Partai politik lebih diharapkan melakukan penyusunan caleg secara lebih transparan dan demokratis untuk Pemilu 2024, daripada mengulang-ulang polemik tentang sistem yang dipakai pada pemilu mendatang.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Mengulang lagu lama. Itulah kesan yang muncul saat mencermati wacana penggunaan sistem proporsional terbuka atau tertutup pada Pemilu 2024.
Disebut demikian karena isu itu hampir selalu muncul menjelang pemilu di era Reformasi, dengan alasan kelebihan ataupun kekurangan, yang tak banyak berubah.
Sistem proporsional tertutup, yakni pemilih hanya memilih partai dan anggota legislatif terpilih ditentukan oleh partai berdasarkan suara yang didapat partai, dipakai pada era Orde Baru dan Pemilu 1999. Pada Pemilu 2004 hingga 2019 digunakan sistem proporsional terbuka. Dalam sistem ini, pemilih bisa memilih partai atau calon anggota legislatif. Anggota legislatif terpilih ditentukan oleh banyaknya suara yang mereka dapat dan didapat partai.
Pengalaman menggunakan dua sistem itu menjadi alasan untuk mendukung atau mengkritisi penggunaannya di pemilu. Sistem proporsional terbuka disebut, antara lain, mendorong politik biaya tinggi. Pasalnya, banyak caleg menggunakan uang untuk memenangi persaingan, bahkan dengan sesama caleg dalam satu partai. Kondisi ini menjadi salah satu pendorong praktik korupsi. Sistem itu juga disebut lebih banyak memberi peluang pada caleg yang populer ketimbang yang berkualitas.
Sementara sistem proporsional tertutup membuat pemilih seperti membeli kucing dalam karung. Peran partai yang sangat besar dalam penentuan caleg juga memunculkan kekhawatiran adanya praktik korupsi di dalamnya. Hubungan antara anggota legislatif terpilih dan pemilih setelah pemilu dikhawatirkan juga tidak seoptimal jika memakai sistem proporsional terbuka.
Dampak negatif dari kedua sistem pemilu itu sebenarnya disebabkan hal yang sama, yaitu kondisi partai politik di Tanah Air. Cara mengatasinya juga sama, yaitu partai politik mesti mereformasi diri agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik, misalnya dalam perekrutan dan pengaderan.
Partai politik mesti mereformasi diri agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik,
Kader yang berkualitas akan lebih mudah didapat jika perekrutan dan jenjang karier di internal partai berjalan transparan dan demokratis. Pendanaan partai yang terbuka juga akan ikut menjauhkan kadernya dari korupsi. Sementara ideologi yang kuat di setiap partai akan membuat pemilih memiliki gambaran yang jelas tentang arah perjuangan caleg atau partai pilihannya.
Hal itu yang kini lebih diharapkan dari partai politik, terutama menjelang penyusunan daftar caleg untuk Pemilu 2024, daripada mengulang-ulang polemik tentang sistem yang dipakai pada pemilu mendatang.
Sejumlah upaya memang telah dilakukan beberapa partai, misalnya dengan membuat sekolah kader. Namun, hal itu perlu dilakukan lebih masif, sistematis, dan transparan, termasuk dalam pendanaannya.
Jika hal itu dipraktikkan, apa pun sistem pemilu yang digunakan, peluang mendapatkan anggota legislatif yang berkualitas di pemilu mendatang akan lebih terbuka. Jiwa besar dan kenegarawanan elite partai jadi kunci mewujudkannya.