Untuk menciptakan ekosistem beragama yang beradab, perlu kedewasaan dalam mentransmisikan ajaran agama yang kontekstual. Tokoh agama, pemerintah, dan kaum terdidik harus jadi simpul keteladanan dalam merajut perbedaan.
Oleh
FATHORRAHMAN GHUFRON
·4 menit baca
Perayaan Hari Amal Bakti Kementerian Agama yang ke-77 pada 2023 mengambil tema ”Kerukunan Umat untuk Indonesia Hebat”. Secara semiotis, tema ini menggambarkan sebuah rekognisi dan ko-eksistensi terhadap perbedaan yang dianut oleh setiap orang. Terlebih kondisi geografis Indonesia yang dilatari oleh berbagai tekstur lokasi yang beragam. Demikian pula postur penduduknya yang tersebar di berbagai kawasan khatulistiwa dilandasi oleh aneka rupa ekspresi penghayatan dan pengalaman.
Tidak terlalu berlebihan apabila semboyan Bhinneka Tunggal Ika dijadikan sebuah mantra kebangsaan oleh para pendiri negara ini untuk mengajak setiap penduduknya saling menghargai dan saling mengenali. Namun, dalam perkembangannya, mantra kebangsaan yang sangat menjunjung tinggi spirit persatuan dan kerukunan sering kali kandas di tengah jalan.
Hal ini terjadi karena perilaku sebagian kelompok yang mengusik persatuan dan kerukunan dengan berbagai cara yang tak bertanggung jawab. Implikasinya, fondasi kebangsaan seringkali berhadapan dengan ego sentrisme sekelompok orang yang hanya ingin mempertahankan kebenaran ajaran dan pengetahuannya.
Potret kerentanan ini bisa dicermati pada munculnya fenomena radikalisme dan ekstremisme yang selalu mengemuka dengan berbagai motif dan metodologinya. Bahkan, tak jarang dua fenomena tersebut berujung pada aksi terorisme yang akhir-akhir ini mulai berkembang dan memengaruhi beberapa lapisan masyarakat.
Di antara lapisan masyarakat yang akhir-akhir ini banyak direkrut oleh pelaku jihadisme, seperti Ansharud Daulah, adalah anak muda yang mempunyai potensi di berbagai bidang. Pertistiwa bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Bandung, 7 Desember 2022, menjadi salah satu gambaran keterlibatan anak muda dalam lingkaran terorisme yang dimotori Ansharud Daulah.
Di tangan kelompok Ansharud Daulah, keberadaan anak muda sebagai tunas bangsa dan sejatinya menjadi bonus demografi yang bisa memperkuat sendi kehidupan berbangsa justru mudah terjerembab ke dalam tradisi kekerasan. Bahkan, agama yang sejatinya menjadi pandu keselamatan bagi setiap pemeluknya direduksi sebagai norma konflik yang menebarkan perpecahan dan permusuhan.
Mengembalikan fitrah beragama
Menyikapi fenomena radikalisme, ekstremisme, dan terorisme yang secara nyata mulai berkembang biak dan mewarnai iklim kehidupan dengan berbagai narasi ancaman, tentu semua pihak harus saling bergandengan tangan dan saling bahu-membahu dalam mencegah setiap simpton reduksi ajaran agama yang menjurus pada radikalisme, ekstremisme, dan terorisme tersebut.
Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menegaskan pentingnya mengembalikan fitrah agama sebagai basis inspirasi harus ditindaklanjuti oleh semua kalangan. Apabila selama ini agama hanya dijadikan sebagai aspirasi politisasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu, sudah semestinya para tokoh dan kaum terdidik lainnya mulai menyadarkan dan mencerahkan masyarakat dengan ajaran-ajaran yang mencerdaskan.
Tak semestinya apabila setiap perbedaan cara pandang yang membentang dalam kehidupan masyarakat yang dinamis selalu dihakimi sebagai ancaman yang dapat merusak ajaran agama yang dianut.
Setidaknya, keterlibatan tokoh agama yang konsisten mendampingi dan mengayomi masyarakat agar melek dan kritis terhadap berbagai ajakan kelompok tertentu yang selalu menihilkan dan menyederhanakan agama sebatas ajaran yang kaku dan sikap benar sendiri, lambat laun masyarakat bisa membedakan antara kebatilan kebenaran dalam memanifestaikan ajaran yang otentik dan humanis.
Dengan cara ini, maka fitrah agama yang mengedepankan spirit persaudaraan baik dalam konteks keberagamaan, kemanusiaan, dan kebangsaan akan disadari sebagai sebuah keniscayaan oleh setiap orang dan kelompok. Bahkan, ketika spirit persaudaraan yang luhur tersebut mulai meresap dan membekas di setiap sanubari setiap kalangan, secara otomatis, ajakan apa pun untuk mengancam dan meneror berbagai pihak yang liyan atas nama ajaran agama, dengan sendirinya akan terpental dan ditolak oleh masyarakat.
Namun, untuk menciptakan ekosistem beragama yang beradab dan berbasis pada ikatan persaudaraan yang saling ko-eksistensial, diperlukan sebuah kedewasaan setiap pihak dalam mentransmisikan ajaran agama yang
kontekstual. Keberadaan tokoh agama (ulama), pemerintah (umara), dan kaum terdidik lainnya harus menjadi simpul keteladanan dalam merajut setiap perbedaaan sebagai rahmat.
Tak semestinya apabila setiap perbedaan cara pandang yang membentang dalam kehidupan masyarakat yang dinamis selalu dihakimi sebagai ancaman yang dapat merusak ajaran agama yang dianut. Demikian pula, ekspresi keberagamaan setiap orang dan kelompok dalam menghayati ajaran ketuhanan yang beragam selalu dituduh sebagai bentuk pengingkaran yang bisa mendangkalkan akidah atau basis keyakinan.
Sebab, disadari atau tidak, agama yang menyebar ke berbagai kawasan dan sendi kehidupan dilingkupi oleh aneka macam tradisi dan kebudayaan yang saling beririsan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah cakwarala berfikir yang terbuka sehingga terbangun kesadaran menghargai perbedaan dan kerelaan menyesuaikan diri dalam keragaman.
Dalam konteks ini, tema ”Kerukunan Umat untuk Indonesia Hebat” dalam Hari Amal Bakti Kementerian Agama ke-77 menemukan konteksnya untuk diprofilerasi dan dijadikan sebagai nafas beragama, berbangsa, dan berperikemanusiaan.
Fathorrahman Ghufron, Wakil Katib PWNU Yogyakarta; Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga; Pegiat di Center for Sharia Finance and Digital Economy (Shafiec) UNU Yogyakarta