Gus Dur dan Tantangan Kebangsaan
Gus Dur adalah tokoh yang konsisten dengan perjuangan kebangsaan. Perjuangan Gus Dur adalah perjuangan menjaga bangsa ini dengan menyertai masyarakat dan mengawasi para elite guna mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka.

Ilustrasi
Bulan Desember memang telah berlalu, tahun telah berganti. Namun, tak ada salahnya kita mengingat Desember sebagai bulannya Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Inilah istilah yang dari waktu ke waktu semakin menemukan kebenaran faktualnya. Dikatakan demikian karena peringatan haul Gus Dur acap dilakukan oleh pelbagai macam elemen masyarakat sepanjang bulan Desember.
Adalah benar bahwa Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009. Lazimnya, acara haul diadakan pada tanggal kematian seseorang atau setidaknya mendekati. Namun, Gus Dur memang selalu ”melampaui” kelaziman, acara peringatan haul Gus Dur justru kerap dilakukan jauh-jauh hari sebelum tanggal 30 Desember. Untuk tahun 2022, keluarga memperingati haul Gus Dur pada 17 Desember.
Kehilangan
Di satu sisi, tingginya antusiasme masyarakat dalam memperingati haul Gus Dur menunjukkan dalamnya cinta, kasih saying, dan rasa kehilangan mereka kepada Gus Dur, baik di kalangan NU, masyarakat Muslim, bahkan masyarakat Indonesia secara umum. Sementara di sisi yang lain, kedalaman cinta dan rasa kehilangan masyarakat terhadap Gus Dur menjadi saksi dari kebaikan yang dilakukan oleh Gus Dur sepanjang hidupnya.

Sajadah milik almarhum Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid yang telah dibingkai kayu dipajang di musala di kompleks Omah Petroek, Desa Hargobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Rabu (31/3/2021). Sajadah tersebut diberikan oleh Sinta Nuriyah Wahid, istri Abdurrahman Wahid.
Dengan kata lain, cinta dan rasa kehilangan masyarakat terhadap seorang tokoh sangat terkait dengan perjuangan, kemanfaatan, dan amal perbuatan dari tokoh tersebut. Semakin banyak masyarakat yang merasa kehilangan atas meninggalnya seseorang, maka (kurang lebih) sebanyak itu pula kemanfaatan dan amal perbuatan yang dilakukan oleh tokoh tersebut. Semakin lama cinta dan rasa kehilangan masyarakat atas seorang tokoh, maka selama itu pula dampak dari perjuangan dan amal perbuatan yang dilakukan oleh tokoh tersebut.
Baca juga: Bawa Pembaruan di Tubuh NU, Gus Dur Jadi Inspirasi Warga Nahdliyin
Inilah lebih kurang yang dialami oleh Gus Dur, khususnya setelah beliau wafat. Oleh karena itu, tak heran apabila Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU sampai mengumumkan keyakinannya bahwa Gus Dur merupakan wali ke-10. Hal ini, salah satunya, bisa dibuktikan dengan tingginya cinta kasih dan rasa kehilangan masyarakat terhadap Gus Dur yang tidak pernah berhenti hingga hari ini. Bahkan, makam Gus Dur hampir tak pernah sepi dari pengunjung dan peziarah sampai hari ini.
Pertanyaannya adalah, kenapa Gus Dur bisa mencapai maqam atau level spiritual seperti ini? Secara spiritual hal ini bisa dipastikan karena pilihan dan ketetapan dari Allah SWT. Mengingat secara spiritual, pangkat wali (atau kekasih Allah) adalah seutuhnya kehendak dan pilihan dari Allah SWT.
Sementara secara sosial kemasyarakatan, hal ini terjadi karena amal perjuangan yang dilakukan Gus Dur. Di mana amal-amal tersebut dilakukan untuk kebaikan bangsa Indonesia secara umum, baik dari kalangan NU maupun di luar NU, baik dari kalangan Islam maupun yang bukan Islam. Inilah yang bisa menjelaskan kenapa masyarakat begitu kehilangan Gus Dur, termasuk dari kalangan selain Islam.

Usai ziarah, Prabowo Subianto sebut Gus Dur sebagai pemimpin visioner, Rabu (4/5/2022).
Tantangan kebangsaan
Pada momen haul Gus Dur dan tahun-tahun politik seperti sekarang, setidaknya ada dua tantangan kebangsaan yang sejatinya dihadapi dengan memerhatikan keteladanan dari Gus Dur selama ini. Pertama, komitmen kebangsaan para elite. Hal ini menjadi sangat penting mengingat filosofi menegakkan benang basah yang pernah disampaikan oleh Gus Dur: menegakkan benang basah tidak akan bisa dari bawah, tetapi harus dilakukan dari atas.
Inilah yang harus dipedomani oleh para elite bangsa saat ini. Secara politik, komitmen kebangsaan para elite harus diwujudkan dari lingkaran paling dekat hingga lingkaran paling jauh, dari visi-misi politik hingga langkah-langkah taktis, teknis, dan operasional. Hal ini penting dilakukan untuk memastikan gerak sejarah bangsa ini semakin hari semakin menguat dan menyatu tak ubahnya tanah liat, bukan justru semakin hari semakin rawan dan rentan tak ubahnya pasir.
Pada tahap seperti ini, komitmen kebangsaan harus ditaruh di urutan paling atas dalam alam pikiran para elite bangsa ini. Komitmen ini harus mengalahkan komitmen-komitmen lain, baik yang bersifat golongan, kelompok, maupun terlebih hanya sekadar ambisi ingin menang dan berkuasa.
Secara politik, komitmen kebangsaan para elite harus diwujudkan dari lingkaran paling dekat hingga lingkaran paling jauh, dari visi-misi politik hingga langkah-langkah taktis, teknis, dan operasional.
Kedua, membumikan sila kelima dalam kehidupan masyarakat luas, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Poin kedua ini sangat terkait dengan poin pertama. Walaupun tidak mutlak dari kaum elite seperti dalam filosofi menegakkan benang basah, mewujudkan keadilan sosial butuh keterlibatan dan peran kaum elite. Bahkan, hal ini bisa dijadikan sebagai salah satu bukti dari komitmen kebangsaan kita semua.
Dibandingkan dengan sila-sila yang lain, sila kelima acap tak tersentuh, baik dahulu dan terlebih lagi sekarang. Tidak heran, apabila Buya Syafii Maarif dalam banyak kesempatan kerap menyebut sila kelima sebagai sila yang yatim piatu. Sebagaimana pernah dikutip Buya, dahulu M Amien Rais kerap menyebut sila kelima sebagai sila yang sial (Menggugah Nurani Bangsa, hal 61).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F12%2F27%2F4a2898ad-681e-403e-8ea1-cc85fdfe8d86_jpg.jpg)
Alim (30) warga Tangerang datang mengunakan topi Santa pada Peringatan ke-7 Tahun wafatnya KH. Abdurrahman Wahid (Haul Gus Dur ) di kediaman Alm. Gus Dur di Ciganjur, Jakarta, Jumat (23/12/2016). Alim mengatakan bahwa ini bukan kali pertama, tapi telah tiga tahun terakhir ia selalu datang ke Haul Gus Dur mengunakan topi Santa sebagai simbol ungkapan toleransi.
Dalam hemat penulis, sila kelima merupakan pertaruhan puncak bagi eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa, bukan sebagai negara agama. Penulis menyebut negara agama di sini karena para pihak yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama (khususnya Islam) selalu ada, baik pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang. Walaupun para pemimpin Islam politik acap gagal menangkap aspirasi massa Islam sendiri yang menurut Gus Dur tidak menghayati permasalahan hubungan antara Islam dan negara (Islam Kosmopolitan, hal 234).
Keberadaan para pihak yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama (baik dulu maupun sekarang) sejatinya menjadi kontrol bagi para elite terpilih bangsa untuk membuktikan kebenaran pilihan politik kebangsaan yang menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa daripada negara agama, khususnya dalam membumikan dan mewujudkan Pancasila.
Hingga mereka yang awalnya berkeyakinan atau bahkan berjuang untuk menegakkan negara agama justru mengubah keyakinannya menjadi membela dan mendukung Indonesia sebagai negara bangsa. Bukan justru semata-mata menghadapi mereka yang menginginkan Indonesia menjadi negara agama dengan hukum dan terlebih lagi senjata.
Disebut sebagai pertaruhan puncak karena sila-sila yang lain secara perlahan menyata dalam kehidupan masyarakat. Tentu masih ada banyak tantangan dan rintangan di sana-sini. Tetapi sejauh ini, Indonesia sebagai negara-bangsa mengarah pada terwujudnya nilai-nilai yang terkandung dalam empat sila pertama.
Baca juga: Menguatkan Kembali Nilai Kebangsaan
Kondisi ini berbeda dengan sila kelima. Sampai hari ini, sepertinya terlalu maju dan agak dipaksakan apabila dikatakan bahwa Indonesia mulai mengarah kepada perwujudan dan pengamalan sila kelima, khususnya di saat ketimpangan ekonomi, sosial, dan pembangunan semakin melebar seperti sekarang. Sementara kaum elite terpilih di republik ini tak jarang hanya menikmati peningkatan taraf hidupnya setelah berkuasa. Atau melakukan upaya sekeras mungkin agar tetap berada di level elite dan penentu kebijakan, walaupun mungkin nanti sudah tidak berkuasa lagi.

Cendekiawan Jakob Oetama berbincang bersama mantan Presiden RI Gus Dur dan istrinya Sinta Nuriah di acara peringatan 60 Tahun Indonesia Merdeka yang bertajuk Menyelamatkan Komitmen Nasional di Gedung Arsip Nasional, Jakarta Barat, Senin (15/8/2005).
Padahal, dari sisi masyarakat umum, eksistensi Indonesia merdeka dalam bentuk negara-bangsa sejatinya ada pada perwujudan sila kelima ini. Karena perwujudan dari sila kelima tidak dalam bentuk keyakinan atau ekspresi individual, melainkan menyata dalam kesejahteraan bersama. Inilah yang tidak kunjung terwujud dalam kehidupan Indonesia, dari zaman kemerdekaan hingga sekarang.
Gus Dur adalah tokoh yang konsisten dengan perjuangan kebangsaan. Perjuangan Gus Dur adalah perjuangan menjaga bangsa ini dengan menyertai masyarakat dan mengawasi para elitenya guna mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Doa kebaikan selalu untuk Gus Dur. Terima kasih atas semua inspirasi dan perjuangannya.
Hasibullah Satrawi, Warga NU; Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam.

Hasibullah Satrawi