Permasalahan bangsa saat ini tak lepas dari besarnya ketimpangan. Hal itu jauh dari mimpi Presiden Soekarno tentang nilai hidup gotong royong yang merupakan inti dari Pancasila.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
Para tokoh bangsa diajak kembali ”turun gunung” mengatasi masalah kebangsaan saat ini yang jauh dari nilai-nilai Pancasila. Kehadiran mereka sangat dibutuhkan menjelang Pemilihan Umum 2024 demi menyatukan kembali masyarakat Indonesia yang beberapa waktu terakhir terbelah.
Ajakan itu disampaikan peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional, Siti Zuhro, dalam acara bedah buku ”Memperadabkan Bangsa” yang digelar bersamaan dengan Hari Ulang Tahun Ke-12 Aliansi Kebangsaan di Jakarta, Jumat (28/10/2022).
Di acara itu juga hadir Ketua MPR Bambang Soesatyo, Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Guru Besar Ekonomi Politik IPB University Didin S Damanhuri, dan Ketua Senat Universitas Negeri Jakarta Harid Abbas.
Menurut Siti, para pendiri bangsa sebenarnya sudah menyusun dasar-dasar berbangsa dan bernegara dengan sangat baik, tetapi seiring perkembangan zaman, nilai tersebut kian tergerus. ”Apa yang berjalan saat ini adalah salah, terlalu menyepelekan Pancasila, lupa dengan empat konsensus dasar kita. Kita harus kembalikan,” ujarnya.
Adapun empat konsensus yang menjadi dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus selalu dijaga itu adalah Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan RI, Bhinneka Tunggal Ika, dan juga Pancasila.
Menurut Siti, permasalahan bangsa saat ini tak lepas dari besarnya ketimpangan tingkat kepemilikan tanah sebab 68 persen tanah di Indonesia hanya dikuasai oleh 1 persen korporasi, sementara tingkat kepemilikan lahan petani di bawah 0,3 hektar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan juga terjadi di sektor pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia pada 2021 juga masih 8,54 tahun, belum 12 tahun.
Gambaran tersebut jauh dari mimpi Presiden Soekarno tentang nilai hidup gotong royong yang merupakan inti dari Pancasila. Gotong royong yang dimaksud adalah perjuangan bersama-sama untuk kepentingan dan kebahagiaan semua.
”Kita sudah tidak lagi mau mendengar suara-suara seperti itu. Hasil dari pilkada dan pemilu yang sudah lima kali ini hanya menghasilkan penguasa, bukan pemimpin. Ini yang menjadikan kita tidak pernah mendengar lagi suara dari pemimpin. Ini yang menjadikan kita mulai gontai,” kata Siti.
Di kesempatan itu, Bambang Soesatyo, dengan mengutip survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyebutkan, saat ini 20 persen pemuda tidak yakin atau bahkan tidak tahu makna Pancasila. ”Kemudian, 99 persen lebih mengaku cinta Indonesia, tetapi hanya 80 persen yang mau angkat senjata dan berkorban nyawa dan darah bagi Indonesia. Artinya, ada nilai-nilai kebangsaan yang mulai tergerus dari anak-anak muda kita ini,” kata Bambang yang juga kerap disapa Bamsoet ini.
Perlu adanya perubahan dari setiap pribadi masyarakat untuk kembali mencintai negara dan bersatu di dalam kemajemukan bangsa.
Bamsoet menyebut kondisi ini tidak bisa dibiarkan, perlu adanya perubahan dari setiap pribadi masyarakat untuk kembali mencintai negara dan bersatu di dalam kemajemukan bangsa. Dia menyebut, Indonesia tidak boleh lagi kehilangan daerah seperti yang terjadi pada Timor-Leste karena rasa nasionalisme yang kian memudar.
”Sumpah pemuda mengisyaratkan pesan kebangsaan yang harus kita bangun dan wujudkan bersama dalam mempersatukan dari Sabang sampai Merauke, mempersatukan ribuan pulau, bahasa, suku adat istiadat yang harus kita jaga. Cukup sudah kita kehilangan Timor Timur, tidak boleh ada lagi wilayah Tanah Air kita terlepas dari pengawasan kita,” kata politisi Partai Golkar.
Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, menilai, Pancasila masih menjadi ideologi satu-satunya yang paling relevan dengan masyarakat dan budaya Indonesia hingga saat ini. Setiap warga diharapkan menjadi pribadi yang inklusif dan berbaur di dalam masyarakat. ”Kita masih meyakini Pancasila merupakan satu ideologi yang ampuh dan relevan dengan perkembangan kekinian,” kata Pontjo.
Namun, dalam praktiknya, Pontjo mengakui bahwa Pancasila belum membudaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila juga belum dikembangkan menjadi ideologi kerja dalam praktis pembangunan yang memandu kebijakan pembangunan nasional di segala kehidupan.
Menurut Pontjo, Pancasila saat ini hanya menjadi slogan semata tanpa ada pengamalan yang bermakna di masyarakat. Pancasila harus diupayakan menjadi keyakinan, pengetahuan, dan tindakan para pemuda agar tidak hanya menjadi sekadar hafalan.
”Bila kaum pemuda sebagai minoritas kreatif pada masa kolonial mampu bangkit merespons tantangan zaman. Lantas, apa respons pemuda dan pelajar saat ini terhadap problematik kebangsaan dan kenegaraan yang muncul bersamaan dengan krisis global saat ini,” ujarnya.
Siti menambahkan, demokrasi di Indonesia saat ini tidak dilandasi oleh wawasan kebangsaan yang memadai sehingga membuat demokrasi yang menghasilkan model demokrasi prosedural saja setiap lima tahun sekali. Demokrasi juga sarat dengan distorsi ketika nilai-nilai wawasan kebangsaan diabaikan para elite.
Bamsoet pun menilai para politisi dan aktivis demokrasi saat ini turun ke daerah bukan untuk menyerap aspirasi masyarakat, tetapi mencari suara untuk mendapatkan jabatan setelah menang ditinggal pergi.
”Hari ini kita terjebak pada demokrasi NPWP, nomor piro wani piro. Kita terjebak pada demokrasi kapitalis dan konglomerasi. Apakah Anda bisa maju jadi bupati atau wali kota kalau tidak ada uang di kantong?” kata Bamsoet.
Sistem pemilihan langsung yang dilakukan saat ini, menurut dia, membuat pembelahan dan konflik di masyarakat. Para peserta pemilu sering melakukan kampanye hitam untuk menyerang lawan politiknya sehingga menciptakan kegaduhan di masyarakat. ”Jadi pilihan-pilihan ini yang harus kita pikirkan kembali bersama,” ucap Bamsoet.