha BUMDes mengikuti orientasi, alur, dan mekanisme, serta tata cara perizinan usaha umum. Padahal, status BUMDes belum dianggap sebagai ”institusi” bisnis yang memiliki legitimasi dalam pemahaman hukum bisnis. Perizinan usaha yang sering mempersulit BUMDes terkait dengan tata kelola dan kreasi guna aset desa berupa tanah dan bangunan.
Kedua, belum ada terobosan kebijakan kementerian dan lintas kementerian yang memberi kepastian hukum dan kepastian usaha bagi BUMDes. Beberapa kebijakan yang ditunggu BUMDes antara lain: kelonggaran dalam aspek perpajakan dan retribusi terhadap BUMDes yang harusnya dilandasi oleh Surat Keputusan Bersama antara Kemendes PDTT dengan Kementerian Keuangan. Kebijakan proteksi hukum terhadap bisnis dan pengelola BUMDes idealnya diimplementasikan dengan nota kesepahaman antara Kemendesa PDTT dengan institusi penegak hukum (kepolisan dan kejaksaan) untuk tidak mudah memproses hukum atas delik aduan masyarakat terhadap prasangka pelanggaran hukum pengelola BUMDes tanpa mempertimbangkan keputusan Musyawarah Desa.
Ketiga, kurang tegasnya Kemendesa PDTT dalam kebijakan imperatif soal prioritas penggunaan Dana Desa untuk BUMDes. Selama empat tahun terakhir, prioritas penggunaan Dana Desa melalui peraturan menteri keuangan dan peraturan menteri desa hanya meletakkan alokasi penyertaan modal untuk BUMDes yang bersumber dari Dana Desa pada urutan empat ke bawah.
Padahal, dalam logika regulasi PP No 11/2021 dan PP No 60/2014 penyertaan modal dari APBDes untuk BUMDes masuk prioritas utama, yakni dalam kluster program pemberdayaan masyarakat. Hal inilah yang menjadikan pemerintah desa dalam perumusan RKPDes dan penyusunan RAPBdes mengabaikan alokasi penyertaan modal untuk BUMDes. Hanya kepala desa yang ”smart” dan memiliki visi memajukan ekonomi desa yang berani mengalokasikan Dana Desa (APBDesa) untuk penyertaan modal.
Mayoritas pengelola BUMDes di sejumlah daerah banyak yang dari unsur ASN, pelaku usaha mikro, dan tokoh masyarakat yang tidak memiliki totalitas dalam memajukan BUMDes.
Sementara hambatan psikokultural yang menahan laju perkembangan BUMDes untuk maju dalam tahap kelembagaan bisnis yang kompatibel dan tangguh secara aset dan permodalan antara lain: minimnya sumber daya manusia (SDM) desa yang memiliki passion bisnis dan kewirausahaan untuk mengabdi pada organisasi BUMDes. Mayoritas pengelola BUMDes di sejumlah daerah banyak yang dari unsur ASN, pelaku usaha mikro, dan tokoh masyarakat yang tidak memiliki totalitas dalam memajukan BUMDes.
Demikian banyak penggiat bisnis perdesaan enggan menjadi pengurus BUMDes karena dianggap sulit menjalankan bisnis yang beririsan dengan berbagai regulasi yang sebenarnya berpunggungan dengan etos dan kelaziman bisnis perdesaan. BUMDes terbebani tanggung jawab administrasi yang rigid yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 03 Tahun 2021 dan juga tata cara pengelolaan Barang dan Jasa yang belum sepenuhnya legitimated secara hukum.
Demikian pengelola BUMDes khususnya pelaksana operasional (direktur) dan pembantunya acapkali enggan berjuang total mengabdi pada peningkatan kapasitas usaha BUMDes karena masa kerja dibatasi hanya dua periode. Dalam pandangan mereka, jika mereka bersusah payah merancang bangun bisnis BUMDes dan di waktu ke depan sukses belum tentu menikmati proses perjuangan tersebut. Pasal di dalam PP No 11/2021 tentang BUMDes yang membatasi masa kerja direktur (pelaksana operasional) BUMDes memundurkan motivasi dalam membangun kemajuan BUMDes.
Inovasi kebijakan
Jika pemangku kebijakan memahami kendala dalam mengembangkan BUMDes, idealnya melaksanakan langkah inovasi kebijakan dan juga menerbitkan produk peraturan perundang-undangan yang mengayomi kelembagaan, pengelola, dan unit usaha BUMDes. Beberapa langkah inovasi kebijakan yang ditunggu penggiat BUMDes di negeri ini adalah, pertama, revisi terbatas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2021 yang terkait dengan periodisasi jabatan direktur/pelaksana operasional BUMDes. Jabatan di BUMDes bukan jabatan politik atau jabatan publik, sebaiknya periodisasi jabatan dihapus dan diserahkan kepada keputusan kolektif dalam forum musyawarah desa sebagai ruang pengambilan kebijakan strategis BUMDes. Ini tentu saja dituangkan dalam dokumen Anggaran Dasar BUMDes yang merupakan produk hukum internal organisasi BUMDes.
Jabatan di BUMDes bukan jabatan politik atau jabatan publik, sebaiknya periodisasi jabatan dihapus dan diserahkan kepada keputusan kolektif dalam forum musyawarah desa.
Kedua, tindak lanjut penerbitan peraturan menteri atau surat keputusan bersama antar menteri terkait: a) Peraturan Menteri Desa PDTT mengenai kewajiban desa untuk melaksanakan penyertaan modal bersumber dari APBDes untuk BUMDes; b) peraturan bersama menteri keuangan dan menteri desa PDTT terkait insentif pajak dan retribusi bagi usaha/omzet usaha BUMDes; c) peraturan menteri desa tentang pengadaan barang dan jasa oleh BUMDes; d) kesepahaman bersama (mutual understanding) antara kementerian desa PDTT dengan Polri dan Kejaksaan Agung terkait mekanisme penindakan hukum korupsi atau penyalahgunaan anggaran yang diprasangkakan atau diadukan pihak tertentu, yang idealnya harus mempertimbangkan keputusan final musyawarah desa yang diamanatkan PP 11 Tahun 2021; e) Peraturan Menteri Desa PDTT tentang pemeringkatan BUMDes yang berdasarkan realitas obyektif dan bukan asumsi administratif.
Ketiga, penguatan posisi BUMDea menjadi organisasi bisnis yang siap berkompetisi dengan kelembagaan usaha/bisnis yang lain. Kebijakan yang ditunggu-tunggu implementasinya oleh penggiat BUMDes adalah kebijakan yang menjadikan BUMDes menjadi mitra utama BUMN melalui keputusan presiden. Jadi kegiatan bisnis BUMN di lokasi kawasan antar desa dan desa bisa dikerjasamakan dengan BUMDes dengan pembagian proporsi keuntungan yang signifikan bagi BUMDes. Mengingat banyak ikhtiar dan agenda aksi kerja sama usaha BUMDes dengan BUMN, BUMDes kurang diuntungkan.
Baca juga: BUMDes Berperan Mendorong Pengembangan Desa Wisata
Keempat, perlunya Kemendesa PDTT membuat peraturan menteri atau minimal surat edaran menteri yang memproteksi BUMDes dari tarik ulur kepentingan politik paska pemilihan kepala desa. Mengingat banyak studi kasus kegiatan usaha dan aktivitas kelembagaan BUMDes menjadi menurun karena residu konflik kepentingan setelah pilkades.
Kelima, pengembangan jejaring advokasi hukum terhadap kiprah bisnis dan kedudukan hukum pengelola BUMDes. Hal ini bisa diinisasi oleh pemangku kebijakan untuk meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pengelola BUMDes terkait paralegal dan advokasi hukum atas bisnis/usaha BUMDes.
Besar harapan BUMDes di negeri ini berkembang, dan usahanya mencapai kulminasi keuntungan yang memberikan manfaat bagi peningkatan pendapatan asli desa, membuka lapangan pekerjaan dan menciptakan daya ungkit ekonomi desa maupun kawasan antar desa.
Trisno Yulianto, Koordinator Forum Kajian Pengembangan Potensi Desa